Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Karena Guru Kencing Berdiri

3 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Qaris Tajudin*

Apa yang kita ingat dari pelajaran bahasa Indonesia selain ”ini Budi”—kata-kata pertama yang kita baca di kelas satu sekolah dasar? Mungkin tak banyak. Saya termasuk beruntung karena saya diajar guru bahasa Indonesia di sekolah menengah pertama yang memiliki jejak panjang. Guru ini berhasil membuat saya tak hanya mengingat ”ini Budi” dari 12 tahun belajar bahasa Indonesia di sekolah. Setiap pelajarannya saya ingat hingga hari ini.

Dia berasal dari Sumatera Barat. Aksennya agak aneh di telinga kami, para muridnya di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Ia tak pernah terlambat masuk kelas. Rambutnya selalu tersisir rapi dengan pomedo tebal. Karenanya ia selalu terlihat segar. Dia memasuki kelas dengan langkah-langkah lebar, hingga pipa celananya yang katung di atas mata kaki semakin mekar. Membuat sepatu kulit hitamnya yang mengkilat semakin terlihat. Ban pinggangnya selalu di atas pusar. Mengingatkan kami pada Jojon sang pelawak. Ia juga kocak.

Tapi bukan itu yang membuat kami selalu mengingatnya. Ia seperti Robin Williams dalam film Dead Poet Society. Eksentrik. Dia selalu berteriak dan memaki muridnya dengan kata ”gila!” jika kami salah menjawab pertanyaan.

Kata dia, ”Bahasa Indonesia adalah bahasa kita sendiri. Kalian seharusnya tak pernah salah memakainya.” Tapi yang disemprot tak sakit hati meski ketika memaki, seluruh kelas disuruh mengikutinya: ”Gila... gi-gila!” Saya pernah diteriaki ”gila” oleh sang guru, dan hanya bisa tersenyum.

Ketika mengajar tentang kiasan, dia menggambar wajah perempuan yang bak rembulan, rambutnya mayang terurai, bibir delima merekah, dan seterusnya. ”Ternyata jelek, ya,” kata dia setelah gambarnya kelar dan memang menyeramkan. ”Itu karena kita memahami kata-kata kiasan itu secara tekstual,” katanya, untuk memulai penjelasan panjang-lebar tentang bagaimana cara memahami sebuah kiasan.

Dia juga mengajari kami membedakan di untuk menunjuk tempat dan di yang disambung dengan kata kerja untuk membentuk kalimat pasif. Caranya amat sederhana. Dia memiliki kalimat ajaib yang membuat kami tak akan pernah melupakan kaidah penulisan di dengan kalimat yang kelak sering diguna-kan sebagai contoh: salat itu boleh di langgar, tapi tidak boleh dilanggar. ”Kalau ada orang yang mengatakan itu,” katanya, ”suruh dia menulisnya. Dengan menuliskannya, kita baru tahu apa maksud dilanggar dan di langgar.”

Intinya, dia selalu punya cara untuk membuat pelajaran bahasa Indonesia jadi menyenangkan. Kami tahu, tak banyak murid SMP seberuntung kami. Sudah bukan rahasia lagi, pelajaran bahasa Indonesia adalah pelajaran yang membosankan bagi kebanyakan murid sekolah menengah. Bahasa—terutama bahasa Indonesia—bukanlah pelajaran yang populer. Tak mengherankan jika minat pada bahasa mudah pupus.

Bahasa Indonesia menjadi pelajaran teori yang membosankan karena diulang-ulang. Anak-anak sekolahan mungkin hafal siapa saja Pujangga Lama dan Baru. Mereka hafal nama judul buku Sutan Takdir Alisjahbana, Abdul Moeis, Marah Roesli, dan lainnya. Tapi apakah mereka pernah membaca buku-buku itu sampai tuntas?

Ketika kuliah dulu, saya punya beberapa teman dari Malaysia. Kami biasa berkumpul bersama. Tentu saja kami tak mengalami masalah dalam komunikasi, meski logat Melayu mereka kurang kami mengerti. Suatu saat, seorang mahasiswa Malaysia mencoba melucu dengan pelesetan judul salah satu puisi W.S. Rendra, Blues untuk Bonnie. Saya tak ingat persisnya pelesetan itu, yang jelas teman-teman saya dari Malaysia tertawa karena lelucon itu. Sedangkan teman-teman Indonesia saya hanya meringis atau mencoba tersenyum. Jelas, terlihat sekali mereka tidak memahami apa yang lucu dari pelesetan itu. Setelah diterangkan bahwa yang dipelesetkan adalah salah satu judul puisi terkenal, mereka baru tertawa. Dan saat tertawa yang terlambat itu pecah, saya justru diam dan berpikir. Betapa parahnya pendidikan bahasa dan sastra kita.

Tapi bukan hanya itu. Ada semacam ketidakpercayaan para pendidik kita pada bahasa Indonesia. Lembaga pendidikan yang seharusnya mempopulerkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai ganti sejumlah istilah asing justru melakukan hal yang sebaliknya. Satu per satu kata bahasa Indonesia di lembaga pendidikan digantikan dengan bahasa asing.

Di masa lalu, para murid masih mengenal istilah ilmu bumi, ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu hayat. Lalu pada era 1980-an istilah itu sudah tidak ada lagi, diganti geografi, matematika, geometri, biologi. Tapi saat itu masih ada ilmu pengetahuan alam. Kini, di sebagian sekolah, ilmu pengetahuan alam pun sudah diganti dengan sains, serapan dari science.

*)Wartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus