SEDANGKAN korupsi yang buruk itu boleh disebut "kebudayaan",
mengapa intel tidak. Oleh sebab itu, jangan terlampau diributkan
benar suburnya "pendekatan intel" di zaman sekarang. Anggaplah
barang biasa, seperti halnya "pendekatan intelektuil" dan
sebangsanya. Dan maka dari itu, seorang intel tidaklah kurang
derajat ketimbang seorang ekonom, atau konsultan, atau
antropolog, bahkan atau pemimpin redaksi. Bedanya, yang satu
berterang-terang, yang lain bersamar-samar. Sebab, kalau intel
berterang-terang juga, namanya spion Melayu
Lagi pula, usianya lebih tua. Nabi Nuh menginstruksikan seekor
intel burung merpati, mengintip dari udara, kalau-kalau ada
tampak daratan. Nabi Sulaiman menunjuk burung "hudhud" mencari
tahu, di mana gerangan lembah subur yang cukup air. Jenis intel
khewani ini akibat makin luasnya bidang urusan, lambat laun
digeser tempatnya oleh jenis intel manusiawi Sampai sekarang
tetap begitu, tidak berubah-rubah lagi. Begitulah, Julius Cacsar
memilih Commius, bangsa manusia, selidik tanah Inggeris
menjelang pasukannya datang ke sana.
Seperti halnya amatirisme berkembang jadi profesi, begitu pula
di dunia perintelan. Minat pertama muncul pada perempuan jelita
Louise de Keroulle, yang siap dikirim menteri Perancis Cardinal
Richelieu ke Inggeris, pura-pura jadi pelayan istana, dan
seperti sudah bisa diduga sebelumnya, raja Charles II main gila
dan jadilah dia itu simpanannya. Tak heran apabila kokoh benar
kedudukan Richelieu di samping raja Louis XIII Maklum punya
intel jadi simpanan memang penting juga, tapi punya intel-intel
yang terorganisir lebih penting lagi, pikir Duke of Marlborough
Dan kalau tak ada wanita, bancipun jadilah. Maka orang Inggeris
yang panjang akal ini menunjuk Chevalier d'Eon Beaumont, status
di kartu-penduduk pria, tapi mampu segera berganti rupa jadi
wanita, manis terbungkus rok panjang pinggir berenda, mencumbu
rayu pembesar-pembesar Rusia, bahkan juga pembesar Inggeris
sendiri, siapa tahu ada juga bangsal dalam selimut.
Pensiunan Intel
Tentu, bidang intel bukanlah semata bidang tempat tidur. Ini
dibuktikan oleh Robert Baden-Powell. Selidik kekuatan Jerman
lewat tukar menukar bulu, sekali tempo jadi wartawan sekali
tempo jadi seniman. Dan tatkala Perang Boer, dia tipu lawan
dengan perintah-perintah lewat pengeras suara seakan-akan beribu
pasukan siap menyerbu, padahal beberapa gelintir saja. Walaupun
begitu, kepandaian intel-intelannya ini tak ada sangkut-paut
dengan kedudukannya selaku Bapak Pandu Sedunia. Ini urusan
sesudah pensiun, yang sebagaimana biasanya, suka berbau
pilantropis.
Ada juga terpikir jalan yang lebih ringkas, lebih murah lagi
aman, asal tidak ketahuan. Yaitu, menobatkan mata-mata jadi
dubes, proyek yang lebih lama jadi kegemaran orang Persi dan
Tiongkok dulu kala. Ditilik dari tugas rangkapnya, hanya mungkin
terpikul oleh oknum-oknum spesial, di depan lain di belakang
lain, tak ubahnya seperti rompi. Dan apabila tugas yang sedikit
nyeleweng ini terlaksana laik, hukan mustahil bisa naik pangkat
jadi Menlu, seperti halnya datuk intel Inggeris Francis
Walsingham, mulanya mata-mata, kemudian merangkap dubes di
Perancis, ujung-ujung nya jadi Menlu ratu Elizabeth I. Seraya
semua segi kebudayaan berkembang mekar, begitu pulalah dunia
kebudayaan intel. Negara yang tanpa intel akan jadi bahan
tertawaan, seperti jari tanpa kuku. Dan sejalan dengan sifat
keterbukaan, punya badan intel sama berterang-terangnya dengan
punya museum Direkturnya pun bisa dipotret, seperti kepala CIA
yang baru dilantik, George Bush Perkara identitas anak-buahnya
tidak berterang-terang, ini menyangkut soal praktis. Sebab,
kalau berterang-terang, apakah lagi bedanya intel dengan
penduduk biasa?
Tentu bisa timbul pikiran, apabila negara boleh berintel-intel,
mengapa swasta tidak. Maka dari itu, seorang nyonya yang
dirundung was-was sampai kepala berdenyut-denyut bisa pesan
intel buat kuntit suami ke mana pergi, dan sang suami boleh pula
berbuat serupa andaikata terasa olehnya ada sesuatu yang tidak
beres, siapa tahu, keajaiban bisa datang setiap waktu.Begitu
juga direktur bank, tuan toko, tauke pabrik yang tak sudi satu
sen pun uangnya hilang percuma, punya intel yang melirik kian
kemari, atau pasang kamera yang mampu menangkap gerak-gerik,
tiada lolos barang sekejap. Ini sudah kelewatan, ini membikin
kikuk orang, ini menganggap publik itu bangsat semua, ini
mengganggu kebebasan pribadi, ini betul-betul bikin sumpek, ulas
Myron Brenton dalam The Privacy Invalers-nya. Semua orang
bagaikan baksil yang tiarap di bawah mikroskop, diplototi setiap
saat, tak bisa tenteram barang sebentar, telanjang sampai ke
urat-uratnya, bagaikan jongkok di tanah lapang bisa tertinjau
dari segala sudut, ulas Vanse Packard dalam The Naked City-nya.
Memang sudah begitu, harap dimaklum saja, mengapa tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini