SUDAH empat bulan ini, Sekolah Dasar Bembanbuang di pedalaman Kecamatan Babatoman, Kabupaten Musibanyuasin, Sumatera Selatan, ditinggal pergi oleh Rozian, satu-satunya guru di situ. Akibatnya, sekitar 50 murid terpaksa libur panjang jauh hari sebelum kenaikan kelas, sampai ada guru pengganti. Keadaan ini bukan cuma terjadi di SD Bembanbuang. Di Kecamatan Babatoman saja masih ada 16 SD yang cuma punya seorang guru. Selain merangkap kepala sekolah, guru-guru tunggal itu harus mengajar beberapa kelas sendirian. "Bahkan tak jarang berperan juga sebagai penjaga sekolah," ujar seorang penilik sekolah yang pernah meninjau ke sana. Babatoman adalah potret dunia pendidikan dasar di daerah terpencil Sumatera Selatan. Sejak Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menghentikan pengangkatan guru baru bagi Sum-Sel paa 1986, provinsi ini mengalami krisis kekurangan guru yang gawat. "Tahun ajaran 1990-91 ini Sum-Sel butuh 12 ribu guru," ujar Drs. Zaini Anwar, Kepala Dinas P & K Sum-Sel, akhir bulan lalu di Auditorium Pemda Palembang. Angka tersebut dihitung berdasarkan jumlah kelas yang tanpa guru. Karena itu, dengan sangat terpaksa, 400 ribu murid yang belajar di 12 ribu kelas diajar secara sambilan oleh guru yang ada. "Di sana," kata penilik sekolah tadi, "seorang guru terpaksa menggilir enam kelas." Seorang guru harus merangkap mengajar kelas I sampai kelas VI. Keadaan ini, menurut Drs. Aidil Fitrisyah. Kepala Dinas P & K sebelum Zaini, telah menahun. "Pada 1960 saya sudah menggilir tiga kelas," katanya. Dalam perhitungannya, Sum-Sel bukan cuma perlu 12 ribu guru. Yang benar adalah 16.110, terdiri dari 12.459 guru kelas dan 3.651 guru olahraga. Kebetulan, yang dianggap cukup olahraga hanya guru agama. Di satu SD, rata-rata ada seorang guru agama atau lebih. Kekurangan guru itu, menurut Aidil, sebagian karena ulah "anak kota". Setelah diangkat menjadi guru dan ditempatkan di pedalaman, kebanyakan mereka lantas berupaya meninggalkan tempat terpencil itu atau memilih profesi lain di kota. Namun, ada pula sebab lain, yakni kebijaksanaan Departemen P & K yang belakangan lebih banyak mengangkat guru bidang studi. Bukan guru kelas yang bisa ditempatkan di pedalaman. Beberapa usaha pernah ditempuh untuk menambal kekurangan guru agama. Sejak pemerintah menghentikan pengangkatan guru baru. Kepala Dinas P & K telah meminta para kepala sekolah agar merekrut guru honorer dari penduduk setempat. Gaji diambil dari dana BP3. Pada 1987, misalnya, telah dipekerjakan 399 guru honorer. Mereka, kalau perlu, bisa diangkat menjadi guru kelas. Namun, usaha yang sudah dilaporkan kepada Gubernur Sum-Sel itu ternyata tak mampu menjawab kekurangan guru di daerah terpencil. Sebagian guru honorer mundur karena gajinya cuma Rp 15 ribu sebulan, sementara iming-iming untuk mengangkat mereka menjadi guru tetap juga tak membantu banyak. Sebagian guru honorer ta memenuhi syarat menjadi pegawai negeri karena ijazah atau kelengkapan lainnya. Masalahnya memang ruwet. Prof. Hasan Walinono, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen P & K, bahkan melihat krisis guru semacam itu bukan cuma terjadi di Sum-Sel. "Ini masalah biasa dan terjadi di banyak tempat. Belum ada resep ampuh untuk mengatasinya," kata Hasan Walinono. Untuk mengatasinya, pemerintah pusat telah memberi wewenang kepada setiap provinsi supaya mengangkat guru baru sesuai dengan kebutuhan. Walau hal itu tak gampang, ternyata. Priyono B. Sumbogo, Siti Nurbaiti (Jakarta), dan Aina Rumiyati Aziz (Sum-Sel).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini