Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"SALAM metal ...." teriak massa berbaju merah yang memenuhi Taman Bungkul, Surabaya. Teriakan ini dibarengi acungan tiga jari, jempol, telunjuk, dan kelingking, ke atas. Inilah atribut terbaru Partai Demokrasi Indonesia yang tahun ini naik ke panggung kampanye dengan salam khas yang beken di kalangan anak-anak muda penggemar musik keras. Acungan tiga jari konvensional, telunjuk, jari tengah, dan jari manis, hanya dipakai untuk massa abang becak, buruh, dan orang-orang tua dari daerah kumuh. Pemilih muda, yang dalam pemilu kali ini diperkirakan berjumlah 17 juta orang, adalah salah satu incaran utama PDI kali ini. Itu sebabnya jualan yang dijajakan PDI tak jauh dari selera anak-anak itu. Selain "salam metal" tadi, tengok saja jualan Ketua Umum PDI Soerjadi di Surabaya, Ahad kemarin. "... Demokrasi di Indonesia ini terasa pengab. Untuk bernapas saja sulit. Mengapa demokrasi Indonesia pengab, karena terjadi birokratisasi politik. Artinya, politik Indonesia terlalu diatur...." Jualan utama yang menarik anak muda dari PDI lagi yakni perubahan. Dalam suatu kesempatan, Soerjadi mengatakan pada TEMPO bahwa inti kampanyenya kali ini adalah bagaimana PDI ingin ikut berperan dalam menggulirkan perubahan. Perubahan yang ditawarkan menyangkut masa jabatan presiden dua kali setelah 1993, sistem ekonomi yang lebih mementingkan pemerataan, dan sistem politik. Kwik Kian Gie, salah satu pemikir utama di PDI saat ini, mencontohkan, PDI akan terus mendesak perubahan struktur dan prosedur di DPR agar lebih berfungsi. Kongkretnya, Kwik lantas berbicara soal tata tertib yang selama ini membelenggu DPR sendiri. Misalnya saja jika hendak mengajukan rancangan undang-undang (hak inisiatif) mesti mendapat persetujuan tiga fraksi terlebih dahulu. Titik pusat konsentrasi ke anak muda dan perubahan ini sebenarnya sudah dilakukan PDI sejak 1987 lalu. Kala itu PDI juga memasang pemilih wanita sebagai target mereka. Dua lapisan ini dianggap sebagai bagian dari sasaran besar mereka yang utama, yakni wong cilik atau rakyat kecil. Dan sejak pemilu ini pula citra bahwa PDI adalah "partai masa depan" mulai dipelihara. Tahun 1987, perolehan PDI betul-betul meledak. Untuk nasional, kursi PDI di DPR naik dari 24 menjadi 40. Di Jakarta, PDI berhasil menduduki posisi nomor dua setelah Golkar. Selain jualan yang pas dengan selera konsumen tadi, sebenarnya ada banyak hal pula yang mempengaruhi sukses PDI. Penggembosan PPP oleh NU memang mencipratinya. Tahun 1987, PDI juga mendapat keuntungan dari pimpinan ABRI yang secara terbuka mengumumkan sikap netralnya. Beberapa faktor inilah yang sekarang belum bisa dipastikan keberadaannya. ABRI yang netral tampaknya masih akan terus berlanjut. Namun, apakah ada angin baik yang betul-betul mendorong PDI maju, belum bisa dilihat. Jika kampanye hari pertama di Surabaya ditilik, bisa jadi ada gejala serupa. Perizinan yang semula agak sulit, karena lokasi yang digunakan adalah kawasan strategis yang berdekatan dengan kantor bank dan rumah-rumah pejabat, belakangan malah didukung penuh dengan penjagaan keamanan yang amat rapi untuk lebih dari 10.000 massa yang tumpah-ruah sampai ke jalan. Ancaman yang lebih besar bisa jadi akan datang dari penggembosan. Konflik intern antara "Kelompok 17" pimpinan Dudi Singadilaga-Marsoesi dan kepemimpinan Soerjadi masih menjadi duri dalam daging. Lawan-lawan politik Soerjadi yang kemudian mendirikan DPP tandingan ini malah sempat mengadakan Musyawarah Pimpinan Nasional di Bandung, Februari lalu. Hasilnya, keputusan untuk menggembosi Soerjadi. Bahkan Thaib Ali, tokoh senior PDI di Aceh, secara terbuka menyatakan, "Untuk sementara saya Golkar." Perlu diingat, Dudi, Marsoesi, atau Thaib adalah tokoh bekas PNI tua yang sangat berpengaruh di wilayahnya masing-masing. Di Jakarta, tempat paling prestisius yang mengangkat PDI 1987 lalu, jurus anak muda PDI belakangan juga ditandingi oleh Ketua Golkar Jakarta, Basofi Sudirman. Lewat Forum Dinamika Jakarta, Basofi sudah sering mengadakan penggalangan massa kaum muda sejak tahun lalu. Langkah Basofi juga tiba-tiba mengejutkan dengan bergabungnya Wakil Ketua Pemuda Demokrat Jakarta yang dikenal dekat dengan PDI ke kubu Golkar. Bisa jadi, pertarungan berebut anak muda ini bakal seru di Jakarta. PDI punya Guruh Soekarno Putra yang punya massa lewat Swara Maharddhika. Jajaran artis PDI kali ini tak kalah banyak dengan Golkar. Yang sekarang sedang naik daun adalah Harry "Lenong Rumpi" de Fretes alias Boim. Sayangnya, PDI sejauh ini punya kelemahan. Daftar calon untuk Jakarta kurang keren. Konon, Kwik Kian Gielah yang tadinya akan menduduki posisi nomor satu untuk Jakarta. Karena teledor tak terdaftar, ia kehilangan hak pilih sekaligus tak bisa dicalonkan. Pengganti Kwik adalah Alex Asmasoebrata, ketua PDI Jakarta, bekas pembalap yang juga putra tokoh PDI Ipik Asmasoebrata. Tapi ada yang bilang, pemilih tak peduli dengan daftar nama. Yang dicoblos adalah tanda gambar. Yopie Hidayat (Jakarta), Jalil Hakim (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo