DI sebuah bar di Shinjuku, Jepang, seorang pna memandangi saya hampir tanpa berkedip. Saya pikir, itu karena saya tadi melihat ke arah gadis bar Filipina montok yang ada di pelukannya. Saya mencoba tak memperhatikannya. Tiba-tiba saya dengar dia menyanyi. Lagunya adalah Bakmi Lima Sen. Saya bukan dari generasi yang menyanyikan lagu itu, lagu yang pernah mengilhami Ismail Marahimin menulis kolom di TEMPO. Agak aneh mendengar lagu seperti itu di negeri orang. Saya menoleh . Pria Jepang itu tertawa mabuk. Di antara tawanya itu ia menyebut-nyebut Medan dan Pakanbaru. Mungkin, tempat itu adalah medan perangnya dulu ketika ia bertugas militer. Ia berdiri mendekati saya, mengangkat gelas minumannya, lalu berkata, "Jepang karah perang, ne? Sekarang Jepang menang tanpa perang, tetapi secara ekonomi." Pada 15 Agustus 1945, ketika Kaisar Hirohito memaklumkan pernyataan takluk terhadap Sekutu, hampir tak ada lagi industrinya yang utuh. Hampir semua pabrik hancur. "Kaca selebar jendela saja kami tak punya. Sudah hancur berkeping-keping," kata ketua gerak jalan Jepang yang menemani saya. "Kami semua kelaparan dan mengalami depresi. Rajutan sosial dan politik pun rusak berat karena kekalahan itu." Dari titik itulah Jepang membangun ekonominya. Padahal, Jepang tak mempunyai sumber daya alam. Hanya 14,8% tanahnya yang dapat ditanami, tetapi Jepang berswasembada mencukupi beras bagi 110 juta warganya. Jepang tak punya hasil tambang, tetapi mempunyai sekolah pertambangan yang baik. (Bahkan insinyur pada tentara Jepanglah yang pertama kali menemukan minyak di Indonesia!). Hanya 35 tahun setelah kekalahan perang Jepang, Laporan UNESCO 1980 telah menempatkan Jepang sebagai negara kedua di dunia dalam pengembangan ekonomi. Jepang juga menempati peringkat kedua dalam GNP dan peringkat keempat dalam pendapatan perkapita. Kenaikan GNP Jepang melonjak 200% dalam periode 1971-1980, periode sulit bagi kebanyakan negara. Sebaliknya, Sekutu yang dulu menaklukkan Jepang kini berada di bawah. Prancis dan Inggris menempati peringkat GNP kecmpat dan kelima. GNP kedua negara itu bila digabung masih lebih rendah daripada GNP Jepang. Uni Soviet, juga Sekutu, yang menaklukkan Jepang, berjuang 30 tahun membangun ekonominya dan GNP perkapitanya belum mencapai separuh GNP perkapita Jepang. Banyak pengamat mengatakan bahwa yang sedang terjadi di Jepang itu adalah sebuah keajaiban. Dan keajaiban itu merupakan hasil dari beberapa faktor, antara lain peran pemerintah dalam mensubsidi bisnis, rendahnya (relatif!) tingkat upah dan tingginya disiplin angkatan kerja Jepang, adanya trade barriers, yang justru membolehkan produk Jepang dijual lebih mahal di dalam negeri sambil tetap melindunginya dari serbuan produk impor. Bahkan ada yang menyebutkan faktor keberanian Jepang menjiplak desain produk Barat, dan membuatnya lebih sempurna. Ada sebuah buku baru lagi tentang sukses Jepang. Kali ini ditulis Philip Kotler - yang bukunya tentang pemasaran hampir dianggap kitab suci - dan teman-temannya, yang berjudul The New Competition. Buku itu, antara lain, menyebut dua hambatan yang berhasil diatasi Jepang. Pertama, kebanyakan orang Jepang tidak dapat berbahasa asing dan tidak tahu banyak tentang budaya, sejarah, dan pasar Amerika atau Eropa. Kedua, pada masa sebelum Perang, semua barang berlabel made in Japan dianggap barang murah berkualitas rendah. Sekarang? Pabrik-pabrik Jepang sudah bertumbuhan di Amerika dan di Eropa. Produk-produk Jepang kini sudah membawa citra quality dan value yang mempenetrasi ke seluruh dunia. Dalam bukunya itu Philip Kotler berbeda pendapat dengan Peter Drucker, sang guru manajemen. Drucker mengatakan bahwa dalam lima tahun mendatang, Jepang sudah tak merupakan ancaman. Asumsi Drucker berlandaskan pada kenyataan bahwa kini Jepang sudah mulai menghadapi persoalan dengan tingginya upah buruh dan mengendurnya etos kerja. Drucker juga menyebut-kan bahwa sukses Jepang di masa lalu adalah karena Barat tertidur dan teledor melayani kebutuhan konsumen. Dan kini Barat telah bangkit kembali. Kotler berpendapat bahwa kenaikan tingkat upah di Jepang masih sebanding dengan peningkatan produktivitas. Ia juga berpen dapat bahwa disiplin dan etos kerja di Jepang belum mengendur. Tetapi, yang penting, menurut Kotler, bahwa Barat belum sepenuhnya menambal kapal bocornya. Barat baru menjawab tantangan Jepang di bidang mobil, komputer, dan produk-produk teknologi. Sedangkan Jepang sudah bergerak lagi di pasar internasional untuk produk-produk yang lain: pakaian jadi, kosmetik, hotel, bank, obat-obatan. Jepang, menurut Kotler, memang pemasar yang ulung. Dalam arti: tahu apa yang dibutuhkan konsumen dan tahu bagaimana memuaskan konsumennya. Untuk pemasar memang there is no journey's end. Pada dasarnya, ya, itulah pemasaran. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini