SEBUAH tenda terpal didirikan di bantalan Kali Ciliwung, tak jauh dari Stasiun Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Di bawah tenda itu. Jumat pekan lalu, tokoh masalah lingkungan Erna Wi- toelar mengumpulkan tamu-tamunya, dari kalangan pers, perguruan tinggi lembaga swadaya masyarakat, dan instansi pemerintah, untuk diajak mengevaluasi Kali Ciliwung. Diskusi di pinggir kali ini merupakan penutup rangkaian acara "Pekan Ciliwung Bersih", yang diselenggarakan Erna untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup 1990. Gebrakan "Ciliwung Bersih", yang antara lain dengan pawai menyusur sungai keruh itu, cukup berhasil memancing per- hatian pers. Alhasil, banyak mata melirik ke arah kali berair cokelat itu. Seperti terungkap dalam diskusi lesehan itu, mereka semua mengakui Ciliwung telah dijangkiti pencemaran yang kronis. Ciliwung adalah pemasok air baku terbesar untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jakarta. Membayangkan Ciliwung bersih, menurut Menteri Negara KLH Emil Salim, tak cuma menyangkut kemudahan mendapatkan air baku yang sehat tapi juga tempat rekreasi. "Agar anak-cucu kita bisa bermain di situ," ujar Emil Salim, seusai mengikuti pawai rakit di Ciliwung dua pekan lalu. Kondisi Ciliwung saat ini memang jauh dari impian seorang Emil Salim. Jangankan anak-cucu manusia, anak ikan pun enggan bermain di situ. Segala macam limbah dihanyutkan lewat air Ciliwung. Konon, hampir separh dari 20.000 ton sampah Jakarta diceburkan ke Ciliwung. Dan sebagian dari 2.500 m3 air limbah industri dibuang ke sungai yang sama. Industri dan rumah tangga memang sama-sama memperlakukan kali Ciliwung secara tidak semena-mena. "Limbah rumah tangga memberikan andil 7O%," ujar Ir. Omarsidik Hadiasmoro, Ketua Jurusan Teknik Lingkungan Universitas Trisakti, Jakarta. Setijati H. Ediyono, Sekretaris Jurusan Teknik Lingkungan Universitas Trisakti, pernah membuat studi lengkap mengenai air Ciliwung dan Kanal Tarum Barat (dari Bendungan Jatiluhur, Jawa Barat, yang digunakan untuk mengatrol jumlah dan mutu air baku PDAM Jaya), dua tahun lalu. Penelitian itu mengungkapkan bahwa pencemaran oleh rumah tangga telah men- capai tingkat yang "bukan main". Pengambilan sampel air dilakukan di 10 titik. Dua titik di Tarum Barat, 8 lainnya di Ciliwung atau anak sungainya. Titik paling hulu ada di Kelurahan Bidaracina, dekat Jembatan M.T. Haryono, dan paling hilir di dekat instalasi PDAM Pejompongan, Jak-Pus. Pada ruas ini, Ciliwung membelah permukiman padat. Semakin menghilir, mutu air sungai memburuk. Perhatikan saja kandungan oksigennya (Do). Di Bidaracina, muatan oksigennya masih 5,4 mg/liter. Begitu menghilir sampai di depan Pasar Rumput, jumlah itu menyusut tinggal 0,9 mg/l. Seiring dengan itu, kadar cemaran organik meningkat dari 39 mg/l menjadi 85 mg/liter. Limbah rumah tangga pun dituding sebagai biang kerok, dan itu sangat masuk akal. Tapi yang bertanggung jawab dalam kasus ini bukan cuma warga yang bermukim di tepian sungai. Sebab, air selokan yang mengalir di kawasan Tebet dan bermuara di Ciliwung pun bukan main buruknya muatan oksigen cuma 0,49 mg/l, dan kandungan bahan organiknya mencapai 101 mg/l. Maka, makin ke hilir, air sungai pun kian berbau dan berbuih. Dalam penelitian Setijati tadi indikator itu tertangkap secara jelas. Di Bidaracina muatan amonia masih 0,3 mg/l, dan angka itu membengkak menjadi 3 mg/l sebelum sampai Pejompongan. Pada saat yang sama, muatan sulfida air kali meningkat dari 0,2 menjadi 1,4 mg/liter. Harap diketahui, amonia dan sulfida itu merupakan senyawa yang bertanggung jawab atas datangnya bau busuk. Sementara itu, selama menempuh perjalanan Bidaracina-Pejompongan, muatan deterjennya melonjak dari 0,4 sampai 1,7 mg/l. Secara fisik, penurunan mutu air sungai oleh limbah rumah tangga memang mudah terlihat. Namun, pencemaran air sungai oleh limbah industri tak kurang pula seriusnya. Industri di tepian Ciliwung, misalnya, dalam catatan tahun lalu, membuang limbah kimia 1,5 ton/hari. Secara rata-rata, pencemaran mereka 10 kali lebih besar dari ambang yang diizinkan. Namun, gebrakan Proyek Kali Bersih yang dilakukan oleh Gubernur Wiyogo dan Emil Salim sejak setahun lalu telah me nunjukkan hasilnya. Menurut Ir. E. Budihardjo, Kepala Pusat Penelitian Pengembangan Perkotaan dan Lingkungan (P4L) DKI, sampai Mei lalu, 62% industri di Jakarta telah berhasil menekan limbah pencemarannya sampai 62%. "Pada 1992 nanti mereka harus benar-benar bersih," kata Budihardjo. Kali yang harus dibersihkan bukan cuma Ciliwung. Kota Medan pun kini tengah bergulat dengan limbah pencemar sungai. Pencemaran paling serius terjadi di Sungai Deli, antara Glugur dan Belawan (19 km), tempat puluhan industri membuang limbahnya. "Belum lagi limbah rumah tangganya," ujar Ir. Jaya Arjuna, staf teknis tim pelaksana Prokasih Sum-Ut. Di Sungai Deli segala macam limbah industri bisa ditemui. Ada limbah pabrik, kertas, industri kimia, kelapa sawit, korek api, alkohol, sampai pengecoran besi dan peleburan baja. Belum semua industri siap dengan instalasi pengolah limbah. "Mereka membuang limbah pada malam hari atau di saat air pasang," kata Arjuna. Ikan-ikan pun menyingkir dari Sungai Deli. "Yang masih tertinggal hanya ikan bandel sema- cam gabus atau lele," tambah Arjuna. Cerita tentang ikan tergusur itu juga tengah berlangsung di Sungai Bengkulu. Dua-tiga tahun lalu, penduduk masih sering mengail ikan semah dan ikan putih di kali yang melintasi Kota Bengkulu itu. Kini kedua jenis ikan itu makin sulit dikail, tapi sering muncul ke permukaan sebagai bangkai. Apa yang terjadi? Sungai Bengkulu telah tercemar. Muatan lumpur di sungai itu kini telah mencapai 133 mg/liter, jauh lebih tinggi dibanding Ciliwung hilir yang "cuma" 73 mg/l. Muatan zat besinya pun lebih pekat dari sungai Ibu Kota, yakni 9 mg/l banding 6 mg/l. Menurut Drs. Norman Efendi, Kepala Biro KLH Bengkulu, biang keladi pencemaran itu adalah tiga perusahaan penambang batu bara yang beroperasi di hulu sungai. "Bayangkan, setiap perusahaan minimal mencuci 1.500 ton batu bara per hari," ujar Norman. Surat teguran sudah dilayangkan oleh Gubernur Raziz Yahya. "Tapi tak digubris," kata Norman. Maka, tim gabungan dari Pemda Bengkulu dan Departemen Pertambangan dan Energi datang menginspeksinya, dan mendapati kolam limbah di salah satu perusahaan itu tak berfungsi. Dua yang lain dinyatakan dalam kondisi yang buruk. Pemda Jawa Barat juga sibuk "memerangi" industri yang membawa dampak pencemaran. Maka, industri tekstil yang berada di dekat Sungai Citarum, di Bandung Selatan, diawasi ketat. Maklum, kawasan itu memang sudah tercemar hebat. Tingkat BOD di situ mencapai 27.276 kg/hari, padahal ambang yang diizinkan hanya 27 kg/hari. "Ini benar-benar jauh di atas ambang toleransi," ujar Wagub Karna Suwanda, di depan 100-an orang pengusaha industri di Patal Banjaran, Bandung, pekan lalu. Melihat keadaan tersebut, Karna bertindak tegas. Dua buah pabrik tekstil yang dianggap tak mengolah limbahnya secara semestinya diajukan ke pengadilan, dan satu lainnya ditutup unit pencelupannya. Sungai Citarum memang punya nilai strategis. Dia dibendung tiga kali -- menjadi Bendungan Saguling, Cirata, dan Jatilu- hur. Selain menghasilkan listrik, Citarum memberikan catu air pula bagi PDAM Jakarta, lewat Kanal Tarum Barat. Celakanya, jauh-jauh didatangkan dar Jatiluhur, air dari Citarum itu tak segar lagi. Dalam penelitian Setijati H. Ediyanto dari Universitas Trisakti, muatan oksigen di dalamnya tinggal 5,2 mg/l, masih di bawah sebutan sehat untuk air baku PDAM, yang ditetapkan minimal 6 mg/liter. Putut Tri Husodo, Liston P. Siregar (Jakarta), Sarluhut Napitupulu (Medan), dan Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini