Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mereka Bukan Sembilan Dewa

Skandal Akil Mochtar merontokkan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi. Presiden perlu segera bertindak.

14 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEHORMATAN Mahkamah Konstitusi telah runtuh. Kepercayaan publik terhadap lembaga negara yang bertugas menguji undang-undang serta memutus sengketa antarlembaga negara dan sengketa pemilihan kepala daerah ini sudah anjlok ke titik nadir. Karena itu, setelah Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka skandal suap, mungkin juga pencucian uang, masih layakkah delapan hakim konstitusi lainnya bercokol di sana?

Terungkapnya Akil Mochtar memperjualbelikan perkara sengketa pemilihan kepala daerah jelas menampar kita. Bekas politikus Golkar yang masuk Mahkamah lewat jalur Dewan Perwakilan Rakyat itu tertangkap tangan KPK saat akan menerima duit Rp 3 miliar yang diduga berkaitan dengan sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Wajar jika publik geram, marah, dan mencaci Akil atau Mahkamah Konstitusi. Lembaga penjaga pilar konstitusi ternyata dipimpin koruptor.

Skandal Akil jelas akan merembet ke mana-mana. Apalagi kejahatan semacam ini biasanya dilakukan berkomplot. Ketua KPK Abraham Samad pun sudah memberi isyarat. Komisi antirasuah menengarai bukan hanya Akil yang bermain—dan memainkan—sengketa pemilihan kepala daerah. Terungkapnya lalu lintas uang ke rekening yang diduga milik Akil, yang angkanya fantastis, mencapai Rp 100 miliar, memberi indikasi dahsyatnya nilai "perputaran uang" dalam perkara tersebut.

Mungkin tak semua dari delapan hakim konstitusi yang kini masih bertugas di Mahkamah itu kotor. Rasanya masih ada figur yang bersih. Tapi, dengan legitimasi yang sudah keropos, ambruk di mata masyarakat, apa gunanya bertahan? Apalagi putusan yang mereka tangani ditetapkan secara kolektif. Karena itu, delapan hakim tersebut lebih baik mundur. Hal ini akan membuat mereka lebih berfokus menghadapi pemeriksaan Komisi Kode Etik atau KPK kelak.

Dengan mempertimbangkan situasi inilah Presiden tak perlu ragu menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) demi menyelamatkan Mahkamah. Selain untuk menyeleksi hakim konstitusi baru, perpu itu mesti menutup semua celah yang selama ini jadi sumber borok lembaga tersebut, terutama menyangkut perekrutan dan pengawasan hakim.

Sistem kuota hakim yang selama ini masuk lewat tiga jalur, yakni DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung, harus dihentikan. Kita tahu selama ini tak ada transparansi dalam rekrutmen hakim. Saat Patrialis Akbar, bekas anggota DPR serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, terpilih menjadi hakim Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu, sejumlah aktivis antikorupsi langsung memprotes. Demikian juga dipilihnya Akil Mochtar. Publik tak dilibatkan dan tak diberi kesempatan menunjukkan layak atau tidak mereka menyandang jabatan hakim.

Perpu itu juga perlu mengatur persyaratan bagi politikus yang hendak menjadi hakim. Mereka, misalnya, sudah berhenti atau tidak aktif di partai minimal sepuluh tahun. Seleksi juga mesti melalui satu pintu, Komisi Yudisial. Dengan cara ini, DPR hanya diberi kesempatan memilih yang terbaik. Tertutup semua lubang untuk kongkalikong.

Hakim konstitusi juga bukan "sembilan dewa" lagi yang tak bisa diperiksa sewaktu-waktu. Sistem pengawasan ketat harus dibentuk. Komisi Yudisial mesti diberi kewenangan kembali untuk memanggil dan memeriksa hakim konstitusi yang dinilai melanggar kode etik. Karena itulah, bersama DPR, pemerintah secepatnya merevisi Undang-Undang Komisi Yudisial.

Kepercayaan publik kepada Mahkamah Konstitusi memang harus dikembalikan. Kini satu-satunya cara adalah merombak "isinya" dan memasukkan hakim-hakim baru yang integritasnya sudah teruji.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus