Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan itu salah satu orang kepercayaan Muhammad Nazaruddin. Menyandang jabatan Direktur PT Executive Money Changer, ia kemudian juga mengurus sejumlah kerja sama bisnis pelbagai perusahaan milik politikus Partai Demokrat yang kini kabur ke Singapura itu. Toh, tugas terpenting Yulianis, perempuan itu, adalah mencatat semua pengeluaran perusahaan-perusahaan bosnya.
Pengeluaran duit perusahaan Nazaruddin dilakukan berdasarkan memo yang diteken adiknya, Muhajidin Nur Hasim. Dari sini kemudian dipecah ke dalam bukti-bukti lain yang lebih terperinci, termasuk tanda terima penerimanya. ”Yulianis bertugas memasukkan aneka pengeluaran itu ke dalam program Excel,” tutur seorang penyidik kepada Tempo pekan lalu.
Catatan sang kasir itu menjadi harta karun para penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi ketika menggeledah kantor Nazaruddin di Tower Permai, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Penggeledahan dilakukan sehari setelah Komisi menangkap Mindo Rosalina Manulang, juga anak buah Nazaruddin, yang dituduh menyuap Wafid Muharam, Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga, pada 21 April 2011.
Dokumen memuat detail pengeluaran dalam rupiah dan dolar Amerika, serta nama-nama penerimanya. Sejumlah nama besar—sebagian besar sudah disebutkan Nazaruddin dalam usahanya membela diri dari Singapura—tercatat dalam daftar itu. Memang ini masih catatan sepihak. Sebab, menurut penyidik yang sama, tanda terima biasanya ditandatangani kurir—sesuatu yang tak ada dalam catatan di kantor Nazaruddin.
Terbang ke Singapura sehari sebelum surat pencegahannya ke luar negeri terbit pada 24 Mei, Nazaruddin berkali-kali berusaha menggaet rekan-rekannya. Ia pun mengancam hendak membongkar borok partainya jika Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkannya sebagai tersangka. Kamis pekan lalu, ia benar-benar ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara korupsi dana pembangunan wisma atlet SEA Games XXVI di Jakabaring, Palembang.
Beberapa jam setelah pengumuman status hukumnya oleh Komisi, Nazaruddin betul-betul mengibarkan semangat ”tiji-tibeh”—mati siji mati kabeh alias ambruk bareng-bareng. Ia menuduh Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Ketua Fraksi Partai Demokrat Dewan Perwakilan Rakyat Jafar Hafsah, serta anggota Dewan, Angelina Sondakh dan Mirwan Amir.
Beberapa nama yang disebutkan Nazaruddin tidak termasuk dalam catatan Yulianis. Tapi ada pula tokoh kakap yang belum dijadikan target serangan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu. Misalnya seseorang dari elite partai itu yang disebutkan mendapat setoran sekitar Rp 2 miliar.
Yang juga belum disebutkan Nazaruddin: setoran buat sejumlah perwira kepolisian. Dalam catatan pengeluaran, antara lain tertulis Komisaris Jenderal Ito Sumardi, Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI yang mengakhiri jabatannya pekan lalu. Menurut catatan Yulianis, pengeluaran untuk sang Jenderal berjumlah US$ 50 ribu. Ada pula bukti pengeluaran untuk Komisaris Besar Jacobs Alexander Timisela, Kepala Unit IV Direktorat Tindak Pidana Korupsi Markas Besar Kepolisian, yang ditulis memperoleh jatah US$ 30 ribu.
Ada pula kuitansi untuk dua kali pengeluaran yang ditulis buat ”Bareskrim”—Badan Reserse Kriminal—masing-masing bernilai US$ 75 ribu dan US$ 25 ribu. Total setara dengan Rp 875 juta. Setoran-setoran itu dikeluarkan pada awal tahun ini, sebelum perkara suap wisma atlet terbongkar dengan penangkapan Mindo Rosalina.
Meski mengaku kenal, Ito Sumardi membantah pernah menerima uang dari Nazaruddin. Ia mengatakan bukan sekali ini saja menjadi obyek tudingan. Timisela pun menyangkal. ”Apakah temuan catatan itu sudah diekspos KPK?” ia bertanya. ”Saya malah belum tahu. Bisa saja orang mengarang-ngarang begitu.” Adapun Nazaruddin, yang dihubungi melalui BlackBerry Messenger, mengatakan tidak tahu perkara ini.
Awal tahun ini, Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan sejumlah kejanggalan dalam pelbagai proyek yang ditangani perusahaan-perusahaan Nazaruddin. Antara lain dugaan suap tender proyek di Kementerian Pendidikan Nasional, korupsi pengadaan pembangkit listrik tenaga surya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta penyimpangan tender pengadaan alat bantu belajar-mengajar di Kementerian Kesehatan.
Salah satu yang masuk radar penciuman Komisi adalah proyek pada Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia di Kementerian Kesehatan pada 2010. Dengan pagu anggaran Rp 449 miliar, proyek ini berusaha meningkatkan kapasitas 17 rumah sakit daerah yang bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat.
Kecurigaan bermula dari kemenangan PT Buana Ramosari Gemilang dalam tender yang digelar pada 27 Oktober 2010. Perusahaan milik Bantu Marpaung ini diragukan kompetensinya dalam melaksanakan proyek pengadaan alat bantu belajar-mengajar pendidikan dokter atau dokter spesialis itu.
Dari penelitian awal komisi antikorupsi, ada dugaan kuat PT Buana—juga banyak ikut lelang pengadaan bahan makanan untuk panti jompo dan lembaga pemasyarakatan dengan nilai puluhan miliar rupiah—hanya menjadi boneka. Kejanggalan lain, perusahaan kurang dikenal yang berkantor di Ruko Mega Grosir Cempaka Mas Blok K Nomor 55, Kemayoran, itu mampu mengalahkan perusahaan mapan seperti PT Kimia Farma Trading & Distribution.
Penjelasan lain tentang tender yang mencurigakan itu dilaporkan Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3-I) kepada KPK dua pekan lalu. Menurut Direktur Eksekutif KP3-I Tom Pasaribu, rekayasa untuk meloloskan PT Buana sudah terlihat ketika tiba-tiba sejumlah perusahaan besar, seperti PT Rajawali Nusindo dan PT Indofarma Global Medika, mundur di tengah proses lelang.
Selanjutnya, tender dilakukan dengan sistem dua sampul. Yang pertama, PT Buana memberikan penawaran Rp 445,9 miliar. Pesaingnya hanya satu, yaitu PT Kimia Farma Trading, yang menyodorkan penawaran Rp 413,4 miliar. Dengan penawaran yang lebih tinggi, PT Buana seharusnya kalah. Kenyataannya, PT Buana tetap melaju.
Kedua, PT Buana memberikan harga lebih rendah, yakni Rp 417,7 miliar. Pesaingnya pun berbeda, yakni PT Exartech Technologi Utama, yang menaruh harga Rp 427,3 miliar. PT Buana ditunjuk sebagai pemenang setelah pengumuman hasil tender tertunda sampai empat kali. ”PT Exartech ini juga hanyalah boneka yang dikendalikan Nazaruddin,” kata Tom Pasaribu.
Di manakah persisnya pengaruh Nazaruddin berperan? Penyidik menemukan jejaknya melalui keterlibatan dua anak buahnya, yakni Mindo Rosalina dan Marisi Matondang. Mindo Rosalina adalah Direktur Marketing PT Anak Negeri, perusahaan milik Nazaruddin. Adapun Marisi adalah Direktur Utama PT Mahkota Negara, perusahaan Nazaruddin lainnya yang dikendalikan sepupunya, Muhammad Nasir.
Menurut penyidik di KPK, modus yang dilakukan Nazaruddin dan anak buahnya adalah meminjam perusahaan orang lain untuk memenangi tender. Tapi kendali dan pelaksanaan proyek sepenuhnya ada di tangan mereka. ”Dengan begitu, semua keuntungan dan manfaat material lain akan masuk kantong mereka juga, bukan ke pemilik perusahaan yang dipinjam,” ujar si penyidik.
Modus ini pula yang dipakai Nazaruddin dalam kasus di Kementerian Tenaga Kerja, melalui PT Alfindo Nuratama Perkasa. Dalam prakteknya, pengerjaan proyek senilai Rp 8,7 miliar pada 2008 itu ditangani PT Sundaya Indonesia dengan ongkos Rp 5,2 miliar lewat peran Marisi Matondang. Dengan demikian, negara diduga rugi Rp 3,6 miliar. Dalam kasus ini, penyidik menemukan jejak keterlibatan Neneng Sri Wahyuni, istri Nazaruddin.
Ketika penelitian mendekati usai dan akan ditingkatkan ke tahap penyelidikan, kabar lain datang dari Markas Besar Kepolisian. Perkara yang sama ternyata ditangani Kepolisian. Alih-alih meneruskan rencana, komisi antikorupsi memutuskan perkara ini dalam status quo dan memberikan kesempatan kepada Kepolisian untuk menyidiknya. Hasilnya, berbulan-bulan perkara ini mandek di Trunojoyo, markas besar Kepolisian.
Belum jelas apakah pengucuran duit dari perusahaan Nazaruddin ini berkaitan dengan lambannya penyidikan perkara di Kepolisian. Yang pasti, dalam catatan Yulianis, uang dikeluarkan hampir bersamaan dengan ”pelimpahan” penyelidikan perkara oleh Kepolisian.
”Mobil mogok” baru bisa jalan setelah kantor perusahaan Nazaruddin digeledah. Catatan pengeluaran yang antara lain mencantumkan nama Ito Sumardi ditemukan. Lalu, simsalabim, perkara dugaan korupsi pada Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia di Kementerian Kesehatan mulai bergerak—walau belum jelas juga sampai sekarang.
Menurut sejumlah sumber, beberapa hari setelah penggeledahan kantor Nazaruddin, Ito Sumardi datang ke gedung Komisi Pemberantasan Korupsi di Kuningan, Jakarta Selatan. Ia menemui Deputi Penindakan Inspektur Jenderal Ade Raharja. Resminya, ia ”berkoordinasi” dalam pengusutan perkara korupsi di Kementerian Kesehatan itu. ”Tapi ia sebenarnya meminta klarifikasi atas catatan keuangan perusahaan Nazaruddin,” kata seorang penyidik kepolisian.
Ade Raharja tak membantah informasi kedatangan Ito ke kantornya setelah penangkapan Mindo Rosalina Manulang. ”Jauh sebelum penangkapan Mindo, KPK sudah menyelidiki kasus di Kementerian Kesehatan. Ternyata Bareskrim Polri juga menyelidiki,” ujar Ade. ”Kami berkoordinasi, dan mempersilakan Bareskrim yang melaksanakan penyelidikan selanjutnya.”
Ito Sumardi pun tak menyangkal ”berkoordinasi” dengan Komisi. Ia mengakui kedatangannya ke KPK untuk membahas kasus di Kementerian Kesehatan yang sempat ngadat di tangan para penyidik Badan Reserse Kriminal. Tapi ia membantah keras kelambatan penanganan kasus itu akibat adanya suap dari kantor Nazaruddin dan Mindo Rosalina. ”Sempat tersendat karena kami berkonsentrasi pada penanganan masalah mafia pajak,” katanya. Menurut dia, KPK akan membantu tambahan data hasil penyelidikan. ”Jadi jangan dipelesetkan kedatangan saya ke KPK itu. Sekarang sudah jauh maju proses kasusnya.”
Ito mengatakan penyidiknya telah menetapkan sejumlah tersangka perkara ini. Tapi, menurut Timisela, penyidik baru menentukan calon tersangka. ”Saya lupa nama-namanya,” ujarnya.
Jenderal yang memasuki pensiun itu hanya satu tokoh dalam catatan Excel Yulianis. Bisa jadi omongan O.C. Kaligis, pengacara Nazaruddin, benar soal amunisi yang disiapkan kliennya: ”Isinya mengerikan.”
Y. Tomi Aryanto, Rusman Paraqbueq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo