Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAMA lelaki tua itu terpana, suatu hari, sembilan bulan yang lalu. Di tangannya sebuah telegram terselipkan. Surat pendek itu datang jauh melewati samudra, dari sebuah negara bernama Azerbaijan. "Saya sendiri tak tahu di mana letak negara itu," katanya. Pengirimnya Asosiasi Sepak Bola Azerbaijan (AFFA). Isinya tawaran menangani tim nasional negara tersebut.
Carlos Alberto Torres, lelaki itu, tak tertarik sama sekali. Rasa angkuhnya datang. Ingatannya melayang pada peristiwa 34 tahun sebelumnya. Dia adalah lelaki pertama yang keluar dari perut pesawat, membawa pulang Piala Jules Rimet dari Meksiko. Dialah kapten Brasil ketika menjuarai Piala Dunia 1970 dan membuat trofi kebanggaan itu bersemayam di negaranya untuk selamanya. Tim itu sendiri disebut-sebut sebagai pasukan terbaik yang pernah dimiliki Brasil. Kini, tawaran yang datang hanya menangani Azerbaijan.
Tapi Alberto, 60 tahun, tergelitik juga. Dibelinya atlas, ditemukannya peta Azerbaijan di pinggir Laut Kaspia. Lama-lama pikirannya berubah. Dia mulai tertarik menerima tantangan menangani tim yang sulit ditemukan di peta sepak bola dunia itu. Tawaran kontrak lima tahun yang bisa membuatnya kaya-raya tetap ditolaknya, dan Alberto menerima kontrak setahun bernilai 350 ribu pound (sekitar Rp 5,75 miliar).
Sembilan bulan kemudian sentuhan lelaki tua itu berbuah. Azerbaijan mampu merebut dua angka di babak kualifikasi Piala Dunia 2006 zona Eropa. Mereka bisa menahan Irlandia Utara dan Wales, dua tim yang sudah jauh lebih awal mengenal sepak bola. Inggris, yang bertandang ke Baku, Azerbaijan, pun hanya bisa menang 1-0, Kamis pekan lalu.
Alberto pula yang membawa Azerbaijan tak terkalahkan dalam lima pertandingan berturut-turut, termasuk partai uji coba. Ini prestasi yang baru terjadi sepanjang 12 tahun kehidupan sepak bola negara tersebut.
Azerbaijan bukanlah negara sepak bola. Mereka hanya punya sekitar 400 pemain profesional. Dibandingkan dengan negara-negara pecahan Uni Soviet lainnya, sepak bola mereka tertinggal. Azeri?begitu tim nasional mereka disebut?juga tak punya bintang. Stadion nasional mereka di Baku diberi nama Tofik Bakhramov. Dia, Bakhramov, bukan pemain bola. Dia adalah hakim garis asal Azerbaijan yang terkenal dengan keputusannya mengesahkan gol kontroversial Geoff Hurst (Inggris) ke gawang Jerman saat perpanjangan waktu final Piala Dunia 1966. Jerman percaya tendangan Hurst yang menerpa mistar itu belum masuk gawang, namun Bakhramov menyatakan lain.
Begitu datang di Baku, Alberto memulai dengan hal-hal mendasar. Soalnya, para pemain pun tak bisa melakukan hal-hal sederhana seperti menyundul bola. "Saya tak percaya lagi dengan urusan 4-4-2 atau 5-3-2. Filosofi saya, begitu menyerang, majulah bersama. Begitu bertahan, harus kembali (ke belakang)," tuturnya.
Tak banyak hal yang dijanjikan Alberto. Dia tak menjanjikan Azerbaijan akan mampu memainkan sepak bola indah laksana yang dia mainkan di Piala Dunia 1970 di Meksiko. Satu hal yang dianggap penting untuk Azerbaijan: menanamkan mentalitas kemenangan di dalam tim. "Saya yakin, kami bisa bermain bagus. Berbahaya kalau Inggris dan Wales menganggap enteng kami," katanya.
Sang pelatih sadar tak mungkin membawa Azerbaijan menjadi sebuah tim yang potensial lolos ke Piala Eropa atau Piala Dunia dalam sekejap mata. Yang dia inginkan adalah, begitu meninggalkan Azerbaijan, orang mengenalnya sebagai pemasang fondasi sepak bola berkelas di negara tersebut. Itu sebabnya dia menempatkan putranya, Alexandro, dalam staf pelatih. "Gaya Brasil adalah yang terbaik. Mungkin suatu ketika akan ada pula gaya Azerbaijan," ujarnya berseloroh.
Azerbaijan, peringkat ke-114 FIFA (Indonesia di posisi ke-94), sedikit-banyak sudah mulai mengubah wajah sepak bola Eropa. Mereka bukan lagi tim yang selalu datang menghindari kekalahan telak pada setiap pertandingan. Tim asuhan Alberto ini mungkin sulit lolos ke putaran final Piala Dunia. Di babak kualifikasi, mereka mesti bersaing dengan Inggris, Irlandia Utara, Wales, Austria, dan Polandia. Hanya, kemajuan yang dicapai Azerbaijan sungguh luar biasa.
Tak semudah membalik telapak tangan untuk menggapainya. Kerja keras mereka lakukan. Peran serta pemerintah mereka pun tinggi. Bekas Presiden Azerbaijan, Geydar Aliyev, misalnya, sangat aktif membina sepak bola. Itu sebabnya, tak lama setelah Aliyev meninggal, AFFA memutuskan membangun museum yang dipersembahkan untuknya.
Uni Sepak Bola Eropa (UEFA) pun ikut mengulurkan bantuan untuk kesetaraan persaingan. Di Azerbaijan, juga di negara-negara lainnya, mereka mengembangkan program Hattrick, sebuah prototipe lapangan mini berukuran 21 x 13 meter untuk mengasah kemampuan bibit-bibit berbakat. "Baik FIFA maupun UEFA akan terus melanjutkan program pengembangan di negara-negara seperti Azerbaijan. Mereka masih membutuhkan dukungan," kata anggota Komite Eksekutif FIFA, Michel Platini.
Kerja keras semua pihak itulah yang membuat pelatih seperti Alberto tak merasa bekerja sendirian. "Saya sangat senang mengambil keputusan menangani Azerbaijan. Saya menikmati kehidupan dan sepak bola di sini," ujarnya. Bisa jadi, Alberto tak akan kaget lagi kalau suatu ketika menerima tawaran menjadi pelatih dari negeri antah-berantah di dunia sepak bola.
Zulfirman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo