Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Purwanto Setiadi
Wartawan lepas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demokrasi membutuhkan pers yang bebas. Pers atau media pemberitaan, yang menghasilkan jurnalisme, memastikan adanya transparansi. Inilah yang memaksa pemerintah bekerja lebih baik, korporasi menjalankan bisnis yang akuntabel, menekan risiko korupsi, dan pada ujungnya menciptakan rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun perubahan teknologi yang sangat pesat, juga evolusi cara orang mengkonsumsi berita, kini menimbulkan beragam tantangan yang muskil. Revolusi digital ini, misalnya, melahirkan fabrikasi berita yang tersebar di media sosial. Karena itu, timbul kecenderungan orang hanya mempercayai informasi yang mendukung keyakinannya. Yang krusial adalah tergerusnya fondasi ekonomi organisasi pemberitaan yang lawas dan baru.
Selama ini, kelangsungan hidup organisasi-organisasi itu bertumpu pada "perkawinan"-nya dengan pengiklan-di samping sumber lain yang mungkin. Di masa lalu, pada media cetak, pendapatan iklan adalah "subsidi", yang menambal kekurangan pendapatan dari uang langganan atau penjualan eceran. Pada era digital, pendapatan ini beralih ke media online, tapi tetap tak cukup besar untuk bisa menjadi sumber penghidupan, apalagi untuk memproduksi karya jurnalistik berkualitas.
Akibat umum dari kecenderungan itu adalah tutupnya sejumlah media pemberitaan. Sebagian yang lain menekan biaya dengan mengurangi konten orisinal, memindahkan format cetak ke format online, dan memangkas jumlah tenaga kerja, termasuk wartawan. Ada tekanan yang semakin besar pada profesi wartawan, yang dari segi penghasilan umumnya tak memadai tapi beban pekerjaannya kian berat. Seorang koresponden beberapa media besar Prancis di Thailand, Arnaud Dubus, belum lama ini mengakhiri hidupnya karena kesulitan keuangan.
Kondisi mutakhir itu mengingatkan lagi pada masalah lama: ketidakpastian basis keuangan jurnalisme. Berita, pada kenyataannya, sebagaimana diingatkan oleh Robert G. Picard, seorang ahli bisnis media, "tak pernah menjadi produk yang fisibel dan selalu dibiayai dengan pendapatan berdasarkan nilainya untuk hal-hal lain". Salah satu alasannya adalah jurnalisme, seperti umumnya produk pengetahuan, mengandung atribut barang publik. Inilah yang belakangan mengemuka dan disarankan oleh sejumlah ahli agar diadopsi menjadi pola pikir baru di kalangan pengelola organisasi pemberitaan.
Dalam disiplin ekonomi, barang publik adalah barang yang jika digunakan atau dikonsumsi oleh seseorang tak menghalangi kesempatan bagi orang lain untuk juga menggunakan atau mengkonsumsinya. Dengan kata lain, perihal akses, barang publik bersifat tak meniadakan dan, dalam hal penggunaan, tak mengandung/menimbulkan kompetisi. Ini bertolak belakang dengan barang privat, yang hanya bisa diperoleh berdasarkan mekanisme pasar.
Dalam literatur ekonomi, pertahanan nasional, pencegahan penyakit, pendidikan dasar, dan lampu jalan kerap disebut sebagai contoh barang publik. Biasanya barang-barang ini disediakan secara kolektif karena manfaatnya mustahil atau sulit dibiayai melalui transaksi di pasar privat. Sebagai barang publik, jurnalisme berada di satu ranah dengan universitas dan produsen pengetahuan lainnya dalam suatu perekonomian.
Dengan pola pikir baru tersebut, tugas pengelola organisasi pemberitaan tak bisa lain kecuali mengupayakan model sumber keuangan yang semestinya juga baru. Menurut Julia Cage, ekonom dari Prancis yang menulis buku Saving the Media: Capitalism, Crowdfunding, and Democracy, miliuner seperti Jeff Bezos atau Pierre Omidyar bukanlah pilihan-meski, tentu saja, mereka sanggup menggelontorkan dana besar. Sedikit berbeda dengan kolega-koleganya, dia menyarankan pembiayaan oleh masyarakat (crowdfunding) dan pembagian kekuasaan (power-sharing).
Model yang dia harapkan bisa menjadi pola bagi media pada abad ke-21 itu-dia menyebutnya sebagai organisasi media nirlaba (nonprofit media organization)-memadukan aspek-aspek perusahaan saham gabungan dan yayasan. Penyatuan ini dia anggap penting. Sebab, jika hanya salah satu, yang sangat boleh jadi terwujud adalah "skala" operasi yang kecil dan cenderung berada di ceruk khusus (untuk yayasan) atau tetap jalan di tempat (untuk perusahaan saham gabungan) dan bertabrakan lagi dengan masalah yang sama. Dia mencontohkan media-media yang sukses dijalankan yayasan: The Guardian, Ouest-France, ProPublica, Tampa Bay Times, dan The Christian Science Monitor. Semuanya, kecuali The Guardian, tergolong kecil atau hanya "tayang" di Internet.
Kelemahan utama yayasan, menurut Cage, adalah ketergantungan pada penyumbang dana, yang biasanya hanya beberapa individu, perusahaan, atau yayasan lain yang lebih kaya. Itu sebabnya dia mengusulkan dibuat ketentuan yang memudahkan yayasan menjadi pengelola dana abadi dengan menghimpun donatur dari lebih banyak kalangan dan, kalaupun ada penyumbang besar, hak suaranya dibatasi sehingga setara dengan penyumbang kecil. Supaya hal ini berjalan, mesti disediakan insentif, yakni keringanan pajak.
Memang, beda negara bisa beda peraturan. Rintangan proses legislasinya pun pasti tak sama. Bisa jadi ada pilihan lain, misalnya koperasi, seperti induk usaha Associated Press. Tapi bisa dimaklumi kalau model crowdsourcing mengesankan adanya perlakuan khusus. Kesan ini sebaiknya tak menghalangi tindakan yang diperlukan untuk tetap menghidupi jurnalisme.
Yang mendesak saat ini, sesuatu yang juga diakui Cage, hanya satu hal: organisasi pemberitaan harus menetapkan pilihan. Penundaan bisa membawa akibat buruk, sama buruknya dengan pers yang dikerangkeng.