Presiden Habibie cukup berani untuk datang ke Aceh, tapi hasilnya entahlah. Yang pasti, perjalanan itu menyebabkan lebih dari seratus orang mahasiswa, pemuda, aktivis menderita luka-luka dan dikirim ke rumah sakit. Bahkan kunjungan Habibie seperti memicu lebih keras permintaan referendum oleh kalangan pemuda dan mahasiswa Aceh. Janji-janji Habibie untuk membangun kereta api dan rehabilitasi sarana umum yang rusak akibat kekerasan ternyata tak mampu meredam permintaan referendum: untuk menentukan Aceh merdeka sendiri atau tetap berada di bawah Republik Indonesia (Lihat halaman 22).
Habibie dianggap tidak tegas menyatakan akan mengadili para pelaku pembunuhan selama Aceh berada dalam status daerah operasi militer (1989-1998), padahal itulah pernyataan yang paling ditunggu-tunggu dari Presiden Habibie. Luka akibat kekerasan tentara memang tak mudah dilupakan. Bayangkan saja. Selama DOM diberlakukan, menurut laporan Human Right Watch, ada lebih dari 1.800 orang hilang, sekitar 2.000 orang dibunuh, 2.500 mengalami siksaan fisik, di antaranya 115 perempuan mengaku diperkosa.
Setelah Soeharto jatuh, suasana longgar, pers mendapatkan kebebasan, semua borok di Aceh pun terungkap. Para janda Aceh mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta untuk mengadukan tewasnya suami mereka. Dalam kondisi begini, permintaan maaf Presiden Habibie—sekaligus kesanggupan mengangkat anak korban DOM sebagai anak angkatnya—dan Panglima ABRI saja jelas tak cukup meredakan kemarahan orang Aceh. Yang diperlukan Aceh adalah ketegasan untuk menindak pelaku pembunuhan selama DOM diberlakukan.
Sayangnya, ketegasan itulah yang tak sempat keluar dari mulut Presiden Habibie di Aceh pekan lalu. Bahkan, begitu pesawat yang membawa rombongan Habibie lepas landas meninggalkan Banda Aceh, aparat militer justru makin sengit menggepuk pengunjuk rasa yang meminta referendum itu.
Referendum yang diminta pengunjuk rasa itu sebenarnya bisa dinegosiasikan. Masih ada kemungkinan menawarkan otonomi yang lebih luas kepada Aceh, yang menjadi daerah istimewa pada 1959, kalau perlu dengan aturan mirip negara federal. Lalu, Jakarta bisa segera menurunkan tim pencari fakta kekerasan militer di Aceh. Setelah itu, pengadilan perlu dibuka untuk menyidangkan mereka yang menjadikan Aceh laksana ladang pembantaian di masa perang.
Untuk itu perlu ada prakondisi. Tidak ada jeleknya para aktivis Aceh mungkin perlu menurunkan suhu. Masalah Aceh, jika berkembang tak terkendali, akan menyulitkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Mereka juga ikut menyimak, dan siapa pun yang punya rencana masa depan Aceh perlu menyimak mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini