Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kak sultan

Sri sultan hamengkubuwono ix sebagai pembina pramuka, mengikuti jambore di tokyo. kesederhanaan dan semangat dalam menjalankan tugas patut diteladani. tugasnya di dunia telah selesai, tuhan menerimanya.

22 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

There is no limit to what a man can do or where he can go if he doesn't mind who gets the credit (Tulisan pada prasasti di The Coca-Cola Company, Atlanta) SIAPA yang tak terhenyak ketika mendengar kabar duka itu. Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah mangkat. Saya tepekur lama -- mencoba mengingat-ingat hal-hal yang pernah saya alami bersama Sri Sultan. Saya tak bergurau, bila dengan bangga menyebut diri saya sebagai konsultan -- kongkonane (pesuruh) Sultan. Setidaknya, jabatan itu pernah saja sandang untuk beberapa hari. Waktu itu, 1971, saya masih menjadi juru kamera di Puspen Hankam. Dengan sepucuk surat dari Sri Sultan, mudah saja bagi saya untuk meninggalkan pekerjaan dan berangkat ke Jepang, ikut serta dalam Jambore Pandu Sedunia ke-13. Saya masih mencuci film di Tokyo, ketika mendengar berita bahwa malam sebelumnya, ekor topan telah menyapu kawasan perkemahan Jambore di Asagiri. Saya bergegas kembali ke Asagiri. Kak Sultan (semua pembina Pramuka dipanggil dengan sebutan "Kak") ternyata telah lebih dahulu tiba di perkemahan kontingen Indonesia. Bersama rombongan ibu-ibu dari KBRI yang membawa banyak makanan, Kak Sultan dengan santainya duduk di antara tenda-tenda yang rubuh dan segala benda yang berserakan. Ia pun tak ragu-ragu duduk di atas bangku darurat, dari papan yang basah dan penuh bercak lumpur, yang kemudian mengotori celananya. Kehadirannya pada saat seperti itu sungguh telah membesarkan semangat anak-anak, yang spiritnya sedang mencapai titik nol. Kak Sultan memelopori menyanyikan lagu-lagu riang, dan mengganyang makanan Indonesia yang dibawa dari Tokyo. Sesudah Jambore, saya membantu persiapan penyajian makalah Kak Sultan di Tokyo pada Kongres Kepanduan Sedunia. Bersama Kak Azis Saleh, hingga pukul lima subuh kami mempersiapkan slides. Tertidur sebentar di kursi, lalu bergegas bangun karena harus mempersiapkan proyektor di ruang sidang. Makalah Kak Sultan itu mendapat sambutan sangat bagus. Semua peserta menyalaminya. Kak Sultan mengucapkan terima kasihnya kepada kami, lalu mengajak kami semua makan siang. Kami diajak lebih dahulu ke kamarnya, sebuah site di Tokyo Prince Hotel. Di sini ia akan berganti pakaian. Banyak karangan bunga yang baru datang. Kak Sultan meneliti karangan bunga itu satu per satu. "Sayang, ya, bunga mahal-mahal begini dikirimkan kepada saya," terdengar gumamnya, tanpa kesan mencela mereka yang tentu mengirimkannya dengan segala suka cita. Saya masih ingat betul, setelah bersalin pakaian, Kak Sultan memakai setelan jas cokelat yang ada bekas sobekan di bagian belakangnya. Bekas sobekan itu ditisik kasar. Kepada teman saya, saya berkomentar, "Saya sendiri akan berpikir dua kali, untuk mengenakan jas sobek dengan tisikan kasar begitu." Teman saya berkata, "Ya, dia kan Sultan. Jas sobek begitu tak akan membuat pamornya pudar. Sorenya, Kak Sultan juga mengajak saya makan malam. Saya pikir ia akan memilih restoran di bawah hotel, seperti siang sebelumnya. Ternyata, Kak Sultan mengajak saya menyeberang jalan, menuju sebuah bowling centre yang ramai. Di tempat seperti itu, selalu banyak restoran murah. Di situlah kami makan ramen. "Nah, di sini kan lebih enak dan lebih murah," komentar Kak Sultan, sambil dengan antusias memandangi orang-orang yang giat main bola gelinding. Kita telah mendengar banyak kisah tentang gaya hidup Sri Sultan almarhum. Dan setiap kisah, selalu menonjolkan sisi humanis yang sangat kental. Keteladanan yang telah dilakukan oleh Sri Sultan, mau tak mau, mengingatkan saya kepada sebuah kalimat, yang saya catat dalam buku harian saya sebuah kalimat yang terpampang nyata di markas besar The Coca-Cola Company di Atlanta, Georgia --seperti yang tcrcantum pada awal tulisan ini. Saya yakin bahwa, sekalipun Sri Sultan mungkin tak pernah membaca kalimat itu, semangat itulah sebenarnya yang telah menjadi kiat suksesnya. Coba simak! Adakah hal-hal, yang sebelum ini sengaja dilakukan Sri Sultan untuk mencapai respek yang sedemikian tinggi dan mendalam dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia? Ia tak pernah merasa dibebani, dalam menjalankan setiap tugas yang dipikulkan ke pundaknya. Ia selalu lebur dalam karyanya -- tidak seperti kita yang biasa memisahkan individu kita, agar tampak jelas oleh siapa pun bahwa kitalah yang menyelesaikan karya itu. Tak jarang, bahkan, kita menyingkirkan orang-orang yang semula membantu kita, agar mereka tak kecipratan pujian, ketika pekerjaan itu usai. Tak banyak di antara kita yang mungkin ingat betapa besar Jasa Sri Sultan, mengembalikan kredibilitas Republik Indonesia pada awal Orde Baru, yang kemudian menghasilkan The Paris Meeting. Tanpa karya agung itu, tak tahu apa jadinya wajah ekonomi bangsa kita saat ini. Tugas Sri Sultan di alam fana telah tuntas dan paripurna. Di tempatnya yang abadi, tentulah Tuhan menerima dengan lapang kehadirannya. Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus