Cukup menarik wawancara wartawan TEMPO Karni Ilyas dengan Ibrahim, anak Haji Thahir dari istri pertama. Di situ, pihak keluarga Haji Thahir mengharapkan agar nama Haji Thahir tidak terus teraniaya karena, sekarang ini, berbagai media massa Ibu Kota, daerah, dan luar negeri memberitakan uang simpanan Haji Thahir atau Kartika di Singapura. Saya pertama kali berkenalan dengan Haji Thahir pada awal 1950-an. Ketika itu, saya menjadi saksi dalam perkawinannya dengan seorang wanita Indo, Sonya -- teman saya -- di Kwitang, Jakarta. Pertemuan kedua kalinya dengan Haji Thahir berlangsung di Hotel Orchid Singapura pada 1972. Ketika itu, saya menanyakan apakah ia masih ingat kepada saya, yang pernah menjadi saksi perkawinannya dengan Sonya pada awal 1950-an. Ia mengangguk saja karena sifatnya memang tidak banyak bicara. Bahkan, selalu tidak acuh kepada orang lain. Pada umumnya, karyawan Pertamina segan dan jengkel atas sikap Haji Thahir itu. Kalau sekarang nama Haji Thahir muncul lagi ke permukaan, menurut saya, hal itu merupakan hukuman Tuhan atas perbuatannya, ketika ia menjadi pejabat teras Pertamina yang banyak merugikan perusahaan negara tersebut. Saya sependapat dengan TEMPO, anak-anak Haji Thahir dari istri pertama sebaiknya menolak bagian uang simpanan Haji Thahir itu dan menyerahkannya kepada negara. Yang penting dari peristiwa ini adalah ia akan menjadi contoh bagi pejabat negara lainnya: ketika mereka mempunyai wewenang agar jangan meniru perbuatan Haji Thahir. Bila mereka ketahuan, selain menjadi cemoohan masyarakat dan media massa, anak cucu mereka juga ikut menderita. HAJI G. MALIKMASS Kepaduri RW 04 Jalan l/40 Jakarta 11510
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini