PERKELAHIAN pelajar di Jakarta akhir-akhir ini semakin menggejala dan semakin brutal. Hampir setiap Sabtu, ada pemandangan gerombolan anak-anak berseragam sekolah, dengan wajah berIngas, mengejar, baku hantam, atau lagi berperang batu dengan gerombolan anak-anak sekolah lain. Dalam pekan terakhir ini aja, misalnya, sekurangnya empat sekolah di wilayah Jakarta Timur -- SMA 50 dengan STM Budi Murni dan SMA 61 dengan SMA Budaya -- berkelahi. Salah seorang korban akibat perkelahian tadi adalah siswa SMA 50, Jakarta Timur, Krisdian Srigatie. Kepalanya robek 5 sentimeter ditusuk angka. Padahal, anak itu bukan tukang berkelahi, dan hanya korban dari perkelahian sekolahnya dengan STM Budi Murni. Pada 3 Oktober lalu, murid kedua sekolah yang hanya berjarak sekitar 2 kilometcr, Jakarta Timur itu, berkelahi secara masal. Mulanya dari soal sepele. Sekitar 20 siswa STM Budi Murni nongkrong di halte bis tempat siswa SMA 50 biasa menyetop bis. Kehadiran siswa STM itu rupanya dianggap mengganggu oleh siswa SMA 50. Buntutnya: bak, buk, bak, buk. Beberapa siswa babak belur. Hari itu, Kris, yang tak terlibat perkelahian tadi, pulang dengan Metro Mini melewati STM Budi Murni. Bis pun disetop siswa STM itu. Ia diseret ke luar dari bis, dihajar, dan sebuah jangka ditancapkan ke kepalanya. Darah pun mengucur. Untunglah, masyarakat yang menyaksikan kejadian itu seeera menolong Kris sebelum bahaya yang lebih besar muncul. Akibat lukanya itu, kepala Kris perlu dijahit di RS Persahabatan. "Kakak Kris marah dan mau membalas dendam. Tapi saya cegah, karena pasti akan menimbulkan korban lain," kata Kepala Sekolah SMA 50, Ismail. Sehari setelah kejadian ini, masih di wilayah Jakarta Timur, SMA 61 baku hantam pula dengan SMA Budaya. Perkelahian benar-benar masal, sehingga bagi orang luar, tak keruan lagi mana kawan dan mana lawan. Akibatnya, beberapa siswa luka memar, kendati tidak ada korban jiwa. Masih penasaran dengan kejadian itu, esoknya, siswa SMA 61 datang lagi ke SMA Budaya, menumpang 3 mobil Colt bak terbuka. Tapi sebelum genderang perang ditabuh lagi, polisi lebih dulu turun tangan mengamankan kawasan itu. Toh Kepala Sekolah SMA Budaya, Amiroedin Thalib, masih ketar-ketir. Menghindari kerusuhan berkepanjangan, sekolah itu diliburkannya tiga hari. "Ini tindakan preventif," kata Drs. H. Amiroedin Thalib. SEBULAN sebelum itu perkelahian antarpelajar malah meneian korban jiwa. Seorang pelajar STM VI PGRI Jalan Kerajinan, Jakarta Pusat, Abdul Manan, bulan itu tercatat tewas di ujung badik. Anak ke-4 dari 7 bersaudara ini sore itu pulang sekolah dengan bis bertingkat jurusan Kalideres, Cengkareng. Di dalam bis, entah mengapa, temannya, Suryono, menonjok Santo, bukan nama sebenarnya, pelajar SMA Pelita Jaya -- identitas SMA ini belakangan diketahui dari polisi. Menerima perlakuan begitu, Santo mencabut badik dan mengarahkannya kepada Suryono. Melihat rekannya dalam bahaya, Manan turun tangan. Tapi ia justru celaka. Dada kirinya tertikam. Darah membasahi lantai bawah bis itu. Tak lama kemudian ia tewas di Rumah Sakit Sumberwaras, Jakarta. Kematiannya itu membuat rekan-rekannya hendak menuntut balas. Kasak-kusuk muncul: "Culik anak SMA Pelita Jaya!" Namun, niat itu akhirnya bisa dicegah. "Saya hanya ingin penyelesaian secara hukum," kata ibu Abdul Manan. Kasus penikaman itu, kabarnya telah ditangani Polres Jakarta Barat. Pengalaman SMA Cikini lain lagi. "Belakangan ini, hampir setiap hari kami menerima telepon. SMA Cikini akan diserbu, tanpa jelas peneleponnya," kata Kepala Sekolah SMA itu, Drs. Hasan Basri, kepada TEMPO. Sekolah yang menempati lantai 4 di pertokoan Jalan Cikini Raya ini -- dari 5 lantai yang ada -- diakui memang sering menerima laporan bab perkelahian muridnya. Pada Sabtu pertengahan Agustus lalu, misalnya, siswanya, Novianto, tanpa sebab yang jelas dihajar dengan celurit oleh serombongan siswa lain ketika sepulang sekolah hendak menyetop bis di halte Jalan Cik Ditiro. Akibatnya, selama 15 hari, Novi dirawat di RSPAD. Paru-paru Novi nyaris tertembus. "Untung dihalangi tulang rusuk," kata Novi, yang mengaku tak suka berkelahi dan tak merasa punya musuh itu. Masih di hari Sabtu, 17 September, tiga orang siswa SMA Cikini lainnya, Abdal, I Gde Yosi, dan Budi Irawan, terkena giliran dihajar serombongan siswa lain di depan halte Cikini. Sore itu, dengan sigap serombongan siswa ber-bagde SMA Sunda Kelapa -- cewek dan cowok -- meloncat dari bak mobil terbuka yang membawanya. Tanpa banyak cakap mereka menjadikan ketiga siswa SMA Cikini itu sebagai bulan-bulanan sampai babak belur. Menghadapi kasus-kasus ini, secara bisik-bisik tudingan dijatuhkan ke SMA Sunda Kelapa. Isu pun muncul bahwa SMA Cikini akan menyerang SMA Sunda Kelapa. Urusan serangan balasan itu baru mereda setelah pengurus OSIS Sunda Kelapa datang ke SMA Cikini, pada 26 September, didampingi kepala sekolahnya, staf Koramil dan Polsek setempat. Pada pertemuan itu dijelaskan bahwa tak ada siswa Sunda Kelapa yang berkelahi, apalagi menyerang, ke SMA Cikini. Dari pertemuan itu muncul dugaan: siapa tahu ada orang luar sengaja mengeruhkan situasi ini. Perkelahian pelajar itu memang bukan tak mungkin ditunggangi pihak ketiga. Sebab, selam sering memilih "adu jotos", pada hari Sabtu, medan "pertempuran" rupanya juga sering pada lokasi-lokasi serupa. Perkelahian antarpelajar, misalnya, sering terjadi di sekitar Stasiun Gambir, Taman Suropati, Cikini, bioskop Megaria, Bulungan, dan Blok M. Keributan antarpelajar itu, selain telah menelan korban jiwa, juga sering sangat mengganggu kepentingan umum. Peristiwa pada Sabtu sore, 17 September, di depan Megaria, misalnya. Puluhan siswa berseragam -- tak jelas badge asal sekolah itu -- mencegat bis kota semaunya. Mereka dengan beringas, tanpa peduli kepentingan penumpang lain, mengatur sopir bis kapan harus berhenti dan kapan harus jalan. "Stop! Pak Sopir, Stop!" teriaknya. Biasanya, penumpang lainnya di bis itu diam tak berkutik menghadapi peristiwa brutal semacam itu. Sebuah bis kota yang menolak berhenti ketika disetop, September lalu, dilempari batu di dekat bioskop Megaria. Akibatnya, tiga kaca bis itU hancur berantakan. Sopir bis itu ikut jadi sasaran pukulan. Perkehalian pelajar, selain telah sangat memalukan, menurut sebuah sumber di kepolisian, memang telah meningkat menjadi tindakan kriminal. Sebab itu, kata sumber itu, pihak Polri tak akan segan-segan mengambil tindakan tegas. Siapa pun pelajar yang menyulut pekelahian, setelah itu akan dituntut ke pengadilan. "Ini perintah terakhir yang kami terima," kata sumber itu. Widi Yarmanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini