Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kali

Kali ciliwung di tahun 1940-an masih bening. dipakai untuk mandi dan mencuci. lalu berangsur menjadi kotor. kini bagaikan bak sampah raksasa yang meliuk-liuk. kadar pencemarannya di ambang bahaya.

16 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"MAU ke mane. Bang?" tanya Taris pada Sanen. Keduanya bocah dari Kemayoran Gempol. Bersama anak-anak lain, mereka sedang melintas di depan Gedong Tinggi. "Ke kuli, yuk! Kita berenang di Ciliwung," seru Sanen dengan mata berseri-seri. Langkahnya bergegas. Anak-anak lain mengiku- ti dengan penuh sukacita, beramai-ramai menuju Kali Ciliwung yang melintas di ujung Jalan Pasar Baru. Dipilihnya babakan di Jalan Pos Utara. Itu tahun 1940-an. Tatkala Kali Ciliwung masih bening airnya. Anak-anak kampung pinggiran Jakarta suka berenang, bermain, bahkan mencari ikan di kali yang melintas dari Kota dengan cantiknya itu. Getek penambang masih ditarik orang, tiap hari dengan setia menyeberangkan babu dan tukang sayur yang membawa belanjaannya dari pasar. Kali itu begitu indah. Kali itu begitu menghidupi. Tepat benar, kakek moyang kita yang selalu memilih hunian di sepanjang kali. Yang mengalir di sana bukan hanya air. Tetapi juga sumber dan penyangga kehidupan manusia yang utama. *** "Ke mana, Pok? Pagi-pagi banget udeh berangkat!" Itu bukan pertanyaan. Tetapi tegur sapa Bang Salim pada Mpok Ijah yang bertetangga dekat. Mereka tinggal di Tangki, dengan membangun gubuk yang menempel di tembok Prinsen Park, Lokasari sekarang. Setiap lepas subuh, Mpok Ijah selah sudah berangkat. Ke Kali Ciliwung. Di ujung Mangga Besar, di salah satu, babakan Kali Ciliwung yang membelah Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk itu, setiap pagi dipenuhi empok-empok Betawi yang sedang membantu mencari nafkah. Menerima cucian. Itu tahun 1960-an. Tatkala Ciliwung masih menjadi sarana mandi dan cuci. Terutama bagi warga Jakarta yang kurang mampu. Atau mereka yang tidak memperoleh peluang memanfaatkan air ledeng dari saluran air bersih yang diusahakan Kota Praja. Sekarang namanya Perusahaan Air Minum, atau PAM. Bahkan penduduk Jakarta yang mampu pun sesungguhnya juga mengambil manfaat tidak langsung dari kali itu. Karena tatkala pakaian mereka dikirim ke tukang binatu, kebanyakan dicuci di Kali Ciliwung. Ciliwung saat itu adalah arena sosialisasi warga jelata dari kampung-kampung Jakarta. Di Kali Ciliwung, mereka bercengke- rama, bertukar gunjingan, tetapi juga meneruskan berita dan kabar suka maupun duka, tentang lingkungannya, tentang te- tangganya, tentang kota, dan bahkan bangsanya. Kali yang airnya mulai kecokelatan, karena sedimentasi lumpur dari hulu itu, ternyata masih sangat fungsional bagi kehidupan warga Jakarta. Biar cokelat, buat mandi dan mencuci masih sehat. Oleh karena itu, jangan heran kalau awal tahun 1970-an, Pemerintah DKI Jakarta masih membangun proyek kebanggaan. Tempat MCK (mandi, cuci, dan kakus) didirikan di sepanjang Kali Ciliwung. Tempat mandi dan cuci yang dahulu merupakan arena empok-empok melorot kainnya disekat dengan tembok melingkar. Maksudnya, agar mereka yang kebetulan melihat, tidak melengos malu! *** "Ke mana, Min? Sore-sore bergegas banget. Nengok kek kalau ditegur!" Paimin diledek tetangganya yang genit, Roilah. "Mau ke kali! Ikut apa?" sahut Paimin tanpa menoleh. Ia tahu, Roilah memang suka menggoda. Sudah tahu ia mau ke mana, masih juga bertanya. Bukankah dari wajahnya, Roilah mesti bisa menerka bahwa ia lagi kebelet. Pada tahun 1980-an, di tengah hunian kampung padat penduduk Jakarta, kalau Anda bilang mau ke kali. artinya hendak buang hajat besar. Kali, pada dasawarsa ini menjadi identik dengan kakus. Bukan hanya itu. Kali juga bak sampah akbar yang seolah meliuk-liuk seantero kota, menganga haus, siap menampung buangan apa saja, dari siapa saja dan kapan saja. Kini tidak ada seorang pun yang bisa membayangkan, orang pergi ke Kali Ciliwung, Kali Cipinang atau Kali Mookervart, hendak berenang atau mencari ikan. Juga sangat berbahaya untuk mandi atau mencuci. Bukan hanya tinja manusia. Juga tinja pabrik berupa buangan padat, cair, dan kandungan bahan beracun dan berbahaya semuanya ditumpahkan di sana. Kini, di Ciliwung sudah hampir semua parameter logam berat (kecuali Cr) ditemukan di sana. Bahkan beberapa di antaranya sudah berada di atas ambang yang dianggap aman bagi kesehatan manusia. Timbel atau plumbum (Pb) sudah mendekati maksimum yang dibolehkan. Air raksa (Hg), selain mencemari sungai, juga sudah merembes ke sumur--sumur penduduk Jakarta yang tinggal dekat sungai yang sangat kotor itu. Pencemaran mikroba idem dito. Bahkan sudah melampaui batas aman yang dibolehkan oleh standar mutu yang dianggap aman. Sampai air pun tak menampakkan kondisi fisik yang layak alirannya. Keadaan air yang sudah begitu cokelat keruh sampai hitam kelam sebenarnya tidak memerlukan lagi ukuran dengan norma kelarutan oksigen (Do, Dissolved Oxygen) ataupun kebutuhan biota akan oksigen (BOD, Bilological Oxygen Demand). Siapa saja akan tahu, yang di dalam sungai itu bukan air, tetapi kotoran yang terendam comberan. *** "Mau ke mana, Mas Her?" Mungkin di tahun ini dan selanjutnya Anda ketemu pejabat DKI dengan pakaian putih-putih menelusuri jalan sepanjang kali. Ia bukan sedang mengadakan feasibility study untuk menambang kembali logam berat atau plastik yang terbuang di situ. Tetapi, sangat boleh jadi ia seorang petugas Prokasih, Proyek Kali Bersih. Mungkin ia sedang mengintip ke selokan pabrik-pabrik kimia, tekstil, elektronik, bengkel, bahan bangunan, farmasi, plastik, makanan, dan minuman. Siapa tahu, pabrik-pabrik itu siangnya hanya membuang yang bersih-bersih. Tetapi yang kotor giliran dibuang sesudah tengah malam. Karena mereka beranggapan, barangkali, tidak apa buangan pabriknya ditumpahkan ke kali yang sudah jadi bak sampah raksasa itu. Ada di antara mereka yang bahkan berkilah, dengan menuding data-data, bahwa sumber pencemar utama adalah penduduk, bukan pabrik. *** Kali Ciliwung, Kali Brantas, Kali Citarum, Bangsawan Solo, Sungai Deli, Sungai Musi, Way Seputih, Sungai Mahakam, dan sungai-sungai lain mungkin bisa dilindungi. Tetapi perlindungan yang paling efektif sesungguhnya bukan berada pada faktor sampah atau buangannya, melainkan lebih berada pada naruni dan kesadaran kebersihan warga kota yang dilalui sungai-sungai itu. Termasuk industriwannya. Itu soal peradaban. Juga kepedulian industri untuk tidak mencemari lingkungannya. Dan itu soal keuangan dan kemauan berkorban, dengan kesediaan mengeluarkan ongkos dan sedikit kerepotan. Jadi, apa boleh buat. Di zaman deregulasi dan debirokratisasi ini, perkara law enforcement, di bidang pemeliharaan lingkungan dan penanggulangan pencemaran, toh masih sangat relevan. Disebarluaskan oleh Dana Mitra Lingkungan dan TEMPO sehubungan dengan "Hari Lingkungan" 5 Juni 1990.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus