Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMPANYE pemilu sudah dimulai, dan selama tiga pekan mendatang, kita pun akan disentakkan oleh angka-angka yang fantastis. Yakni, jumlah massa yang dinyatakan hadir dalam kampanye tiap-tiap orpol. Soalnya, pasti terjadi jorjoran dalam jumlah massa yang diklaim hadir. Maka, bersiaplah membaca atau mendengar laporan jumlah massa yang sering tidak masuk akal. Misalnya, setengah juta. Atau malahan satu juta. Kita ingat, di beberapa pemilu yang lalu hal-hal semacam itu selalu terjadi. Taksiran jumlah massa itu biasanya diberikan oleh orpol penyelenggara kampanye. Dalam politik, penciptaan image sangat penting. Karena itu, menciptakan citra bahwa suatu orpol memperoleh minat besar masyarakat sangat penting artinya bagi orpol yang bersangkutan. Kampanye pada hakikatnya adalah mobilisasi opini: bagaimana mempengaruhi publik agar mendukung, setidaknya bersimpati, pada salah satu kontestan, hingga pada hari pemilu nanti yang bersangkutan mencoblos orpol tersebut. Karena itu, masyarakat dianggap perlu diyakinkan agar terpengaruh dengan citra besar suatu orpol. Antara lain, kalau perlu dengan melipatgandakan taksiran jumlah yang hadir dalam kampanye tadi. Soal jumlah massa ini memang penting. Bahkan Abdurrahman Wahid, ketua Tanfidziyah NU yang juga pimpinan Forum Demokrasi, yang dikenal santai dan sabar, bisa meledak dalam soal ini. Tatkala beberapa pekan lalu acara halal bihalal Forum Demokrasi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dibatalkan karena tidak memperoleh izin, dia tenang saja dan menyilakan hadirin makan. Begitu juga waktu tak boleh bicara dalam suatu pertemuan PPP di Surabaya akhir April lalu, dia pun tidak mengomel. Namun, waktu sejumlah media massa melaporkan bahwa jumlah massa yang hadir dalam rapat akbar NU di Senayan awal Maret silam "hanya" 150.000, Gus Dur sempat "meledak". "Itu tidak betul," ujarnya. Menurut dia, taksiran itu sengaja diperkecil oleh aparat keamanan, yang kemudian dikutip begitu saja oleh media massa. Dia sendiri menaksir, massa yang hadir hari itu sekitar 300.000. Memperkirakan jumlah massa di suatu lapangan terbuka memang sulit. Bahkan menaksir jumlah hadirin di suatu gedung pun wartawan kita sering bingung. Tatkala awal tahun ini sebuah orpol mengadakan acara di Istora Senayan, beberapa koran melaporkan bahwa jumlah massa yang hadir 15.000 sampai 20.000 jumlah yang masuk akal karena kapasitas tempat duduk di Istora memang sekitar 10.000. Ternyata, ada wartawan yang menaksir sampai sekitar 50.000. Lebih gila lagi, ada koran yang melaporkan jumlah 100.000! Padahal, siapa pun tahu, biarpun 100.000 orang yang konon hadir itu disusun bagai ikan pindang, Istora pasti tidak akan muat. Tampaknya banyak wartawan kita yang memang belum mampu menaksir jumlah massa. Karena itu, dalam masa kampanye ini mereka perlu tahu "ilmu" menaksir jumlah massa, hingga bisa melaporkan jumlah yang mendekati kebenaran. Menaksir jumlah massa dari atas bangunan tinggi, dari helikopter, ataupun dengan mempelajari foto udara (aerial photographs) lebih gampang. Tapi, wartawan yang ikut berjubel di tengah massa pasti sulit membuat dugaan. Mungkin para wartawan kita perlu belajar pada Edward T. Hall, seorang antropolog Amerika yang mengembangkan cabang ilmu proxemics, yang mempelajari ruang atau "wilayah" yang dipakai manusia dan bagaimana menggunakannya. Secara umum Hall mengatakan, ada empat jenis ruang yang biasa dipakai orang: jarak intim, jarak pribadi, jarak sosial, dan jarak publik. Jarak ini masing-masing terbagi lagi dalam "dekat" dan "jauh". Ruang yang dipakai dalam berbagai jarak itu berbeda. Pasangan yang berpacaran, misalnya, tergolong pada jarak intim yang dekat. Dalam suatu kerumuman massa, jarak itu bergantung juga pada peristiwanya, luas tempat peristiwa itu terjadi, serta "ikatan batin" antara mereka yang hadir. Penonton suatu pertunjukan musik di lapangan terbuka bisa sangat padat. Mereka tidak peduli berdesakan karena menganggap mereka sama-sama penggemar. Tapi kerumunan penonton penjual obat lebih renggang. Mereka tidak saling mengenal, dan karena itu menjaga jarak masing-masing. Dalam massa yang renggang, orang memakai ruang satu meter persegi atau lebih. Pada massa yang padat, yang tergolong jarak intim atau jarak pribadi, tiap orang bisa cuma memerlukan sepertiga meter persegi. Pada suatu kerumunan, "ketebalan" massa juga bervariasi: makin dekat dengan pusat pertunjukan biasanya padat, semakin jauh semakin renggang. Cara ini bisa digunakan untuk menaksir jumlah massa yang hadir dalam kampanye. Pertama, perlu ditaksir luas lapangan atau tempat kampanye. Ingat, lapangan bola berukuran sekitar 110 .003 68 meter. Bila perlu bisa digunakan tanda-tanda pembantu, misalnya tiang listrik yang jaraknya pasti. Jangan takut berkeringat dengan mengelilingi tempat kampanye untuk menaksir luas lapangan. Bila luas tempat kampanye telah diperkirakan, dan "ketebalan massa" telah ditaksir, ruang yang dipakai tiap orang bisa dihitung. Tinggal membagi luas lapangan (kalau perlu dibagi dalam beberapa bagian menurut "ketebalan" massa) dengan ruang yang dipakai tiap-tiap orang. Jangan lupa diperhitungkan faktor-faktor yang khas kampanye di Indonesia, seperti adanya penjual makanan dan minuman yang memanfaatkan pesta demokrasi ini. Jadi, bila nanti penyelenggara kampanye di suatu lapangan yang luasnya satu hektare mengklaim jumlah massa yang hadir 100.000, jangan percaya. Gunakan akal sehat. Bila massa cukup padat dan tiap orang memerlukan ruang sepertiga meter, lapangan satu hektare paling bisa memuat sekitar 30.000 orang. Untung buat wartawan, berkampanye dengan berpawai di jalan-jalan dalam pemilu tahun ini sudah kena "cekal". Kalau tidak, bagaimana susahnya membuat taksiran. Paling-paling sang wartawan hanya bisa membuat gurauan: hitung saja jumlah kaki yang hadir, lalu bagi dua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo