Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Di mana pemerintahan Prabowo Subianto meletakkan masa depan bumi dalam kebijakan energinya?
Deforestasi atau penggundulan hutan untuk sawit serupa dengan mengundang bencana.
Perdagangan karbon mensyaratkan hutan-hutan kita tetap lestari demi menyerap karbon secara optimal.
DUA puluh tahun sebelum tercetus Perjanjian Paris, Yayasan Obor Indonesia (YOI) menerbitkan buku terjemahan State of The World yang ditulis Lester R. Brown dan kawan-kawan. YOI memberinya judul Masa Depan Bumi. Di halaman 47 buku itu, terlacak satu percikan yang seharusnya menjadi sandaran atau mazhab atau bahkan "agama baru" bagi pemerintahan di mana pun di bawah kolong langit ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kebutuhan yang terasa di mana-mana ialah kebutuhan akan suatu pandangan baru mengenai dunia, pandangan yang mencerminkan kenyataan-kenyataan lingkungan hidup dan yang merumuskan kembali keamanan dengan memperhitungkan bahwa ancaman meluas terhadap masa depan kita bukan berbentuk agresi militer, melainkan degradasi lingkungan hidup di planet ini."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
State of The World bukan buku atau laporan sembarangan. Pada 1989, buku ini digunakan di lebih seribu perkuliahan di 584 universitas dan perguruan tinggi Amerika Serikat. Survei internasional terhadap 235 tokoh lingkungan hidup menempatkan State of The World sebagai buku nomor tiga dalam daftar abadi 500 buku klasik.
Dengan latar itu, saya bertanya di mana pemerintahan Prabowo Subianto meletakkan masa depan bumi dalam kebijakan energinya? Bukankah rencana pemerintah membuka 20 juta hektare hutan cadangan sebagai sumber ketahanan pangan, energi, dan air malah mendegradasi lingkungan seperti diingatkan State of the World keluaran 1995 itu?
Belum seratus hari, tapi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka telah memercik kontroversi yang membuat publik ragu akan komitmen duet militer-sipil ini terhadap lingkungan hidup.
Pertama, Presiden dengan sangat enteng menyebutkan Indonesia harus menambah luas lahan kelapa sawit. "Enggak usah takut membahayakan, deforestasi," ia menegaskan. Padahal deforestasi atau penggundulan hutan serupa dengan mengundang bencana: menghilangnya habitat hewan dan tumbuhan, meningkatnya gas rumah kaca, erosi tanah dan banjir, hingga mempengaruhi siklus air di atmosfer.
Monokultur kelapa sawit, juga tanaman pangan lain seperti padi gogo dan aren, tidak mungkin menandingi keanekaragaman hayati alami serta manfaat multiguna hutan yang tidak dirambah manusia.
Di sini tampaknya ada dua kepentingan sekaligus yang sedang ingin dipenuhi pemerintah, yakni ekspor kelapa sawit beserta produk turunannya, seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), yang memang menghasilkan devisa besar serta menyuplai kebutuhan biodiesel dalam negeri.
Mulai 1 Januari 2025, Indonesia meningkatkan program biodiesel dengan menambah konsentrasi campuran minyak sawit sebesar 5 persen. Jadi kini biodiesel menjadi B40, yang kandungannya 40 persen campuran minyak sawit dan 60 persen solar. Kuota biodiesel pun dikerek, dari 12,9 juta kilo liter pada 2024 menjadi 15,6 juta kilo liter pada 2025.
Saking progresifnya, pemerintah menargetkan 50 persen campuran sawit dalam biodiesel pada 2026 dan tanpa impor solar. Tak bisa tidak, kebijakan ini akan sangat rakus CPO dan otomatis menghendaki penambahan luas lahan atau kebun kelapa sawit yang pada 2023 mencapai 16,8 juta hektare. Naik 2,14 juta hektare dibanding data pada 2021.
Kedua, kelapa sawit adalah simalakama. Di satu sisi, komoditas ini merupakan berkah. Negeri tropis ini cocok untuk tanaman yang berasal dari Afrika Barat itu. Indonesia bahkan tercatat sebagai produsen terbesar kelapa sawit. Per September 2024, nilai ekspor minyak sawit Indonesia menembus US$ 14,43 miliar.
Buat Indonesia, berkah sawit tersebut juga mengilhami pemerintah menggeber biodiesel. Itulah yang dilakukan Presiden Prabowo dan pendahulunya, Joko Widodo. Proyek ini menciptakan situasi simalakama. Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menyebutkan, implementasi B50 berpotensi menyebabkan pembukaan lahan sawit baru seluas 9,29 juta hektare secara akumulasi hingga 2025.
Ketiga, sekilas program biodiesel Prabowo merupakan kelanjutan dari apa yang dilakukan Jokowi pada 2014-2024. Tapi ada yang tidak berlanjut atau terpotong di sini, yakni entengnya Prabowo membuka hutan untuk perluasan lahan kelapa sawit. Luasnya eksesif pula, mencapai 20 juta hektare—termasuk untuk kebutuhan pangan dan air.
Jokowi pernah memoratorium kelapa sawit. Lewat Instruksi Presiden Nomor 18 Tahun 2018, pemerintahan Jokowi menunda dan mengevaluasi perizinan kelapa sawit. Moratorium itu berlangsung tiga tahun hingga 19 September 2021. Namun pada masa itu tetap saja terjadi ekspansi luas kebun kelapa sawit sebesar 337.300 hektare (Badan Pusat Statistik).
Dibatasi dengan moratorium saja, ekspansi lahan kelapa sawit masih tak terbendung. Apalagi jika kerannya dibuka sedemikian lebar dan difasilitasi dengan 20 juta hektare hutan cadangan.
Keempat, kebijakan mempersilakan ekspansi lahan kelapa sawit secara eksesif ini agak kontras dengan apa yang ditempuh pemerintahan Prabowo dalam Konferensi Tingkat Tinggi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP29) di Baku, Azerbaijan, pada November 2024. Dalam acara tahunan itu, delegasi Indonesia yang diketuai adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, aktif menawarkan serapan karbon hutan-hutan di Tanah Air yang diklaim punya potensi hingga 600 juta ton atau 200 juta ton setahun. Perdagangan karbon ini diklaim dapat mencetak pendapatan hingga Rp 190 triliun (Tempo.co, 30 Oktober 2024).
Dua negara, Norwegia dan Uni Emirat Arab, dilaporkan berminat membeli kredit karbon dari Indonesia. Kredit karbon memang tertera dalam butir Perjanjian Paris 2015, tapi ada yang tetap skeptis terhadap opsi ini. Kredit atau perdagangan karbon dianggap tidak mengurangi emisi karbon karena negara atau korporasi yang membelinya tetap membuang emisi dari energi kotor berbasis fosil.
Untuk mengkompensasi kesalahan atau "dosa" tersebut, negara maju atau pelaku industri cukup membeli serapan karbon milik negara, masyarakat, atau komunitas adat yang setara dengan emisi karbon yang ditumpahkan ke atmosfer. Kredit karbon ini bias negara atau korporasi kaya, tidak ramah, dan tak cocok untuk menunjang masa depan bumi yang "diteror" emisi gas rumah kaca sejak zaman revolusi industri.
Perdagangan karbon mensyaratkan hutan-hutan kita tetap lestari demi menyerap karbon secara optimal. Kok, sekarang hutan cadangan malah dipersilakan untuk dibuka secara eksesif? Bukankah hal ini kontradiktif dengan langkah pemerintah Indonesia dalam COP29 di Azerbaijan?
Kelima, rencana pembukaan 20 juta hektare hutan cadangan membuat kita risau terhadap swasembada dan ketahanan energi yang dicanangkan Presiden Prabowo saat berpidato di gedung Dewan Perwakilan Rakyat pada 20 Oktober 2024. Apakah ketahanan energi itu sekadar menghitung kepentingan nasional yang berbasis kemampuan dalam negeri atau juga memperhatikan krisis planet yang kian menjadi-jadi?
Bukankah suhu bumi sudah menunjukkan "lampu merah"? Pada November 2024, suhu di planet biru ini naik 1,62 derajat Celsius di atas tingkat pra-revolusi. Jika kita tidak risau terhadap kenaikan suhu bumi yang telah meloncat dari angka toleransi Perjanjian Paris, yakni 1,5 derajat Celsius hingga akhir abad ke-21, silakan lakukan deforestasi hutan tanpa terkendali.
Homo sapiens yang bijak sepatutnya tidak memikirkan diri sendiri, apalagi disempitkan dengan kepentingan ekonomi an sich. Kita harus merawat bumi bersama-sama agar tetap dapat dihuni. Upaya itu membutuhkan Prabowo Subianto, Donald Trump, Vladimir Putin, Xi Jinping, dan semua pemimpin negara di pojok-pojok bumi.
Seperti diingatkan State of The World: ancaman terbesar saat ini dan di masa depan bukanlah agresi militer, tapi degradasi lingkungan. Pengingat itu bukanlah fiksi, tapi nyata berada di sekitar kita. ●
Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.
Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo