Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dukungan luas untuk Wali Kota Surakarta Joko Widodo seharusnya menjadi alasan berkaca bagi Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo. Kedangkaran Bibit mendirikan mal dengan meruntuhkan bangunan bekas pabrik es Saripetojo di Laweyan, Surakarta, bagaimanapun telah menyingkapkan isi pikirannya. Sebagai kepala daerah, ia telah membenturkan kewibawaannya dengan aspirasi masyarakat Jawa Tengah, khususnya Surakarta—paling tidak melalui figur Jokowi.
Alih-alih mengutamakan kemaslahatan orang banyak, pendirian mal itu justru menunjukkan betapa Bibit sama saja dengan sebagian besar kepala daerah: memandang pembangunan semata sebagai pendirian tempat belanja atau gedung megah—yang seolah-olah dianggap ”monumen keberhasilan”. Padahal di Surakarta telah berdiri empat mal atau pusat belanja sejenis, dan satu lagi dalam proses.
Sebagai wali kota, yang oleh ”kawula”-nya akrab dipanggil Jokowi, Joko sudah membatasi izin pembangunan mal baru, kecuali untuk bagian utara kota. Alasannya, demi pemerataan. Sejak menjabat, dia memang berusaha memberdayakan kelompok menengah ke bawah. Wajar bila ada yang mempertanyakan kenapa harus ada lagi tempat serupa.
Ada hal lain yang menyebabkan benturan cara pandang kedua pejabat daerah ini, yakni kepemilikan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah atas properti Saripetojo, dan status bangunan Saripetojo yang, dari kacamata Surakarta, merupakan benda cagar budaya. Bibit mengklaim bisa melakukan apa saja dengan tanah dan bangunan milik pemerintah provinsi. Warga Surakarta tak peduli. Bagi mereka, nilai kesejarahan tak bisa dikompromikan. Di tengah perbedaan cara pandang ini, sang Gubernur menyebut Wali Kota Solo itu ”bodoh”—ucapan yang sama sekali tak mewakili kecerdasan.
Kini yang tampak terang-benderang adalah kepongahan seorang pejabat yang hanya memandang dan bekerja dari ketinggian dan—mungkin saja—melayani kepentingan pemilik modal. Tapi, demi mendinginkan suasana, sebaiknyalah dilakukan koordinasi, seperti disarankan sejumlah kalangan. Bibit, purnawirawan itu, seharusnya memahami tugasnya sebagai gubernur juga meliputi hal-hal di luar permainan kekuasaan. Dia bukan lagi jenderal, yang setiap perintahnya wajib dijalankan.
Surakarta luas diakui sebagai satu di antara sedikit kota di Indonesia yang beperforma mengesankan: lingkungan tertata baik, transportasi umum yang kini menjadi model sistem terpadu antarmoda, administrasi dan pelayanan publik yang rapi dan cepat, juga transparan. Semuanya berkat visi Jokowi. Itu sebabnya 90 persen warga kota mempercayainya untuk memimpin satu periode lagi.
Dalam menjalankan tugas, prinsip Jokowi memenuhi janji kampanyenya. Tak ada pihak yang bisa mendiktenya. Dia membuka saluran yang memungkinkannya menyerap dan mempelajari keinginan warga Surakarta. Dia membuka dialog, sering dengan cara turun langsung. Di antara berbagai keberhasilannya yang sulit dilupakan: dia bisa menertibkan pedagang kaki lima tanpa represi.
Jokowi dan Surakarta bisa dianggap sebagai ”buku pelajaran”, jika bukan panduan atau buku pintar, bagi banyak kepala daerah. Ibarat ensiklopedia, banyak lema tentang seni melayani rakyat yang bisa dibaca dan dipelajari, dan tentu saja dipraktekkan para kepala daerah bila sesuai dengan situasi dan keperluan daerah yang bersangkutan. Bibit, andai kata mau membuka diri dan ingin menorehkan prestasi, tentu bisa ikut belajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo