Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harga komoditas dunia meningkat akan mendorong kenaikan harga produk impor Indonesia.
Pemerintah belum punya strategi solid meredam dampak buruk inflasi terhadap perekonomian.
Data inflasi dari Badan Pusat Statistik diragukan.
PRESIDEN Joko Widodo tidak boleh mengabaikan ancaman inflasi tinggi di depan mata. Kondisi buruk di sejumlah negara bisa menjadi pelajaran untuk lebih sigap menyiapkan kebijakan antisipasi. Inflasi yang tidak terkendali telah memicu kerusuhan sosial di Sri Lanka dan menyebabkan Perdana Menteri Imran Khan lengser di Pakistan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memasuki triwulan II tahun ini, terjadi kenaikan harga sejumlah produk. Setelah harga minyak goreng meroket sejak akhir tahun lalu, sekarang diikuti harga barang-barang lain, seperti daging sapi, telur ayam, dan gula. Dalam waktu yang tidak lama lagi, pemerintah bersiap menaikkan harga gas ukuran 3 kilogram dan bahan bakar Pertalite serta tarif listrik. Hampir pasti kenaikan beruntun sejumlah komoditas akan makin mendongkrak angka inflasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati ancaman inflasi tinggi sudah di depan mata, pemerintah terus berupaya mengelak dari kenyataan, dengan mengklaim situasi inflasi masih terkendali. Terbukti, Badan Pusat Statistik merilis angka inflasi bulanan (month to month) pada Maret 2022 hanya 0,66 persen. Adapun inflasi tahunan (year to year) sebesar 2,64 persen. Penghitungan inflasi BPS mengandung kejanggalan karena kenyataannya harga barang-barang sudah naik sejak Februari lalu. Konsep perhitungan yang menggunakan acuan harga patokan dan bukan harga riil di pasar dikhawatirkan menghasilkan level inflasi semu.
Segendang sepenarian, Bank Indonesia menyebutkan indeks harga konsumen masih terkendali. Institusi yang sangat berkepentingan mengendalikan inflasi ini malah mengklaim inflasi tetap terjaga rendah dan berada di kisaran target BI, yakni 3 plus minus 1 persen. Dengan argumentasi itu, bank sentral memutuskan tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuan (7 days reverse repo rate) sebesar 3,5 persen pada April 2022 dan hanya merevisi sedikit proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini, dari 4,7-5,5 persen menjadi 4,5-5,3 persen.
Langkah tersebut bertolak belakang dengan kebijakan sejumlah negara berkembang yang kini pontang-panting memerangi inflasi. Argentina, Sri Lanka, Pakistan, dan Brasil berupaya menahan ancaman inflasi dengan menaikkan tingkat bunga acuan. Strategi serupa dipakai negara-negara maju seperti Korea Selatan, Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada.
Sikap menunggu Bank Indonesia layak dipertanyakan. Menunggu tinggi inflasi naik dulu baru kemudian mengeluarkan resep penyelamatan berpotensi menimbulkan masalah besar bagi perekonomian Indonesia. Apalagi kenaikan harga pangan global yang berimbas ke dalam negeri adalah keniscayaan.
Gula, misalnya, masih sangat tergantung impor untuk menutupi kekurangan kebutuhan dalam negeri. Produksi nasional gula kristal putih tak kunjung di kisaran 2,2-2,3 juta ton per tahun, pada saat konsumsi terus meningkat. Pada tahun ini Badan Pangan Nasional memperkirakan kebutuhan gula mencapai 3,2 juta ton, dan 1,1 juta ton akan dipenuhi dengan impor.
Pemerintah tidak boleh berjudi dengan bahaya inflasi tinggi. Peringatan Dana Moneter Internasional (IMF) tentang ancaman tingginya inflasi di negara-negara berkembang akibat kenaikan harga komoditas dunia harus menjadi perhatian serius. Tidak boleh ada penyangkalan, dengan alasan apa pun, apalagi untuk sekadar pencitraan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo