Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Jejak Panjang Seorang Loyalis

14 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA negara dikendalikan operasi intelijen, dan keputusan-keputusan penting diambil menyusul sejumlah laporan dinas rahasia, negara pun menjadi monster yang siap menelan siapa saja yang berbeda. Tiada yang menyangkal kuatnya negara manakala Ali Moertopo, asisten pribadi Presiden Soeharto bidang sosial dan politik, lantas Kepala Operasi Khusus atawa Opsus, berhasil memastikan kemenangan Golongan Karya pada Pemilihan Umum 1971.

Teror ditebar: tak mendukung Golkar berarti tak mendukung militer dan bersimpati kepada Partai Komunis Indonesia. Partai-partai politik diinfiltrasi: tokoh-tokoh di luar Golkar, yang tidak sependirian dengan pemerintah Orde Baru, disingkirkan.

Depolitisasi dan deideologisasi merupakan strategi tangguh waktu itu. Demi kemenangan Golkar, pendatang baru dalam politik elektoral, Ali Moertopo pun menggagas "massa mengambang" untuk menceraikan partai dari pendukungnya dan mendekatkan para calon pemilih dengan Golkar. Semua ini dilakukan dengan tujuan tunggal: melestarikan kekuasaan Soeharto.

Pada Pemilu 1971, Golkar menang telak dengan meraup 34,3 juta suara—atau 63 persen dari total pemilih. Golkar memperoleh 236 dari total 360 kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Golkar terus menjadi pemenang pemilu hingga 1998, ketika kekuasaan Soeharto berakhir.

Memang, di antara politik yang formal, konferensi pers yang mengungkapkan satu hal tapi menyembunyikan yang lain, mungkin harus ada orang yang melakukan dirty job seperti Ali Moertopo. Namun, ketika peran dan pengaruh Ali Moertopo semakin meraksasa, pemilihan ketua dewan mahasiswa pun direcoki, kelompok-kelompok ekstrem dibangkitkan kembali untuk sekadar memancing sekaligus melumpuhkan mereka, dari hari ke hari tampaklah negara semakin kuat. Bukan karena solidnya dukungan rakyat, melainkan karena aktifnya intelijen dalam mengkonsolidasi kekuasaan Soeharto dan Golkar. Yang terjadi hanya pengawasan, kontrol, lalu rasa takut.

Misteri, kasak-kusuk, kecurigaan siapa kawan siapa lawan, tentu saja mewarnai suasana yang ditimbulkan rezim yang didominasi badan intelijen itu. Di mata Ali Moertopo, semua ini hanya antitesis terhadap Orde Lama. Dalam bukunya, Strategi Pembangunan Nasional, rezim yang bertumpu pada figur Sukarno itu telah menyeleweng dari cita-cita kemerdekaan dan gagal menjamin rasa aman. Ali Moertopo bahkan menuding perselingkuhan Sukarno, lewat ideologi Nasakom, dengan kekuatan Partai Komunis Indonesia sebagai pemicu lahirnya tragedi 1965. Dalam latar sejarah itulah Ali Moertopo kemudian menawarkan pemaknaan ulang ideologi Pancasila dalam praktek bernegara.

Ironis sekali, Orde Baru yang semula mendudukkan dirinya sebagai antitesis Orde Lama, lantas Soeharto sebagai koreksi terhadap Bung Karno, akhirnya menelurkan pemerintahan yang semakin monolitik dan otoriter. Orde Baru terbukti mengucapkan selamat tinggal kepada model pemerintahan yang gemar mengutarakan slogan-slogan, sibuk berseru "ganyang Malaysia", dan membiarkan ekonomi negeri ini tercampak dengan inflasi sampai 600 persen. Pemerintah berubah, tapi tidak dalam hal kekuasaan. Kenyataannya, sementara Sukarno menjalankan Demokrasi Terpimpin selama enam tahun, pemerintah Soeharto yang otoriter bertengger pada pucuk kekuasaan sepanjang tiga dasawarsa.

Dalam perpolitikan kita, "Revolusi Indonesia", mantra yang demikian nyaring diucapkan di masa pemerintahan Bung Karno, seakan-akan tenggelam ditelan bumi dan digantikan mantra khas milik Orde Baru: "Pancasila" dan "Pembangunan". Dan ini punya konsekuensi yang panjang. Dulu orang merasa terancam apabila predikat kontra-revolusioner direkatkan kepadanya, sedangkan sekarang nyali langsung menciut apabila kata anti-pembangunan dan anti-Pancasila ditujukan kepadanya. Ya, Orde Baru tidak berhenti dengan keberhasilan pembangunan, tapi berlanjut pada berbagai macam sensor dan teror di tahun-tahun berikutnya.

Sepuluh tahun "berkuasa" (1971-1982) dan dekat dengan Soeharto, Ali Moertopo, yang selalu menunjukkan loyalitas tak terbatas kepada sang Presiden, akhirnya tersingkir dari lingkaran kekuasaan. Dan tampaklah bahwa kesetiaan yang ditujukan kepada orang atau rezim tak terbukti membuat posisinya "aman". Jejak Ali Moertopo ada di mana-mana: Peristiwa Malari, Komando Jihad, kerusuhan Lapangan Banteng, pembajakan pesawat Woyla, dan seterusnya. Tak banyak orang yang dapat melakukan dirty job untuk Soeharto seperti Ali Moertopo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus