Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA sebuah peristiwa penting di Bali, pekan ini. Tak kurang dari 70 menteri luar negeri negara-negara Nonblok tumpah-ruah selama dua hari di kawasan wisata Nusa Dua untuk membahas agenda Konperensi Tingkat Tinggi Nonblok di Jakarta, September depan. "Ini tahap persiapan untuk the big show di Jakarta," kata Direktur Jenderal Politik Departemen Luar Negeri, Wirjono Sastrohandojo. Mengapa peristiwa penting ini tak mendapat perhatian besar? Banyak orang menilai, Gerakan Nonblok (GNB) sudah tak sepenting dulu. Runtuhnya komunisme yang secara otomatis mencairkan perang dingin adalah sebabnya. Akibatnya, banyak yang menilai GNB makin kurang relevan dengan situasi dunia saat ini. Itu juga sebabnya hingga muncul usulan agar nama gerakan ini diganti. "Istilah Nonblok kurang memberi makna positif. Itu menggambarkan konstelasi dunia yang pernah ada selama 30 tahun tapi kini sudah tak ada lagi," kata bekas Menteri Luar Negeri Indonesia, Mochtar Kusuma-Atmadja, dalam sebuah temu wicara akhir bulan lalu. Sebagai pengganti, Mochtar mengusulkan nama: Gerakan untuk Suatu Tatanan Internasional Baru. Dengan usulan nama baru itu, sebenarnya Mochtar hendak menunjukkan bahwa apa yang harus diperjuangkan GNB memang sudah berubah. Bukan lagi sekadar tidak memihak pada blok tertentu, melainkan memperjuangkan suatu emansipasi penuh dalam kehidupan politik, ekonomi, dam sosial budaya, dalam pergaulan internasional. Bagaimana peran GNB di tengah tata dunia baru yang tak lagi mengenal blokblokan memang salah satu topik pembahasan penting dalam persidangan di Bali. Tampaknya, upaya agar relevansi GNB masih bisa dipertahankan mendapat prioritas utama dalam persidangan para menteri luar negeri ini. Salah satu argumentasi yang diutarakan, GNB memang bukan sebuah gerakan yang semata-mata bertujuan untuk menerapkan asas netralitas atau menengahi konflik antara "bekas" blok Timur dan Barat. Kalau selama ini ada anggapan demikian adalah "salah kaprah". Selama ini GNB selalu menawarkan pendekatan lain dalam memecahkan masalah rivalitas di antara negara-negara superkuat ini. Itu sebabnya, dengan runtuhnya blok-blok itu, GNB bisa dinilai semakin relevan. Topik penting lain yang dibicarakan adalah usulan untuk merestrukturisasi PBB agar makin relevan dengan keadaan sekarang. Bukan berarti GNB tak mengakui pentingnya PBB. Justru karena PBB dianggap penting, GNB menilai bahwa harus ada perubahan di PBB, yang dua pertiga anggotanya adalah negara-negara anggota GNB. Kemungkinannya adalah menyeimbangkan peran Majelis Umum, Sekjen, dan Dewan Keamanan. Selama ini Dewan Keamanan adalah organ paling vital yang mendominasi setiap langkah PBB. Repotnya, bagi GNB, Dewan Keamanan dikuasai lima anggota tetap yang punya hak veto, yakni Amerika Serikat, Inggris, Prancis, RRC, dan Republik Rusia (dulu Uni Soviet). Belakangan, setelah Soviet bubar, tak pelak lagi suara di Dewan Keamanan mutlak dikuasai Amerika dan sekutunya. RRC, sekalipun sering tak mendukung kebijaksanaan Amerika, tak pernah menggunakan hak vetonya untuk membatalkan resolusi yang disponsori Amerika. Negeri ini masih membutuhkan dukungan Amerika, terutama di bidang ekonomi. Demikian juga halnya dengan Rusia. Dominasi beberapa negara ini tentu saja memprihatinkan negara-negara anggota GNB, yang akhirnya melihat Dewan Keamanan sebagai institusi untuk memaksakan kehendak dari negara kuat atas negara lemah. Tak heran jika dari negara-negara anggota GNB berulang kali muncul usulan agar hak veto lima negara itu ditinjau kembali. Suara lain juga menyatakan agar Sekretaris Jenderal PBB mestinya mendapat mandat yang lebih besar, sehingga secara efektif dan tanpa banyak hambatan bisa menangani krisis di antara anggota. Dalam kerangka tata dunia baru ini, sidang menlu di Bali tersebut juga membicarakan soal yang menyangkut hubungan antaranegara Selatan, seperti perdagangan dan pembangunan, lingkungan, dan soal hak asasi manusia. Di luar itu, satu hal yang tak terelakkan adalah kasus Libya. Dalam persidangan di Bali, para menlu juga membahas masalah sanksi embargo udara yang sedang dialami salah satu negara Nonblok -- yang melarang semua penerbangan dari dan ke Libya -- dari Dewan Keamanan PBB. Dalam soal ini, negara-negara Liga Arab pun terpecah antara yang sepakat untuk menjalankan sanksi dan yang menentang. Bahkan sampai sidang Majelis Liga Arab yang terakhir, penghujung April lalu, tetap saja kesepakatan tak bisa diambil. Itu sebabnya mereka memutuskan untuk melanjutkan pembahasan di Bali. Perpecahan semacam ini bukan tak mungkin bisa timbul pula di antara sesama anggota GNB. Persidangan juga akan "seru" karena delegasi Libya, menurut sebuah sumber TEMPO, sudah memberikan konfirmasi kedatangannya dalam persidangan di Bali ini. Itu sebabnya dalam persidangan nanti akan diusahakan agar suasana tidak menjadi panas dan menjadi ajang saling mengutuk. Upaya itu, menurut seorang pejabat tinggi Indonesia, bukannya tak mungkin berhasil. "Mayoritas anggota saat ini lebih cenderung nonkonfrontatif, nondogmatis, dan bersedia bekerja sama," katanya. Meski demikian, soal Libya adalah pekerjaan rumah yang tidak mudah buat Indonesia. Selain itu, kabarnya, Libya juga berniat untuk membuka kedutaan besar di Jakarta, karena Indonesia adalah Ketua GNB. Soal itulah yang sedang hangat dibahas sekarang. Yopie Hidayat (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo