Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIAP 21 April, ketika kata “perempuan” diberi tanda seru pembebasan, apa yang dipikirkan Yosie?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, di bulan September 1962, saya berdiri di sebelahnya di sebuah sudut bandara Kemayoran. Kami baru melepas Amirul, seorang teman, terbang ke Tokyo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yosie memandang dengan setengah melamun ke arah runway. “Aku suka bermimpi jadi Srikandi terbang,” katanya seperti kepada dirinya sendiri.
Waktu itu umurnya 20 tahun—anak bungsu seorang mendiang patih di sebuah kabupaten lama dan seorang ibu yang tak bisa dengan yakin memanggilnya “putraku”. Yosie bukan putra. Ia juga bukan putri. Ia lahir dengan gelar raden mas, disunat pada umur 8, tapi ia melihat dirinya sebagai anak perempuan. Ia berjalan seperti anak perempuan—ia sadar akan hal ini—dan bersenandung (ia menyukai lagu-lagu Pat Boone) seperti seorang perempuan. Saya ingat semasa di SMA dulu ia mengungkapkan isi hati yang selama itu dirahasiakannya, bahwa ia jatuh cinta—sebagai seorang perempuan—kepada teman saya, Rumekso.
Tentu ia diejek-ejek sebagai “banci”—ketika “banci” dianggap tak lengkap, tak jelas, nista, ketika “banci” tak dilihat sebagai kategori gender tersendiri, sesuatu yang tak bisa dibandingkan.
Yosie selalu diam. Saya tahu dia sedih, tapi ia tak bisa melawan. Ia hanya bertahan. “Srikandi, dalam Mahabharata India, berbeda dari Srikandi di sini,” ia suatu kali berkata. “Srikandi, di sana, di suatu masa tampil seperti perempuan, di masa lain tampil seperti lelaki. Atau keduanya sekaligus.”
Beberapa tahun kemudian, Yosie meninggal. Jantungnya lemah, dan ia dirawat di sebuah rumah sakit selama dua minggu. Ia menolak para perawat mengiringinya ke kamar mandi. Ia tak mau diketahui bahwa ia menggunakan ruang toilet perempuan, padahal ia seorang pasien yang tercatat dengan nama “Raden Mas Suyono”. Hari itu, di kamar mandi, ia terkena serangan jantung dan terpeleset jatuh. Tak seorang pun menolongnya, sebab tak seorang pun perawat ia izinkan menemaninya. Ia tergeletak selama tiga jam, tak bernyawa lagi, dan tak diketahui.
Yosie—nama yang ia pakai untuk memperkenalkan diri—meninggal ketika mencoba mengelak dari kategori. Ia menghindari bahasa yang menjebak.
Berangsur-angsur saya bisa memahami, bahasa memang menentukan pengalaman kita sebagai subyek. Makin lama saya makin sadar, bahasa bukan cuma alat komunikasi. Kita membicarakan diri kita dan menulis diri kita dengan bahasa, dengan makna, dengan kesepakatan sosial dan keterbatasannya.
Bahkan, dalam pengalaman Yosie, bahasa bagaikan kekuatan totaliter yang mengucilkan seseorang yang unik, yang istimewa, yang di luar kategori yang ada. Bahasa ibarat biro politik partai Fasis (kata “fasis” ini saya ambil dari kiasan Roland Barthes) yang menguasai percakapan dalam kehidupan sosial.
Tak mengherankan jika bahasa mudah dimanfaatkan kekuatan yang menyisihkan oknum yang tak jinak dan unsur yang tak bisa dikuasai. Tak mengherankan bila dengan bahasa lahirlah label dan identitas. Lama-kelamaan bahasa membuat identitas seakan-akan akar: akar membuat sesuatu tegak dan tumbuh, tapi mandek di tempat, stasioner.
Yosie—yang bukan lelaki bukan perempuan—dianggap tak jelas identitasnya, tak jelas pula di mana letaknya. Tapi justru itu ia bukan barang yang statis. Ia seperti salah satu dari enam tokoh novel The Waves Virginia Woolf: “I am rooted but I flow”, “aku berakar tapi aku mengalir”.
Yosie lebih dari itu. Baginya akar tak relevan. Ia ingin jadi Srikandi yang terbang. Melintasi batas. Tak terikat pada bandar awal dan pelabuhan akhir.
Seandainya ia masih hidup, saya kira ia layak jadi penggerak kesetaraan gender. Dengan catatan: ia tak akan jadi orang yang berpolemik terus-menerus melawan pihak yang lain. Ia bisa membuat gender setara karena ia anggap itu sebuah acuan yang bergerak dalam sejarah.
Tapi, apa boleh buat, kini politik identitas (juga antara “perempuan”, kami, dan “laki-laki”, mereka) sengit. Kata-kata mengeras, menajam, membeku. Slogan pun jadi bising, dan tiap perjumpaan berlangsung dengan waspada dan siaga. Kita lupa bersantai, bergurau, bermimpi, dan menikmati puisi.
Saya ingat di hari lulusan SMA kami, Yosie membaca puisi. Kini saya ingat apa yang dikatakan tentang puisi oleh Hélène Cixous, filosof, penyair feminis Prancis itu. Puisi, kata Cixous, adalah pengembaraan yang menatap ke mana-mana dengan takjub, yang menyadarkan kita—tanpa melihat—akan hadirnya sebuah tatanan yang berbeda dari tatanan kita.
21 April: mungkin saya sedang kangen Yosie. Atau saya ingin mendengar seorang Kartini yang membuat bahasa bukan hanya statemen, tapi dalam puisi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo