Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Darsuki Karib Saya

Mahasiswa memakai kata-kata lucu dalam demonstrasi. Rakyat Indonesia tinggal memiliki kedaulatan bahasa setelah semua kedaulatan diambil negara.

30 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Demonstrasi mahasiswa telah bergeser dengan poster-poster sarkastis yang lucu dan erotis.

  • Mereka merayakan kedaulatan berbahasa, satu-satunya kedaulatan yang masih dimiliki rakyat Indonesia.

  • Mahasiswa memakai kedaulatan berbahasa untuk merespons banalitas bahasa elite-elite Indonesia yang sama banalnya.

Ahmadul Faqih Mahfudz
Penulis tinggal di Bali


DARSUKI, karib saya, bertanya: “Aksi mahasiswa pada Mei 1998 berhasil menurunkan Soeharto. Aksi mahasiswa 11 April 2022 menghasilkan apa?” Ia lalu menjawab pertanyaannya sendiri, dengan suara meninggi, “Tak ada, kecuali kata-kata seksis menjijikkan!”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia lantas menunjukkan foto-foto demonstrasi mahasiswa dengan membawa berbagai poster yang baginya tak etis itu. Tapi, saya tahu, sebenarnya Darsuki memaklumi bahkan menyukai poster-poster itu karena dulu dia juga aktivis mahasiswa yang galak pada rezim zalim. Namun, sejak diminta menjadi anggota staf seniornya yang berkantor di Senayan, mantan aktivis kita ini bagai harimau dalam kandang emas yang dipereteli gigi dan kukunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada foto yang ditunjukkannya itu saya lihat para mahasiswi bermasker menyunggi dan membentangkan poster-poster bertulisan “Lebih Baik Bercinta 3 Ronde daripada Harus 3 Periode”, “Daripada BBM yang Naik Mending Ayang yang Naik”, “Jangan Mau 3 Ronde Kalau 2 Ronde Saja Sudah Ngos-ngosan”, “Cukup Hubunganku yang Lama, Periodemu Jangan”, “Harga Minyak Kayak Harga Mi-Chat”, dan “Cukup Aku yang Mahal, Minyak Jangan”. Ada pula poster yang, sepertinya, ditujukan untuk wakil rakyat kita yang terhormat itu, “Jangan Nonton Bokep Terus, Minyak Langka Naik, Urus!!!”.

Benarkah ungkapan-ungkapan tersebut seksis dan menjijikkan sebagaimana Darsuki bilang? Tunggu dulu. Saya kira ini tergantung cara kita memandang.

Ungkapan-ungkapan dalam poster itu tidak menyembul begitu saja dari dalam gua. Bahasa tidak salto tiba-tiba dari puncak gunung. Setiap teks lahir karena konteks. Kalimat-kalimat tersebut adalah ekspresi kejenuhan sekaligus buah kegeraman rakyat terhadap kebebalan penguasa.

Minyak goreng menghilang dari pasar lalu nongol lagi setelah harganya melesat dua kali lipat. Setelah itu, harga bensin pun ikut koprol. Belum lagi Undang-Undang Cipta Kerja serta Undang-Undang Mineral dan Batu Bara yang bikin bangsa ini tambah melarat, juga revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang membuat negara ini makin melorot.

Dalam urusan minyak goreng saja tidak becus malah muncul pernyataan elite untuk memperpanjang masa jabatan presiden dan menunda Pemilihan Umum 2024. Siapa tak dongkol? Maka kertas dan kain diambil, spidol dan cat disiapkan, kata demi kata ditumpahkan, ribuan mahasiswa di berbagai kota turun ke jalan, melawan dengan bahasa komikal.

Kebijakan, peraturan, atau undang-undang adalah bahasa yang diproduksi penguasa. Ketika semua itu tidak memihak kepada rakyat kecil, apa pun yang dibahasakan mahasiswa dalam poster-poster tersebut adalah sewujud perlawanan terhadap bahasa kekuasaan. Lahirlah bahasa-bahasa satire bernada seksualitas. Suatu respons rakyat yang cerdas untuk penguasa yang sarkas.

“Kenapa harus dengan bahasa vulgar?” Darsuki bertanya. Belum saya jawab, dia susul dengan pertanyaan berikutnya, “Tak adakah kata-kata lain yang lebih sopan?”

Darsuki, sopankah jika ketika rakyat kelimpungan antre minyak goreng, lalu mendapatkannya dengan harga mahal, tiba-tiba ada elite berfirman, “Kenapa sih ibu-ibu kok mau-maunya antre minyak goreng? Apakah rakyat Indonesia hanya menggoreng makanan? Apa tidak merebus, mengukus, dan memanggang? Padahal merebus, mengukus, juga memanggang adalah tradisi kuliner ala Indonesia, lho!”

Seorang petinggi yang mengurusi apa saja pun bersabda bahwa dia memiliki data besar berisi keinginan seratus juta lebih warganet di republik ini agar jabatan presiden diperpanjang jadi tiga periode. Apakah ini benar-benar data besar atau sungguh-sungguh kebohongan besar? Entahlah. Yang jelas pernyataan ini begitu vulgar, di tengah rakyat yang gusar karena kepemimpinan nasional yang dari hari ke hari makin ambyar.

Jauh sebelum itu, di berbagai media sosial, para pendengung peliharaan terus memproduksi fitnah untuk memecah-belah solidaritas sosial. Bahasa-bahasa semacam inilah pemicu lahirnya bahasa-bahasa erotis tapi ironis dalam unjuk rasa.

Mereka yang menjadi bagian dari kekuasaan akan mementingkan kesopanan rakyat dalam berbahasa. Sedangkan rakyat meminta kesopanan para pejabat negara dalam berkuasa, dalam memimpin, dalam memutuskan kebijakan. Bukankah dua dekade lalu Iwan Fals sudah berseru, “Masalah moral/Masalah akhlak/Biar kami cari sendiri// Urus saja moralmu/Urus saja akhlakmu/Peraturan yang sehat yang kami mau?

Rakyat tak punya kedaulatan politik. Meski punya, kedaulatan itu telah disunat para elite. Satu-satunya kedaulatan yang rakyat miliki adalah kedaulatan berbahasa. Dengan kedaulatan berbahasa inilah rakyat melawan penindasan penguasa. Tapi genderuwo demokrasi bernama Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik pun akhirnya mengancam kedaulatan berbahasa ini.

Setelah membaca kolom ini, saya berharap Darsuki mengerti, bahasa yang binal muncul karena penguasa yang banal. Logika dibayar logika. Bahasa dibayar bahasa. “Lo jual, gue beli!”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus