Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pamor Pabelan Dan Karisma Kiai

Pesantren pabelan mempunyai daya tampung 1050 san tri, kini tinggal 400 santri. peminatnya mulai menurun,disebabkan kiai dan staf pengajar sibuk diluar. karisma kiai sangat berpengaruh di pondok tersebut.

16 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH kompleks bangunan pesantren, yang catnya mulai memudar, menyebar di pelataran seluas 5 hektare. Sudut-sudut ruangan, yang biasanya semarak oleh para santri yang sedang ngobrol bersama ustad atau bermain gitar, kini mulai lengang. Pondok Pesantren Pabelan, terletak di sebuah dusun di Muntilan, Jawa Tengah -- sekitar 6 km dari Candi Borobudur -- yang pernah mendapat penghargaan dari The Aga Khan Award for Architecture pada 198O itu kini mulai sepi. Bahkan di masjid di dalam kompleks, yang dahulu jemaahnya selalu membludak, belakangan lebih sering "jarang" pengunjung. Gejala menurunnya peminat datang ke Pondok Pabelan mulai tercium K.H. Hamam Ja'far, pemimpinnya, sejak 1985. "Salah satu penyebabnya, karena kiai dan staf pengajar sibuk di luar pondok," kata kial berusia 60 tahun itu kalem. Kiai Hamam sendiri juga punya kesibukan luar biasa di luar pon- dok. Jabatannya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cabang Jawa Tengah, misalnya sangat menyita waktu. Belum lagi peran pentingnya sebagai Kepala Litbang GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam) Pusat. Masih ada lagi kegiatan tak tetap seperti memenuhi undangan ke luar negeri dan berbagai seminar. Awal 198O-an, saa Pak Kiai masih banyak waktu mengurus pondoknya, Pabelan pernah mempunyai santri 1.200 orang. Jumlah itu melebihi kapasitas 37 ruang yang ada, dengan daya tampung 1.050 santri. Ketika pamornya naik, Pabelan pernah punya santri dari Korea Selatan, Malaysia, dan Muangthai. Berbagai jenis bantuan dari pemerintah pusat dan luar negeri pun lancar mengalir. Masa kejayaan itu agaknya kini nyaris tinggal kenangan. Terutama sejak kiai dan staf pengajarnya banyak punya "sambilan" di luar pondok. Jumlah santri pun tiba-tiba melorot drastis. Tinggal 400 orang santri, terdiri dari 300 santri mondok dan 100 orang lepas dari desa sekitarnya. Dengan jumlah santri yang menciut itu, 27 ruangan tak berpenghuni alias mubazir. Artinya, hanya 10 ruang yang sekarang masih berfungsi. Pudarnya pamor pondok pesantren yang berdiri 1965 itu agaknya tak diduga Kiai Hamam. Semula Pak Kiai beranggapan kalau toh ditinggal untuk kegiatan di luar seharusnya peminatnya tak perlu merosot. Karena, kata Kiai Hamam di zaman modern ini pondok pesantrennya sudah dikelola secara modern. Sehingga, tugas kiai sebagai pengasuh pondok tak harus selalu di tengah-tengah santrinya. organisasi pun sudah disiapkan dengan rapi seperti adanya direktur, dewan guru, dan pengurus santri. "Tanpa saya, semestinya mekanisme, pondok tetap berjalan," katanya. Agaknya, ada hal mendasar yang menjadi ciri khas pesantren itu yang terlupakan. Ketika Kiai Hamam sendiri memelopori berdirinya Pondok Pesantren Pabelan, salah satu panji yang dicanangkan adalah pesantren harus menyatu dengan masyarakat sekitarnya. Ditekankan, adanya pola hidup dan belajar bersama antara para santri, kiai, dan orang desa. Kiai (guru) merupakan tokoh sentral, dan santri dianggap sebagai anak sendiri yang harus belajar 24 jam. "Kekurangberadaan kiai menyebabkan fungsi keguruan, kebapakan, dan fungsi keteladanan berkurang," kata M. Balya, administrator Pondok Pabelan. Ketika Kiai Hamam mulai aktif di luar pondok, beberapa stafnya sudah mengingatkan. "Beberapa staf pondok malah menentang kegiatan saya di luar pondok, ya nggak apa-apa. Saya harus menyesuaikan din," kata kiai berputra dua ini. Karena Kiai jarang hadir di tengah-tengah santrinya, menurut Balya, norma-norma kedisiplinan pun makin longgar. "Seperti bengalnya anak yang ditinggalkan bapaknya," katanya. Para santri, misalnya, jarang melakukan salat berjamaah. Bahkan ada santri mulai jarang masuk sekolah. Kehadiran Kiai Hamam di pondok itu dianggap sebagai sentral karena karismanya. Namun, ada pula sebab lain seperti kehadiran guru yang juga mulai tak teratur "Pelajaran sering kosong karena guru kerap tak datang," kata Umi Salmaah, salah seorang santri putri. Kondisi itu bisa dimaklumi karena sekitar 15 orang gurunya berasal dari luar pondok. Sebenarnya, syarat masuk Pabelan tak sulit. Yang penting, mereka harus lulus SD. Pesantren Kiai Hamam ini pula yang pertama merintis pencampuran santri putri dan putra dalam satu kompleks. Mereka diharuskan berkomunikasi dengan bahasa Inggris, Arab, dan Indonesia di pesantren. Di samping digembleng dengan ilmu agama, para santri juga diharuskan bergelut dengan sawah, ternak, alat pertukangan, dan kehidupan masyarakat sekitarnya. Untuk melatih para santri memahami masalah nyata di masyarakat, pesantren punya kegiatan kongkret. Yakni membina para perajin dan peternak dengan kredit ringan, tanpa bunga. Kredit yang disalurkan Koperasi Pondok Pesantren (Koperten) sejak 1984 itu besarnya rata-rata Rp 30 ribu untuk tiap orang. Kredit gaya Pabelan, menurut Kiai Hamam, diberikan atas pertimbangan ingin mengangkat masyarakat miskin di sekitarnya. "Masyarakat Pabelan rata-rata miskin. Tanah mereka sempit-sempit," katanya. Di ruang kelas, para santri memang harus belajar ilmu agama dan umum. Pengajaran diberikan berjenjang, mulai dari kelas satu sampai kelas enam. Mereka harus ikut ujian persamaan bila memerlukan ijazah SMP dan SMA. Sebab, ijazah pondok sendiri tak diakui Departemen P dan K. Untung, tak semua santri ingin kuliah di perguruan tinggi. "Saya tak khawatir dengan masa depan saya. Walaupun tak melanjutkan ke perguruan tinggi, saya dapat mengamalkan ilmu saya di masyarakat," kata Umi Salmah. Setelah lulus, banyakan santrinya kembali ke desa dan membuka usaha. "Saya menginginkan mereka bisa menjadi dirinya sendiri," kata Hamam. Gatot Triyanto (Jakarta) dan Mohammad Aji Surya, R. Fajri (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus