Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menjaring pembajak video

Ketua asirevi djasmin minta bantuan advokat yapto suryosumarno dkk memberantas pembajak kaset video. sejumlah palwa (rental) video dicurigai mengedarkan kaset bajakan, negara dirugikan, ppn turun.

22 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA kabar bisnis kaset video? Penunjukan Yapto yang terkenal itu sebagai penasihat hukum Asirevi (Asosiasi Importir Rekaman Video) benar-benar menejutkan. Betapa tidak. Bukankah sejak mula berdiri, empat tahun silam, bisnis video sudah ditata secara sangat ideal? Di sektor yang gemah-ripah ini hanya ada lima perusahaan -- semuanya anggota Asirevi -- yang berhak mengimpor, memperbanyak, dan mendistribusikan kaset video. Dengan tatanan seperti itu, sudah sepantasnyalah kalau bisnis video beres dan aman. Tapi ternyata tidak. Bajak-membajak film makin gencar, sekaligus makin canggih. Tanpa kecuali, hampir semua film Barat atau film Indonesia bisa ditonton lewat kaset video bajakan. Bahkan, film Barat seperti Moonstruck atau film nasional Selamat Tinggal Jeanette -- yang kini sedang diputar di bioskop kelas satu Jakarta -- sudah ada dalam kotak hitam 15 X 9 cm persegi itu. Tinggal mengontak palwa (rental) terdekat, bayar Rp 1.000 atau Rp 1.800 semalam, si Jeanette bisa ditonton berulang-ulang. Gara-gara ulah pembajak itulah bisnis Asirevi terancam. "Bisnis Asirevi turun akibat merajalelanya jumlah video bajakan dan video selundupan," ujar Djasmin, Ketua Asirevi, pada wartawan TEMPO Ardian Taufik Gesuri. Djasmin cemas. Maka, sejak 1 Oktober 1988 ini, Asirevi menunjuk kantor pengacara Yapto Sulistyo Suryomarno, S.H. dan Rekan untuk menata proses hukum pembelian dan peredaran kaset video (home video). Segera, kantor pengacara yang terletak di bilangan Pancoran, Jakarta, ini memasang iklan di harian Kompas edisi 4 Oktober lalu. Iklan di pojok kiri halaman pertama itu, pokoknya menggariskan, sejak kaset diproduksi, tidak boleh ada lagi yang namanya gelap-gelapan. Namun, tak mudah mengawasi ribuan palwa yang biasa menyewakan video bajakan itu. Asirevi sangat menaruh harapan pada Yapto cs. karena dia sudah kenal betul belantara kejahatan di Jakarta. "Kami mempunyai organisasi kemasyarakatan di daerah-daerah. Kami juga berhubungan secara pribadi dengan pemilik usaha rental. Dari situ kami dapat informasi tentang video gelap," ujar Yapto lagi. Di pihak Asirevi sendiri bukan tidak ada kelemahan, yang sangat teknis sifatnya. Dalam pengedaran film Barat, asosiasi ini terlambat dua bulan dari pembajak. Dari pemasoknya di luar negeri (Hong Kong, Taiwan, ataupun AS), Asirevi menerima kiriman film yang sesampai di Indonesia harus diproses dahulu: mulai dari pembuatan master, sensor, penerjemahan, sensor lagi, penggandaan (sebanyak 300 kopi), barulah akhirnya penyebaran. Sementara itu, pembajak dengan mudah menyewakan video bajakan, tanpa banyak cingcong. Dan video bajakan ini laku keras, tanpa teks sekalipun. Dan palwa menolak membeli video yang diimpor Asirevi, padahal harganya cuma Rp 17.000. Mereka sudah lebih dahulu dipasok oleh pembajak yang bergerak begitu cepat. Maka, gersanglah bisnis Asosiasi. Dari 500 judul yang sudah diperbanyak di tahun 1985, hanya sebagian bisa dijual. Tahun 1986, dari 700 judul hanya separo yang terjual, sementara dari 29 judul di tahun 1987, belum satu pun diperbanyak. Kasus video bajakan itu, agaknya, merupakan kasus besar pertama bagi grup Yapto. Sekaligus juga, kasus yang merugikan negara dalam jumlah sangat besar. Bila dalam sebulan sang pembajak mengedarkan 60 judul film, berarti negara sudah dirugikan sekitar Rp 7,5 milyar -- dari pajak bea masuk, biaya sensor, dana sertifikat produksi, biaya penggandaan, PPn, Pajak Barang Mewah, dan Pajak Tontonan. Tapi, sekarang, palwa harus lebih berhitung kalau menyewakan kaset bajakan. Sebab, paling lambat 1 November depan, grup Yapto sudah akan menggebrak. Malah kabar selentingan menyebutkan bahwa, sejak pekan silam, gebrakan itu sudah mulai dilancarkan. Akibatnya, meminjam kaset video bajakan sudah tidak segampang dulu lagi. Mungkin dalam waktu dekat pasaran sudah "bersih", persis seperti yang dicanangkan Yapto. Toriq Hadad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus