RAUNGAN buldozer dan kehadiran puluhan petugas gabungan Korem Suryakencana dan Pemda Bogor membuat para pemilik vila di tanah PTP XI, Ciomas, tak berkutik melihat tempat peristirahatan mereka diratakan, akhir April lalu. Tapi, sepuluh hari kemudian, terdengar suara nyaring dari Bina Graha tentang nasib tanah negara seluas 154 hektare yang akan dijadikan lapangan golf dan vila mewah oleh PT Prima Mustika Chandra (PMC) itu. Suara yang menuding jual beli oleh PMC itu tidak sah datang dari Sekretaris Pengendalian Operasionil Pembangunan (Sesdalopbang), Solichin G.P. Jual beli itu, kata Solichin, wajib batal karena PTP XI dan Menteri Keuangan, yang mengizinkan penjualan tanah itu atas rekomendasi Menteri Pertanian, bukan pemilik tanah. PTP XI hanya sebagai pengelola. Tanah yang tersebar di tiga desa Ciomas itu, menurut bekas Gubernur Jawa Barat tersebut, semula merupakan bagian dari kebun Culture Maatschappy Ciomas pada zaman Hindia Belanda. Tahun 1981, Menteri Dalam Negeri memberikan hak guna usaha (HGU) kepada PTP XI untuk ditanami teh, cengkeh, dan karet. PTP XI tak memanfaatkan HGU itu, malahan mengubah peruntukannya menjadi hak guna bangunan dan menjualnya seharga Rp 2,4 milyar lebih kepada PT PMC pada 1988. "Tanah tersebut harus dikembalikan kepada negara," ujar Solichin. Lain harapan Solichin, lain pula harapan para petani penggarap dan pemilik vila yang tergusur. Uci, penduduk Desa Sukaluyu, misalnya, mengaku menggarap tanah di sana sejak 1967. Pada 1978, tanah Uci seluas dua hektare itu, yang disebutnya sebagai warisan dari ayahnya, diaku PTP XI masuk wilayah perkebunan. Selanjutnya Uci, juga penggarap lainnya dan para pemilik vila, dituduh menggarap dan menempati tanah itu secara tidak sah. "Padahal, kami sudah mengajukan permohonan hak tanah ke BPN Bogor, tapi tiada kabar," ujar Uci. Karena Uci dan kawan-kawannya hanya memiliki surat alih garap tanah, mereka tak punya kekuatan hukum menghadapi aparat. Beruntung Solichin, yang punya vila berhalaman lima hektare di Ciomas, berada di luar areal pembuldozeran. Dua hari setelah Solichin bicara, Menteri Pertanian Wardojo menjawab bahwa penglepasan tanah itu, sesuai dengan prosedur, karena dilengkapi izin Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Pertanian. "Kalau Sesdalopbang mau menangani penjualan tanah yang tak ada masalah lagi itu, silakan," lanjutnya. PTP XI, menurut Wardojo, terpaksa melego kebunnya karena kas melilit. Tahun 1985, Menteri Pertanian mengusulkan penglepasan aset BUMN itu kepada Menteri Keuangan, dan disetujui. Tahun 1990, areal kebun itu dialihtangankan kepada PMC. Selang setahun, menurut sumber di PTP XI, setelah PMC membayar uang penglepasan Rp 2,4 milyar, BPN Bogor memberikan surat hak penyerahan tanah kepada pemilik baru. Dalam masa pengalihan ke PMC itulah, menurut Danrem Suryakencana, Kolonel Suljana W.H., para penggarap berdatangan dan mencabuti patok-patok. Sebagian tanah itu mereka garap sendiri dan sisanya dikapling-kapling dan dijual kepada umum, termasuk pejabat ABRI. Adanya oknum ABRI itulah yang membuat Sulyana menugaskan anak buahnya mengamankan lahan sengketa. Adakah Solichin bakal berhasil memasukkan uang penjualan tanah PTP XI itu ke kas negara? Siapa tahu. Sebab, katanya pada TEMPO, berbagai keputusan menteri itu tak sesuai dengan keputusan di atasnya. Ardian Taufik Gesuri, Sandra Hamid (Jakarta) dan Ahmad Taufik (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini