Eko Budihardjo
Rektor Universitas Diponegoro dan Koordinator Forum Rektor Jawa Tengah
TATKALA diundang untuk berbicara sebagai keynote speaker dalam konferensi internasional tentang ''Analisis Dampak Sosial" di Universitas Malaya bulan silam, saya agak tersentak, kemudian tercenung. Saya ditempatkan di university hotel yang cukup mewah di lingkungan kampus yang luas. Beberapa unit asrama yang pembangunannya disokong oleh pemerintah negara bagian—seperti Kedah, Selangor, Kelantan, Perak, dan Trengganu—menciptakan suasana kampus yang hangat, akrab, dan dinamis. Nuansa persatuan dan kesatuannya amat kental. Toko buku universitas dipenuhi buku-buku dan jurnal ilmiah paling mutakhir, baik yang diterbitkan oleh penerbit dari mancanegara maupun oleh penerbit Universitas Malaya sendiri.
Saya lantas teringat pada hasil penilaian majalah Asiaweek edisi 23 April 1999 yang memilih empat perguruan tinggi negeri (PTN) Indonesia sebagai universitas terbaik di Asia (the best universities in Asia) bersama 66 universitas lain di benua ini. Selintas terkesan hebat, tapi ternyata keempat PTN tersebut, yaitu Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro, dan Universitas Airlangga, berada di peringkat paling bawah. Semuanya di bawah rata-rata, sehingga kita serasa dipermalukan.
Memang beberapa tolok ukur yang dipakai Asiaweek berbau kapitalistis, misalnya yang menyangkut gaji dosen, anggaran pendapatan dan biaya untuk penyelenggaraan atau pengelolaan PTN setiap tahun, serta kelengkapan fasilitas penunjang seperti perumahan dosen dan asrama mahasiswa. Semua itu berkaitan dengan rupiah, yang sampai saat ini pun masih terpuruk tidak menentu.
Kendati demikian, harus diakui bahwa tolok ukur yang lain cukup obyektif, antara lain yang menyangkut kualitas dan jenjang akademik staf pengajar, nisbah dosen dibandingkan dengan mahasiswa, serta jumlah penelitian dan artikel yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah berskala internasional. Khusus dalam hal yang disebut terakhir ini, tampak sekali kelemahan perguruan tinggi kita. Menilik bahwa kaidah yang seyogianya dipegang oleh setiap perguruan tinggi adalah ''publish or perish", kita semua layak menyoal kinerja perguruan tinggi negeri ini.
Prof. Dr. Yayah Koswara, selaku salah seorang tokoh puncak di jajaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pernah—dalam suatu pertemuan—menyatakan bahwa kebanyakan dosen dan peneliti Indonesia merupakan jago kandang yang melakukan ''masturbasi ilmiah". Maksudnya, mereka melakukan penelitian sendiri, menulis dalam jurnal fakultasnya sendiri, serta membaca dan menikmatinya sendiri. Kalau benar begitu, jangankan bersaing dengan universitas ternama di negara maju, bertarung di kandang ASEAN pun kita tetap akan menjadi pecundang.
Dalam konteks inilah, Peraturan Pemerintah Nomor 61/1999 tentang perguruan tinggi sebagai badan hukum, dan penetapan empat universitas/institut ternama sebagai pilot project untuk peningkatan kemandirian PTN, layak disambut hangat. Dengan kemandirian sebagai badan hukum, pimpinan PTN akan lebih leluasa mengatur rumah tangganya secara lebih optimal, efisien, dan efektif. Kinerja segenap sivitas akademika akan terpacu dengan kadar loncatan ala deret ukur, tidak lagi ala deret hitung seperti selama ini. Para dosen, ilmuwan, dan peneliti yang cenderung santai diharapkan giat berkiprah meningkatkan kinerja masing-masing.
Melalui kemandirian PTN, ruang gerak untuk melakukan terobosan dan inovasi pun terbuka luas, tidak hanya dengan instansi lain di dalam negeri, tapi juga dengan berbagai lembaga di luar negeri. Dalam pidato pembukaan seminar ''Association of Southeast Asian Institute of Higher Learning" (ASAIHL) pada 22 Juli 1999, Prof. Juwono Sudarsono menyatakan bahwa di era kesejagatan ini tidak hanya dibutuhkan cendekiawan yang memiliki kualitas keilmuan dan profesionalisme yang tinggi, tapi juga yang punya kompetensi dalam bahasa asing (terutama bahasa Inggris), kemampuan menguasai teknologi informasi, serta kemampuan memahami budaya, hukum, politik, dan ekonomi dari negara lain di luar Indonesia.
Seiring dengan itu, tentu perlu diwaspadai kemungkinan penyimpangan atau penyelewengan dalam penjabaran gagasan tentang kemandirian perguruan tinggi sebagai badan hukum. Yang paling menonjol adalah kecurigaan yang dilontarkan para mahasiswa Universitas Indonesia dan Institut Pertanian Bogor. Mereka khawatir, salah satu dampak kemandirian PTN adalah meningkatnya pungutan sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) sampai dua-tiga kali lipat atau bahkan lebih. Mereka juga memperkirakan, masyarakat berpenghasilan rendah tak akan mampu lagi menyekolahkan anaknya di PTN yang mandiri itu. Jika betul begitu, celoteh Michael Lipton tentang ''why poor people stay poor" akan mengejawantah di tanah air kita.
Tentu tak bisa dimungkiri bahwa salah satu cara untuk lepas dari belitan kemiskinan adalah melalui jalur pendidikan. Karena itu, mesti ada jaminan bahwa dimensi sosial dari PTN tetap dipertahankan. Anak-anak cerdas dan berbakat dari kalangan kaum papa harus diberi peluang untuk mengembangkan potensinya melalui pendidikan tinggi. Untuk itu, pola-pola bergaya ''Robin Hood" dengan mekanisme subsidi silang perlu lebih digalakkan. Gagasan Dr. Satryo Sumantri Brodjonegoro tentang SPP proporsional, dalam arti keluarga kaya membayar SPP lebih besar, sedangkan keluarga miskin bila perlu dibebaskan dari pembayaran SPP, mesti sesegera mungkin diaktualkan. Jangan sampai mahasiswa menjadi korban.
Paradigma pendidikan selama ini, yang berorientasi pada sang pengajar (lecturer oriented), seyogianya diubah dengan memberikan penekanan lebih pada kepentingan pembelajaran sang mahasiswa (learner oriented). Dan mahasiswa boleh menuntut bila pelayanan terhadap mereka dinilai kurang memuaskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini