Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA untuk kelima kalinya Vladimir Putin terpilih sebagai Presiden Rusia, siapa masih peduli kepada angin perubahan—wind of change? Kelompok musik rock, Scorpions, pun enggan menyanyikan syair itu lagi. Sejak invasi Rusia ke Ukraina, band cadas itu menghapus kalimat pembuka yang masyhur: I follow the Moskva, down to Gorky Park… listening to the wind of change. Mereka menggantinya menjadi: Now listen to my heart, it says Ukrainia....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Wind of Change” kini tak lagi menggetarkan seperti saat lagu itu dilantunkan pada 1990 kala orang berharap Rusia menjadi demokratis dan kebebasan lahir. Ada yang hilang? Ataukah angin berbalik? Seorang karib—katakanlah namanya Pavel—dulu melarikan diri dari rezim komunis. Ia benci kepada Soviet. Setelah petualangan panjang, ia menjadi warga negara Australia. Kini lelaki 70-an tahun itu berharap kepada Rusia. Ia justru melihat Eropa dengan muram. Benua itu baginya telah kehilangan jiwanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia membaca Alexander Dugin. Filsuf Rusia ini kehilangan putrinya dua tahun lalu. Darya Dugina, jurnalis 20-an tahun, terbunuh dalam mobilnya sendiri yang meledak. Ini terjadi tak lama setelah Rusia menginvasi Ukraina. Negeri adidaya itu menuduh Ukraina di balik teror. Tapi orang berspekulasi bahwa target sesungguhnya bukanlah Darya, melainkan Alexander Dugin, sang ayah.
Media sering menyebut Dugin sebagai “otak” Putin. Tentu itu tidak benar—secara harfiah. Dalam beberapa kasus, pandangan Dugin malah lebih agresif daripada Putin, sang “tsar” masa kini.
Tahun 2009 Dugin menerbitkan buku Teori Politik Keempat (edisi Inggrisnya berjudul The Fourth Political Theory). Sebuah buku yang, bagi saya, lebih menyerupai pamflet daripada filsafat—dan, karena itu, lebih mudah menggugah orang banyak yang dirundung kecewa. Pavel mungkin salah satu di antaranya.
Argumen Dugin sederhana, jika bukan simplistis. Dalam sejarah (sejarah siapa? sejarah Eropa?) ada tiga teori politik: liberalisme, fasisme, dan komunisme. Dari ketiganya, fasisme mati di usia muda. Komunisme wafat di umur lanjut. Keduanya terbukti tak sintas, dan ia tak menganjurkan kita untuk menghidupkan mereka lagi.
Kini liberalisme berjaya tanpa pesaing. Tapi, justru dengan kemenangannya, teori politik utama ini membunuh yang politis. Suatu paradoks. Manusia diserap dalam ekonomi, tak lagi menjadi makhluk politik. Itulah kondisi “postliberal”.
Dugin tampaknya punya kebencian khusus terhadap individualisme. Setiap teori politik, katanya, punya satuan. Bagi komunisme, satuan itu adalah kelas. Bagi fasisme: ras atau negara. Pada liberalisme: individu. Persisnya, individu yang terbebaskan dari segala ikatan—termasuk kekang akal budi, moralitas, identitas kelompok. Pemujaan pada hal itu adalah kondisi postmodern. Kondisi pascamodern dan pascaliberal ini harus dilawan oleh teori politik keempat.
Saya mengerti semangatnya. Belakangan ini, kita marah kepada perkembangan liberalisme dan kapitalisme. Kita juga kecewa kepada demokrasi serta kesombongan sekularisme. Tapi betulkah analisis Dugin?
Ada seorang pemikir Rusia lain, dari masa Revolusi Bolshevik, yang agak terlupakan, mungkin sebab ia seorang yang beriman. Nikolai Berdyaev namanya. Ia berusia 20-an saat Tsar Nikolai II dinobatkan, 30-an saat Revolusi 1917. Putra keluarga aristokrat, ia justru menjadi Marxis, masuk-keluar penjara beberapa kali. Tapi, setelah partai komunis berkuasa, ia menjadi sangat kritis dan terpaksa meninggalkan tanah airnya. Ia wafat di Paris.
Berdyaev dikenal sebagai “filsuf kebebasan”. Kebebasan, baginya, mendahului keberadaan. Di sini barangkali menarik membandingkan Dugin dengan Berdyaev. Dugin mengecam liberalisme yang satuannya adalah individu yang bebas dari segala batasan (dan itu yang menyebabkan politik mati). Sedangkan Berdyaev melihat manusia bebas, tapi “unit”-nya—jika boleh pakai kata ini—bukanlah individu, melainkan persona.
Person, atau persona, bukan individu. Individu adalah konsep materialistis dan sekuler, terjebak melihat manusia sebagai makhluk sosial, dan justru karena itu bertegangan dengan ikatan-ikatan sosial. Individu bebas jika terbebas dari ikatan itu. Sebaliknya, person, bagi Berdyaev, adalah konsep yang hanya dimungkinkan jika kita percaya kepada yang transenden.
Di dunia fana ini, persona akan selalu berada dalam batasan-batasan, sekaligus bisa selalu berupaya melampaui batasan-batasan itu, dengan tindakan kreatif. Kebebasan yang sejati memang tidak akan tercapai di dunia ini. Tapi iman akan primat kebebasan itulah yang memungkinkan manusia tak henti mengupayakan kebebasan. Dalam upaya pelampauan ini, ikatan sosial bukan hal antagonis.
Dugin tampak membenci kebebasan ala liberalisme. Tapi kita juga bisa melihat kebebasan dari perspektif Berdyaev. Tentu jika kita ingin melihat kekayaan dari negeri yang dulu begitu mengilhami dunia, dan sampai sekarang masih memegang tombol nuklir. Negeri yang bagi karib saya, lelaki 70 tahun yang memandang Eropa dengan muram, justru memberi harapan: Rusia. Saya memilih Berdyaev. Meskipun ia sudah wafat, sementara Dugin dan Putin masih hidup.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo