Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Konteks What's in a Name Shakespeare

Ungkapan “What’s in a name?” sering dipisahkan dari konteks kisah Romeo dan Juliet. Nama itu doa, harapan, dan keramat.

3 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WHAT’S in a name?” kata William Shakespeare dalam Romeo and Juliet empat abad silam. Apalah arti sebuah nama. Perkataan ini sering disalahpahami lantaran dipisahkan dari konteks kisah Romeo dan Juliet. Kalimat itu sebenarnya diucapkan Juliet sebagai pernyataan cintanya kepada penyandang nama Montague, dan bukan terhadap nama Montague, apalagi nama keluarga yang telah memisahkan mereka berdua. Nama Montague, bagi Juliet, hanyalah nama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Drama Shakespeare itu diduga sebagai adaptasi kisah cinta Pyramus dan Thisbe dalam mitologi Babilonia. Romeo and Juliet menjadi terkenal dan fenomenal lantaran, salah satunya, Shakespeare berhasil menyusupkan nilai-nilai subyektivitas dan menghubungkannya dengan kondisi faktual. Celakanya, ungkapan dalam dialog Juliet itu kemudian sering dianggap sebagai adagium umum sehingga menimbulkan banyak kekeliruan persepsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam atmosfer budaya Jawa, nama bahkan mengandung makna penting. Orang tua senantiasa menyertakan harapan, cita-cita, dan doa luhur dalam sebuah nama. Pada nama Slamet atau Suharto, misalnya, bisa kita tafsirkan bahwa orang tuanya memberikan doa dan harapan semoga sang penyandang nama tersebut senantiasa berada dalam keadaan selamat sentosa atau hidup cukup, berkelimpahan harta (sugih arta).

Nama juga dianggap memiliki kekeramatan. Ia bisa memanggul sifat orang yang memilikinya. Nama Wijaya, misalnya, yang dalam bahasa Jawa berarti “kemenangan, unggul”, menyiratkan harapan orang tua agar si penyandang nama menjadi sosok yang unggul. Itulah mengapa pemberian nama pun perlu diiringi upacara selamatan. Bahkan anak yang sakit-sakitan sering dianggap namanya tidak cocok, terlalu tinggi, atau tidak sesuai dengan sifat pembawaan lahirnya sehingga perlu diganti—dengan upacara selamatan pula.

Di ranah fiksi, pengarang sengaja memilih nama-nama tertentu demi mendapatkan efek-efek tertentu, entah kesamaan perilaku dan sifat entah simbolisme. Minke dalam Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer adalah simbolisme untuk Indonesia pra-kemerdekaan. Dalam kosmologi Jawa, hari dan waktu lahir akan mempengaruhi watak dan pembawaan seseorang. Dari situ kemudian nama menjadi penting. Meski sekarang rumus semacam itu telah mulai menghilang, pemberian nama tetap tidak kehilangan motif-motif lain, seperti keindahan, doa, dan harapan.

Penamaan juga sering dikaitkan dengan simbol atau prasasti pengingat. Ilmu toponimi akan memberi tahu kita banyak hal, dari sejarah sampai kondisi sosial-budaya setempat. Ketika mengembalikan nama Irian Jaya ke Papua, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tampaknya menyadari bahwa sebuah nama mampu mengemban banyak muatan politis. Penggantian nama itu banyak dipandang sebagai upaya Gus Dur meredam suara-suara negatif dari entitas lain.

Langkah Gus Dur itu bisa dibandingkan dengan politik penamaan Kota Jayapura, yang dari waktu ke waktu diganti oleh siapa yang berkuasa. Semula, ia bernama Hollandia saat masih berada di tangan Hindia Belanda dan berubah menjadi Kotabaru hingga 1 Oktober 1962. Namanya berubah lagi menjadi Sukarnapura, yang menjadi simbol taktis langkah politik Presiden Sukarno, hingga kemudian berubah menjadi Jayapura, yang menjadi monumen tumbangnya absolutisme Orde Lama dan digantikan Orde Baru.

Penamaan Nahdlatul Ulama juga punya sejarah sendiri. Ada pertimbangan-pertimbangan khusus saat memilih nama tersebut. Pada 1926, para ulama yang berkumpul di Surabaya berdebat tentang nama organisasi baru mereka. Setidaknya muncul dua usul nama saat itu: Nuhudlul Ulama, yang bermakna bahwa para ulama mulai bersiap untuk bangkit dengan organisasi itu, dan Nahdlatul Ulama, yang bermakna kebangkitan ulama karena kebangkitan itu sudah berlangsung lama dan bergerak jauh. Perdebatan itu menunjukkan bahwa nama bukanlah hal yang enteng.

Demikian juga motif dalam pemilihan nama samaran atau julukan pada banyak tokoh. Ronggowarsito menjadi lebih dikenal daripada Bagus Burhan, nama aslinya, lantaran ada nuansa estetis dan simbolis pada nama Ronggowarsito.

Apalah arti sebuah nama hanyalah cocok untuk seseorang yang tengah dilanda asmara. Bisa jadi, saat nanti sudah patah hati, dia akan teringat nama itu seumur hidupnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Arti Sebuah Nama"

Nur Hadi

Nur Hadi

Penulis cerita pendek dan puisi. Aktif di Akademi Menulis Jepara

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus