Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kebrutalan pelajar: tumbuh dari sekolah

6 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rubrik Kriminalitas dan Pendidikan TEMPO, 8 Juni 1991, menyajikan dua aktivitas kejahatan dan kebrutalan yang dilakukan oleh oknum-oknum pelajar kita. Di Muara Bulian, Jambi, sejumlah pelajar berkomplot melakukan 29 kali pembobolan brankas pada kantor-kantor. Begiu pula di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, atau mungkin juga di kota-kota besar lainnya, sejumlah pelajar merayakan kelulusan mereka dari SMA dengan perkelahian, perusakan, coret-coret, dan kemacetan lalu lintas. Sering kita mendengar dari ahli-ahli pendidikan bahwa kenakalan remaja disebabkan oleh faktor pengaruh orang tua, lingkungan, dan pendidikan formal. Ketiga faktor inilah yang membuat baik atau buruknya perilaku remaja kita. Karena aktivitas kejahatan dan kebrutalan itu berkaitan dengan "syukuran" atas berakhirnya status mereka sebagai pelajar, maka mau tak mau peran pergaulan di lembaga pendidikan formal atau sekolah boleh dikatakan dominan dalam kejahatan ini. Sebab, tanpa status pelajar atau eks pelajar para remaja di Muara Bulian, mungkin mereka akan menjadi penyadap-penyadap karet yang tekun di kebun masing-masing, dan tak sempat membentuk kelompok garong remaja eks pelajar. Atau, kalau setiap orangtua di kota-kota besar mendidik anaknya di rumah masing-masing, maka remaja tersebut tak sempat berkomplot sesama pelajar merayakan keberhasilannya dengan mengganggu ketertiban umum. Pendidikan kita menganut falsafah Tut Wuri Handayani, yang dilengkapi dengan mata pelajaran PMP, Agama, konsep 5 K, PKS, OSIS, dan sebagainya. Maka, seharusnya kebrutalan itu tak perlu lagi mewarnai peristiwa kriminalitas yang membawa nama sekolah. Memang sudah waktunya setiap guru PMP, agama, pembina OSIS di sekolah-sekolah yang pelajarnya terlibat kenakalan remaja, lebih meningkatkan metode mengajarnya agar lebih baik. Hormat kepada kepentingan orang lain harus dimulai dari hormat kepada orangtua dan guru. Hal inilah yang terasa mulai luntur pada institusi pendidikan formal kita saat ini. Sudah merupakan pemandangan sehari-hari di beberapa sekolah, bahwa para guru mengajak muridnya bercanda, minta rokok, berbagai tata cara pergaulan seolah-olah guru dianggap kawan sama besar, dan berbagai tata cara pergaulan bebas cara Barat. Padahal, perilaku tradisional di nusantara ini, seorang guru atau kiai adalah orang yang harus dihormati lahir batin. Alangkah baiknya bila di sekolah penghormatan kepada guru dikembalikan lagi menurut tata cara kepribadian kita. Karena hal ini tidak mengurangi kreativitas para pelajar. DRG. A. ST. MARAJO Jalan Enim 4 Pakjo Palembang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus