Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikrar Nusa Bhakti
Peneliti di Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI (lulusan Australia).
AUSTRALIA dan Indonesia tampaknya masih merupakan dua tetangga yang asing (strange neighbours). Bayangkan saja, meski sudah 54 tahun bertetangga, tetap saja terjadi saling tidak mengerti. Dalam kurun waktu tersebut, sudah beberapa kali terjadi pasang-surut hubungan kedua negara. Meskipun sudah ada hotline Jakarta-Canberra, forum tingkat menteri, hubungan antarpelaku bisnis, hubungan antar-rakyat, kerja sama yang baik antara Royal Australian Defence Force dan Tentara Nasional Indonesia, ternyata itu belum mampu menjadi perekat yang kuat bagi hubungan Australia-Indonesia. Persetujuan Pemeliharaan Keamanan (Agreement on Maintaining Security) antara Indonesia dan Australia yang ditandatangani pada 18 Desember 1995 seolah secarik kertas yang tidak bermakna. Tak mengherankan bila Indonesia membatalkannya pada 16 September 1999, setelah Australia menghentikan kerja sama militer dengan Indonesia. Timor Timur kembali menjadi salah satu batu sandungan dalam hubungan Australia-Indonesia. Krisis politik dan keamanan yang terjadi di bumi Timor Loro Sa'e pasca-jajak pendapat 30 Agustus 1999 itu berdampak buruk bagi hubungan Jakarta-Canberra. Lintasan sejarah menunjukkan kepada kita bahwa Timor Timur mendapat tempat khusus bagi rakyat dan pemerintah Australia. Wilayah bekas jajahan Portugal itu merupakan salah satu pijakan Australia dalam menahan serangan Jepang ke Australia pada Perang Dunia II. Di wilayah itu pula Australia membangun salah satu pos intelijen pertama bagi Australian Secret Intelligence Service (ASIS) pada 1941, sembilan tahun sebelum organisasi intelijen Australia yang bergerak di luar negeri itu secara resmi dibentuk. Di tempat itu pula pada 1942 tentara Australia digelar untuk operasi militer dengan kode sandi sparrow force (kekuatan burung pipit). Tak aneh bila veteran perang Australia memiliki ikatan emosional dengan Timor Timur. Bagi Australia, Timor Timur adalah salah satu ''halaman depan" yang dapat menjadi pijakan bagi strategi pertahanan depan (forward defence strategy). Suka atau tidak, Australia tetap memandang Indonesia, Timor Timur, Papua Nugini, dan kawasan Asia Tenggara serta Pasifik Selatan lainnya sebagai our region, sphere of primary strategic interest, dan area of direct military interest. Hal yang menyakitkan tapi sangat rasional adalah Review of Australia's Defence Capabilities yang dibuat Paul Dibb atas permintaan Menteri Pertahanan dan Keamanan Australia Kim C. Beazley (ketua oposisi sekarang) pada Maret 1986. Dalam review itu disebutkan, walaupun ''Indonesia tidak memiliki motif dan kapabilitas untuk mengancam Australia dengan kehancuran militer yang substansial" (halaman 33), kedekatan geografis meletakkan kepulauan di utara Australia itu sebagai '' area dari dan melalui mana ancaman terhadap Australia dapat secara mudah dilakukan" (halaman 4). Meski rangkaian kata-kata itu tidak lagi tercantum dalam Buku Putih Pertahanan Australia 1994 dan Strategic Review 1997, citra Australia tentang Indonesia itu tampaknya masih kuat. Itulah sebabnya Australia ingin membangun strategic partnership dengan Indonesia dan mengikatnya melalui Agreement on Maintaining Security. Tradisi Hobbessian atau aliran realis yang mementingkan stabilitas kawasan menuntut Australia menjaga hubungan baik dengan Indonesia. Dari sudut pandang rakyat dan pemerintah Australia, sesuai dengan etos sosialnya dan tradisi Kantian dalam hubungan luar negeri Australia, sejak masa pemerintahan kedua PM Robert Gordon Menzies (Desember 1949-Januari 1966) sampai PM John Howard (1996- ), Australia tetap berpendirian perlunya referendum untuk menentukan masa depan jajahan Portugal itu. Ini merupakan aspek kemanusiaan dan demokrasi yang terkait dengan politik luar negeri Australia. Tak aneh jika mereka membantu kemerdekaan Timor Timur. Meski ada perbedaan prinsip ideologi (sekarang sudah semakin memudar) antara Partai Buruh dan Partai Koalisi Liberal/Nasional, dalam soal Timor Timur terjadi bipartisanship. Kerasnya media massa Australia terhadap Indonesia dalam kaitannya dengan Timor Timur pun adalah wujud dendam kesumat mereka akibat terbunuhnya lima wartawan Australia oleh tentara Indonesia di Balibo pada 1975. Politik luar negeri biasanya bukan isu penting dalam setiap pemilu Australia. Tapi soal Indonesia, Timor Timur, dan Papua Nugini itu sangat terkait dengan politik domestik Australia. Ini tampak dari isu insiden peristiwa pembunuhan besar-besaran di Santa Cruz, Dili, 12 November 1991, sebulan sebelum PM Bob Hawke digantikan oleh PM Paul Keating. Penolakan rakyat dan pemerintah Australia terhadap Letjen TNI Herman Bernhard Leopold Mantiri sebagai calon duta besar RI untuk Australia pada medio 1995 terkait erat dengan isu Timor Timur. Kini PM John Howard dan Menteri Luar Negeri Alexander Downer lagi-lagi memainkan kartu Timor Timur dalam politik domestik dan luar negerinya, tanpa memperhatikan perasaan rakyat Tim-Tim prointegrasi dan rakyat serta pemerintah Indonesia. Pendekatan humanitarian digunakan PM John Howard untuk memenangkan hati rakyatnya. Ultimatum pada Indonesia, persiapan untuk menggelar pasukan di Tim-Tim, dan keinginan untuk menjadi negara nomor satu dalam pasukan multinasional yang mendapatkan mandat dari PBB adalah untuk menunjukkan bahwa Australia ''tidak pengecut" terhadap Indonesia. Ini bertentangan dengan saran dari sebagian jurnalis dan kalangan intelektual Indonesianis di Australia agar PM John Howard jangan ''merencanakan perang" terhadap Indonesia. Jika nantinya ternyata ada tentara Australia atau rakyat Tim-Tim yang terbunuh, ini berarti Australia mengirimkan tentara ''ke tempat yang salah, pada saat yang salah pula". Jika itu terjadi, bukan perdamaian yang terwujud di Tim-Tim, tapi kekacauan yang tiada henti. Akibatnya, pemerintahan koalisi dapat ''menuai badai dari angin yang mereka taburkan di Timor Timur". Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |