Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM pidato kenegaraan 16 Agustus 2023, Presiden Joko Widodo kembali menegaskan visi Indonesia menjadi pemimpin dunia pada 2045. Untuk mencapainya, menurut kami, tak ada cara selain mengakselerasi pembangunan untuk mengejar pertumbuhan sembari memperkuat keberlanjutan sosio-ekologi, inklusi, dan keadilan. Kunci akselerasi pembangunan adalah implementasi kebijakan publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejarah pembangunan menunjukkan kebijakan “baik” tak serta-merta sukses implementasinya. Kebijakan bisa gagal dan ada dampak tak termaksud (unintended consequences). Tapi unintended consequences ini berbeda dengan kegagalan kebijakan (policy failure).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Misalnya kebijakan penyempurnaan kurikulum pendidikan dasar. Kebijakan ini bisa punya dampak tak termaksud seperti defisit guru karena sedikitnya guru dengan kompetensi yang dibutuhkan kurikulum tersebut. Namun, ketika jumlah guru mencukupi, kebijakan penyempurnaan kurikulum juga bisa gagal jika pola belajar siswa dan dukungan orang tua tidak berubah.
Contoh lain adalah kebijakan bantuan modal kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah untuk meningkatkan skala ekonomi mereka. Saat skema bantuan berakhir, mereka tak mampu meningkatkan skala bisnis sehingga menggantungkan keberlanjutan usaha pada bantuan permodalan. Banyak contoh lain, dari mangkraknya proyek infrastruktur hingga mandeknya revolusi mental.
Tentu ada banyak faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan, bukan semata hal teknis implementasi. Para pembuat kebijakan acap mengabaikan faktor penting kegagalan kebijakan, yakni perilaku manusia—mereka yang terkena dampak ataupun birokrat yang menjalankannya.
Karena itu, ada banyak pemikiran tentang pentingnya ilmu perilaku (behavioural science) dalam pembuatan kebijakan. Sebab, perilaku berkait erat dengan mental dan mindset yang penting dan terkait dalam pembuatan kebijakan dan pelaksanaan serta dampaknya. Integrasi ilmu perilaku dalam kebijakan pada dasarnya memperhitungkan aspek dan pendekatan psikologis dalam siklus kebijakan karena terkait dengan perilaku masyarakat dan para pembuat kebijakan.
Integrasi ilmu perilaku dalam kebijakan menjadi disiplin ilmu terapan praktis dalam ranah kebijakan publik, yaitu behavioural policy (Oliver, 2023). Ilmu perilaku membantu memahami tindakan atau perilaku manusia, alasan membuat pilihan dan keputusan, pilihan tindakan, serta dampaknya. Karena itu, behavioural policy bisa menciptakan perubahan sistemik dengan membantu para praktisi dan pembuat kebijakan membuat regulasi yang tepat guna berdasarkan pemahaman perilaku manusia (Banerjee & Mitra, 2023).
Salah satu acuan utama studi perilaku adalah percobaan “classical conditioning” Ivan Pavlov (1927) yang menyatakan bahwa stimulus yang dikondisikan menggantikan stimulus alami akan menghasilkan respons yang diinginkan dan dikondisikan. Dengan eksperimen menggunakan bel, anjing, dan daging, Pavlov menunjukkan apa yang disebut dengan pengkondisian perilaku. Daging disebut perangsang asli (unconditioned stimulus) dan bel perangsang netral (neutral stimulus). Keduanya—kombinasi daging dan bel—menjadi stimulus bersyarat (conditioned stimulus) yang diberikan berulang sehingga memunculkan reaksi (conditioned responses), yaitu munculnya air liur meskipun anjing itu hanya mendengar bunyi bel.
Situasi yang sama sebenarnya berlaku bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kebijakan, dengan mengacu pada Pavlov, masyarakat dapat dikondisikan dengan cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respons yang diinginkan sehingga mengubah perilaku mereka. Ini bisa diterapkan pada sektor atau bidang yang terkait dengan manusia, yaitu kesejahteraan sosial.
Kebijakan kesejahteraan sosial bisa disusun dengan pendekatan ilmu perilaku secara sederhana. Misalnya mengganti kata “bantuan” dengan “tanggung jawab”. Sebab, kata “bantuan” cenderung dekat dengan makna “pertolongan”, sementara “tanggung jawab” lebih dekat dengan arti wajib menanggung. Ini lebih sesuai dengan tujuan: negara wajib menanggung kondisi sosial masyarakat. Hal ini berdampak bukan hanya pada persepsi masyarakat dan perubahan perilaku mereka, tapi juga perubahan perilaku pembuat kebijakan itu sendiri.
Di sini penilaian dan interpretasi makna (hermeneutika) menjadi penting untuk merefleksikan apa yang mendorong munculnya perilaku yang diharapkan—baik masyarakat maupun pemerintah (Sungkar, 2021). Penekanan pada kata “tanggung jawab” dalam program sosial membuat pembuat kebijakan dan pejabat negara menyadari serta berperilaku secara sadar bahwa kewajiban negara adalah menyejahterakan masyarakat, bukan menyeleweng apalagi korup. Penekanan pada kata itu juga mengikis persepsi dan rasa tidak berdaya sehingga masyarakat tidak melulu bergantung pada program “bantuan sosial”.
Penerapan ilmu perilaku dalam pembuatan kebijakan pemerintah dapat membantu mengelola persepsi dan perilaku publik serta birokrasi demi berhasilnya sebuah kebijakan. Persepsi publik dan birokrasi mempengaruhi keberlanjutan kebijakan, sementara kebijakan mempengaruhi persepsi publik dan birokrasi—begitu seterusnya. Efek umpan balik ini, pada akhirnya, akan mengubah sikap dan perilaku seluruh masyarakat.
Karena itu, ke depan, setidaknya ada dua alasan behavioural policy menjadi penting. Pertama, kebijakan publik adalah bentuk intervensi pembuat kebijakan dalam menyelesaikan masalah-masalah publik di berbagai aspek kehidupan. Di dalamnya, pemahaman akan perilaku publik menentukan keberhasilan atau kegagalan kebijakan. Kedua, behavioural policy berbasis data dan bukti. Intervensi dan eksperimen tentang perilaku yang digunakan memungkinkan untuk menguji dan memvalidasi kebijakan agar tepat dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Bagaimana mendorong dan memprioritaskan behavioural policy? Belajar dari pengalaman beberapa negara, ada unit khusus yang memastikan pelaksanaannya.
Di Inggris, ada Behavioural Insights Team (BIT) yang dibentuk pada 2014 untuk mengimplementasikan ilmu perilaku dalam pembuatan dan pengembangan strategi serta kebijakan. Unit ini mengambil pendekatan empiris, menggunakan uji coba dan eksperimen di tingkat lokal untuk menguji gagasan kebijakan lewat perilaku.
Intervensi yang dilakukan antara lain kerja sama dengan Kantor Pajak dan Cukai (Revenue and Customs) yang berhasil membangun sistem pajak dan kepatuhan membayar pajak dengan mempertimbangkan pendekatan perilaku, termasuk dengan mengirimkan surat kepada mereka yang belum membayar pajak tepat waktu dan mengingatkan mereka agar membayarnya. Selain itu, BIT bekerja sama dengan National Health Service untuk merombak layanan kesehatan melalui penggunaan teknologi.
Ilmu perilaku terbukti membantu menciptakan sistem perawatan kesehatan yang lebih efisien, efektif, dan berpusat pada kebutuhan pasien dengan menggunakan teknologi kesehatan digital untuk memperbaiki layanan kesehatan dan memudahkan akses masyarakat (BIT, 2023).
Singapura menerapkan behavioural policy di semua lini pemerintahan. Pemerintah bermitra dengan akademikus—misalnya di Lee Kuan Yew School of Public Policy dan Singapore Management University—mengintegrasikan pemikiran desain (design thinking) dan ilmu perilaku dalam kebijakan publik. Pada 2013, Kementerian Ketenagakerjaan serta Kementerian Komunikasi dan Informatika mulai mengeksplorasi behavioural insights sebagai bagian dari upaya mengembangkan komunikasi berbasis data (Afif, et al, 2018).
Di Kanada, pemerintah Ontario mendirikan Behavioural Insights Unit pada 2015 dan meluncurkan Centre of Excellence for Evidence-Based Decision Making untuk menggunakan ilmu perilaku dalam meningkatkan layanan dan kinerja pemerintah, merancang dan menguji intervensi yang hemat biaya, dan memberikan hasil terbaik (UNEP, 2017).
Meskipun sudah berjalan dan terbukti berhasil di banyak negara dan bidang, behavioural policy masih belum dipandang sebagai sesuatu yang penting dan menjadi prioritas di Indonesia. Padahal, untuk mengejar capaian visi Indonesia 2045, dan menerobos berbagai kebuntuan pelaksanaan kebijakan, sudah saatnya kita juga menerapkannya. Untuk itu, di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Sekretariat Negara perlu dibentuk unit dan tim khusus untuk mengkaji pendekatan ilmu perilaku dalam pembuatan kebijakan pembangunan dan mengevaluasinya.
Visi Indonesia 2045 bukan hanya soal pencapaian agenda teknokratis dan politis, tapi juga soal perubahan perilaku warga negara sebagai bagian dari pembangunan keadaban dan kebangsaan. Ilmu perilaku bisa menjadi penopang untuk mencapainya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini ditulis bersama Claudia Rosari Dewi, praktisi psikologi, peneliti, dan Direktur Eksekutif Nalar Institute