Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GADIS belia, siswa kelas IX sebuah SMP negeri di Cirebon, Jawa Barat. Pidatonya menyentak: “Bebaskanlah teman-temanku. Biarkan mereka memilih seragamnya sendiri.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Disampaikan pada 14 Agustus lalu—tiga hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan—teks imbauan itu menyebar di grup-grup WhatsApp.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tuntutan yang sederhana, tidak neko-neko. Apa yang diminta Re, panggilan gadis itu, hanyalah kebebasan untuk memakai seragam sekolah tanpa kewajiban memakai jilbab bagi siswa muslim.
Ayah Re pernah meminta pengecualian dari wali kelas soal itu dan anaknya mendapat dispensasi. Tapi, dalam interaksi sehari-hari, Re kerap dirundung, disindir guru agama, atau diejek kakak kelas sebagai “Krislam”.
Bagi mereka, pilihan Re tak lazim dan mengganggu. Bagaimana mungkin seorang perempuan muslim menolak memakai jilbab, yang melambangkan identitas keislaman? Di mata orang sekelilingnya, Re adalah “makhluk asing”.
Saya tidak tahu persis alasan Re tidak mau memakai jilbab. Saya menduga alasan gadis itu sederhana: kebebasan menjadi dirinya sendiri. Ia, misalnya, tetap menghormati kesopanan umum dengan tidak memakai rok mini atau celana pendek. Soal jilbab, bagi Re, bukanlah hal ihwal yang dapat mengukur keimanan.
Re bukan yang pertama. Maret 2021, Human Rights Watch menerbitkan I Wanted to Run Away—laporan tentang pengalaman diskriminatif perempuan dan anak perempuan dalam soal kewajiban berjilbab.
Lembaga pemantau hak asasi manusia itu menemukan, sebagian besar dari hampir 300 ribu sekolah negeri di Indonesia mewajibkan gadis muslim mengenakan jilbab sejak sekolah dasar. Menurut laporan itu, meski pejabat sekolah membantah adanya aturan yang mewajibkan jilbab, ada “suasana” yang menekan anak perempuan dan orang tua mereka agar memakai jilbab.
Di Yogyakarta, demikian menurut laporan itu, seorang ibu mengeluh ketika putrinya diwajibkan memakai jilbab saat masuk sekolah negeri pada 2017. Meskipun sekolah dan para guru tidak secara eksplisit menyebutkan kewajiban itu, mereka memberikan komentar yang tidak diinginkan atau merendahkan pilihan tidak memakai jilbab. “Tekanannya implisit, tapi terus-menerus.”
Pangkal soalnya adalah conservative turn, perubahan masyarakat yang makin “agamis”. Di tengah gejolak zaman yang memorak-porandakan nilai dan kemapanan, agama dianggap bisa berperan sebagai benteng pengaman.
Apalagi agama menempati posisi sentral dalam masyarakat Indonesia. Laporan Pew Research pada Juli 2020 berjudul “The God Divide” menyebutkan 91-93% responden Indonesia menganggap agama punya peran sangat penting bagi hidup mereka. Angka ini jauh di atas Filipina, Nigeria, Kenya, dan Tunisia.
Tentu tak salah ketika seseorang ingin mengekspresikan keyakinannya lewat mode pakaian—semacam pernyataan “kesalehan” di tengah pergolakan zaman. Ia jadi masalah ketika ekspresi tersebut dibakukan sebagai aturan formal oleh negara di sekolah atau di lembaga-lembaga pelayanan publik. Pada titik ini, mode pakaian menjadi garis pemisah antara “kami” dan “kalian”.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berulang kali mendesak agar aturan wajib jilbab dicabut. Namun permintaan itu tak mengurangi angka kasus pemaksaan jilbab di sekolah-sekolah. Kewajiban berjilbab malah dianggap sebagai “kearifan lokal”.
Yang kemudian dianggap tak arif: kehendak siswa untuk menjadi diri sendiri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo