Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kang Djoni vs. Kang Jepri

Ginandjar merasa tak bersalah, Winters merasa tak menghina; masyarakat merasa special prosecutor dibutuhkan

29 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sedikit saja keluar dari Evanston, kota mungil (penduduk 75.000 jiwa) di suburbia Chicago, tempat North-western University terletak, barangkali orang menggeleng kalau ditanyai apakah pernah mendengar nama Jeffrey Winters. Tapi di seluruh Indonesia nama akademisi muda dosen ekonomi politik universitas yang berkampus di tepi danau Michigan itu jadi sangat beken sekarang. Yang membuatnya tenar ialah sorotan tentang perkaranya dengan Kang Djoni alias Ginandjar Kartasasmita, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, yang juga profesor doktor itu (di mana letak kampusnya, maaf, belum sempat kami cek). Pekan yang lalu Winters datang untuk peluncuran bukunya, tetapi disambut dengan panggilan oleh polisi sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik Ginandjar dan oleh Kejaksaan Agung untuk diperiksa mengenai bahan-bahan tentang kemungkinan kolusi di perusahaan pertambangan emas-tembaga Freeport Indonesia. Akhirnya Winters bisa pulang ke Amerika menurut jadwal, dan tidak dicekal seperti dikhawatirkan semula. Dia sendiri menyayangkan, mengapa dirinya yang jadi pusat perhatian dan bukan masalah yang dikemukakannya tentang kemungkinan kolusi itu yang dilanjutkan pengusutannya. Seperti pernah diberitakan, ribut-ribut antara Winters dan Djoni Ginandjar itu sebenarnya telah terjadi Oktober tahun lalu (baca TEMPO, 26 Oktober 1998). Pada mulanya adalah Winters memberi keterangan pers tentang kebocoran bantuan pinjaman Bank Dunia yang cukup besar. Dia menganggap rakyat Indonesia tidak pantas jadi korban untuk menanggung bagian dari hutang yang padahal hanya dinikmati oleh tikus-tikus besar pencurinya. Jumlah utang yang raib itu harus dihapus dari kewajiban pengembaliannya, karena Bank Dunia juga ikut bersalah dengan membiarkan itu terjadi. Ketika ditanya apakah Ginandjar, yang saat itu adalah Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, pantas memimpin tim penyelidik penyelewengan kredit Bank Dunia itu, Winters menjawab negatif, dan menyarankan memilih orang lain "yang tak punya question mark di kepalanya". Alasannya: ada berita bernada miring di harian The Asia Wall Street Journal tentang hubungan dekat Ginandjar dengan bos Freeport McMoran C&G, James Moffet, dan ada laporan Econit tentang kolusi dalam kepemilikan saham di Freeport Indonesia. Winters tidak menganggap keterangan ini—bersumber pada informasi terbuka, dan bukan sebuah penilaian tersendiri—sebagai penghinaan. Tapi Ginandjar, dan beberapa anggota kabinet Habibie lainnya, tak urung sudah jadi gusar. Keheranan Winters bahwa dirinya jadi sorotan memang bisa dimengerti. Apalagi mengingat begitu banyaknya peristiwa lain yang lebih penting untuk mengisi halaman muka surat-surat kabar saat ini. Di tengah berita kekacauan di Ambon dan Sambas, masalah otonomi khusus Timor Timur, runyamnya likuidasi dan rekapitalisasi bank, perdebatan KPU dan pemerintah tentang larangan kampanye menteri-menteri yang berjejal di benak masyarakat, kok masih sempat merepotkan soal pencemaran nama? Mungkin ini disebabkan polisi dan kejaksaan yang mau tidak mau "terpaksa" memeriksanya karena laporan Ginandjar belum dicabut ketika kebetulan Winters sedang ada di sini. Di lain pihak, luapan perhatian itu bisa berarti memang ada yang mengganjal dalam psikologi publik, yang menunggu kesempatan pengungkapan lebih jauh setiap dugaan korupsi yang menyangkut pejabat tinggi. Orang sulit dibuat percaya bahwa masalah di seputar Freeport Indonesia tak ada apa-apanya. Ginandjar menyangkal, demikian juga "Jim Bob" Moffet. Jangan lupa, pembuktian memang susah, apalagi kalau tingkatnya sudah bertaraf internasional. Kalaupun pernah ada apa-apa, semua sudah diamankan dengan perlindungan legal yang canggih sebelumnya. Percuma untuk mencari jejaknya kalau hanya dengan cara amatiran. Sementara itu, menghapus kecurigaan akan sama sukarnya dengan menghilangkan tinta pemilu, manakala nama seperti Aburizal Bakrie, Abdul Latief, Mohamad Bob Hasan, dan bahkan Soeharto, ikut disebut-sebut. Ginandjar memang dipuji IMF dan Bank Dunia sebagai pemimpin tim ekonomi yang tangguh, dan dia memang punya daya analisis yang bagus dan cara kerja yang sistematis. Tapi tak bisa disangkal bahwa di mata awam dia dipandang punya "bakat" koncoisme dan nepotisme. Orang melihat berapa nama Kartasasmita di DPR dan MPR sebelum reformasi, dari adik, sepupu, sampai ke anaknya. Winters mau bebas dari tuduhan menghina, Ginandjar kepingin supaya asas praduga tak bersalah senantiasa diterapkan. Kita hormati keinginan itu. Tapi itu mengingatkan kembali perlunya special prosecutor dalam menyidik korupsi Orde Baru, lengkap dengan staf yang profesional. Supaya tuntaslah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus