Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila mengikuti serial film Marvel sejak seri pertama pada 2008 hingga ketiga pada 2019, Anda akan menemukan pola serupa: 33 film itu menyajikan kekuatan antagonis yang selalu disamakan dengan kesaktian para superhero. Dalam seri terbaru Marvel, Spider-Man: Far from Home, lawan untuk Peter Parker yang masih remaja adalah Mysterio yang konyol dengan kemampuan mencampuradukkan kenyataan dan khayalan
Berbeda kekuatan superhero, berbeda pula tingkat kekuatan lawan yang dipadankan dengannya. Ilustrasi ini cocok untuk Indonesia memasuki periode 2019-2024 di tengah kondisi ekonomi dunia yang makin penuh tantangan dan ketidakpastian. Ibarat film Marvel, ekonomi dunia kini tengah dalam situasi infinity war atau endgame sehingga dibutuhkan para avenger untuk menghasilkan kebijakan berkualitas global.
Menurut sejarah lahirnya, salah satu cara menghasilkan kebijakan berkualitas global adalah regulatory impact assessment (RIA). Metode ini lahir pada pertengahan 1980-an ketika pemerintah di negara-negara maju berbenah melakukan deregulasi dan debirokratisasi untuk menyesuaikan diri dengan dinamika ekonomi internasional. Amerika Serikat dengan Presiden Ronald Reagan dan Inggris dengan Perdana Menteri Margaret Thatcher mengadopsi RIA untuk meningkatkan kualitas regulasi ke standar global.
RIA menuntut para pengambil kebijakan lebih dulu mengidentifikasi latar belakang persoalan sebelum merancang beberapa alternatif kebijakan. Proses RIA memang memakan waktu. Namun, setelahnya, pemerintah akan lebih mudah menjalankan, mengawasi, dan mengevaluasi kebijakan karena prosesnya telah dilakukan dengan matang dan terukur. Setiap kemungkinan “biaya” kebijakan juga sudah diprediksi sejak awal pada tahap perencanaan.
Dalam RIA, kebijakan yang dipilih adalah kebijakan dengan selisih manfaat terhadap biaya paling besar. Tradisi melengkapi kebijakan dengan perhitungan manfaat dan biaya melahirkan budaya hati-hati serta kebiasaan berpikir konstruktif dan komprehensif terhadap kebijakan. Diskursus pro-kontra terhadap kebijakan akan lebih mendidik, mencerdaskan masyarakat, dan secara perlahan mengikis berita bohong atas kebijakan.
Kebijakan perdagangan internasional dan investasi asing jangka panjang adalah contoh kebijakan ekonomi yang memakai standar indikator global yang berlaku sama di semua negara dan dapat dibandingkan. Ketika sebuah negara mengeluarkan kebijakan perdagangan internasional dan investasi yang tidak harmonis dengan standar global, daya saing perdagangan dan daya tarik investasi negara tersebut akan menurun sehingga pada akhirnya melemahkan nilai tukar mata uangnya. Banyak yang tidak sadar bahwa arus investasi asing jangka panjang yang masuk ke sebuah negara dipengaruhi kebijakan perdagangan negara tersebut.
Ihwal investasi dipengaruhi kebijakan perdagangan juga ditemukan di Indonesia. Hal ini terlihat dari keterkaitan antara peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business/EODB) dan arus investasi asing jangka panjang yang masuk ke Indonesia. Pada 2014-2016, peringkat EODB Indonesia naik cukup tajam dari 120 ke 91, tapi arus masuk investasi asing menurun. Adapun ketika peringkat EODB naik dari 91 ke 72, arus investasi meningkat signifikan. Artinya tidak dapat disimpulkan bahwa kenaikan peringkat EODB mendorong masuknya investasi asing ke Indonesia.
Survei Japan External Trade Organization pada 2018 menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi investasi (Jepang) di Asia, termasuk di Indonesia, selain kebijakan investasi, adalah kebijakan perdagangan, seperti aturan impor, standar nasional produk, dan tingkat kandungan dalam negeri. Mengingat kebijakan perdagangan mempengaruhi keputusan investor asing menanamkan modal jangka panjang, pemerintah Indonesia harus memiliki informasi menyeluruh tentang hubungan perdagangan dan investasi. Informasi membutuhkan survei lapangan yang menggabungkan, misalnya, indikator EODB dan hambatan perdagangan (non-tariff measurements). Penggabungan ini akan memberikan gambaran utuh tentang apa yang sebenarnya terjadi pada perdagangan internasional dan investasi asing di Indonesia.
Survei lapangan adalah langkah awal yang penting dilakukan sebelum pemerintah merumuskan pilihan-pilihan kebijakan dan menghitung manfaat biaya setiap kebijakan tersebut. Contohnya, dalam survei Monitoring of Investment Climate in Indonesia (MICI Phase VI) 2014, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Manajemen Universitas Indonesia menemukan kendala utama pembangunan sektor manufaktur di Indonesia adalah ketidakstabilan nilai tukar. Ketidakstabilan ini menciptakan ketidakpastian sehingga pengusaha sulit membuat perencanaan bisnis, terutama ketika berkait dengan ekspor-impor. Ketidakstabilan rupiah juga membuat lindung nilainya terhadap dolar Amerika Serikat (hedging) menjadi mahal.
Sejarah menunjukkan negara industri maju saat ini, seperti Jepang dan Korea Selatan, memacu pertumbuhan manufakturnya sebelum 1970-an, ketika nilai tukar mata uang dunia terhadap dolar Amerika bersifat tetap (fixed exchange rate). Namun sejarah juga mencatat, ketika mata uang dunia sudah mengambang (crawling peg), tetap saja ada negara yang berhasil memacu sektor manufakturnya, seperti Cina dan Vietnam. Mengapa?
Jawabannya sama: negara-negara tersebut mengadopsi nilai tukar tetap di bawah pantauan pemerintah. Bisakah negara yang memiliki nilai tukar mengambang (managed float) seperti Indonesia memacu sektor manufakturnya melalui kebijakan perdagangan dan investasi? Jawabannya “bisa” sepanjang kebijakan tersebut berkualitas global.
Sebelum menghasilkan kebijakan investasi, ekspor-impor, dan nilai tukar yang berkualitas global melalui RIA, pengambil kebijakan harus lebih dulu menggali teori. Semua buku teks ekonomi internasional disusun dengan membahas perdagangan dulu, baru investasi fisik dan keuangan. Fakta empiris Uni Eropa juga mengkonfirmasi bahwa integrasi ekonomi dimulai dari perdagangan, investasi fisik, hingga terakhir integrasi perbankan dan mata uang tunggal. Filosofi ini mengajarkan kita bahwa perdagangan dan investasi adalah kunci stabilitas jangka panjang nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sekaligus pendorong daya saing sektor manufaktur Indonesia.
Saat ini hubungan ekonomi antarnegara lebih didominasi relasi bilateral, yang lebih dinamis, berisiko, dan rumit ketimbang kerja sama kawasan atau multilateral. Indonesia harus mampu beradaptasi dengan cepat untuk mengenal dan merumuskan skenario kebijakan ekonomi bilateral. Ada empat tahap yang harus dijalankan. Pertama, mengubah orientasi usaha dari dalam ke luar negeri. Sebanyak-banyaknya penduduk Indonesia dan seberat-beratnya persaingan di dalam negeri, lebih banyak penduduk di luar Indonesia dan lebih berat persaingan di luar negeri. Kedua, menciptakan institusi yang kuat khusus untuk memantau arus perdagangan internasional dan investasi jangka panjang yang masuk dan keluar dari Indonesia. Ketiga, memantau perkembangan perdagangan dan investasi global secara real-time dari waktu ke waktu. Keempat, melakukan mitigasi bila ditemukan masalah pada ekspor-impor dan investasi.
Karena itu, selain memperkuat infrastruktur, sistem logistik, dan kualitas sumber daya manusia, Indonesia pada 2019-2024 membutuhkan kebijakan yang berorientasi global dengan institusi khusus yang profesional menjalankan orientasi tersebut. Sektor manufaktur Indonesia pada akhirnya akan unggul dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika stabil. Dan semua ini, sekali lagi, membutuhkan kebijakan perdagangan dan investasi berkualitas global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo