Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kedermaan

Kekuatan ekonomi jepang justru dianggap kesombongan bagi bangsa amerika. jepang punya senjata sederhana: kedermawaan. selain uang, perusahaan-pe- rusahaan jepang mendukung kegiatan sosial.

11 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kedermawanan CELAH itu kini kian menganga. Percaya diri bangsa Jepang yang begitu besar akan kekuatan ekonominya justru dianggap sebagai kesombongan yang memuakkan bagi bangsa Amerika. Penetrasi Jepang yang makin menghunjam pasar dunia -- mau tak mau -- telah menciptakan jurang pemisah antara Jepang dan Amerika. Kebencian makin tak terhindarkan. Ketika Jepang mulai menguasai pasar teknologi tinggi, Amerika Serikat ternyata hanya kompetitif sebagai pengekspor bahan baku dan produk pertanian. Majalah Fortune terbitan awal Mei menyajikan laporan khusus yang cukup menarik dan berimbang tentang disharmoni. Para pemimpin Jepang rupanya tak abai akan situasi yang bisa membahayakan posisi mereka sebagai pemimpin ekonomi dunia. Senjata mereka ternyata cukup sederhana: kedermawanan. Jepang harus membentuk citra diri sebagai bangsa yang dermawan di mata dunia. Tak heran bila lalu kita melihat iklan Toyota di media AS yang sama sekali tak bercerita tentang mobil. Iklan dua halaman itu salah satu halamannya menampilkan dua gadis balita di depan sebuah komputer. Ceritanya? Tentang dana US$ 1,3 juta yang disediakan Toyota untuk membangun sebuah panti asuhan kanak-kanak di Georgetown, Kentucky. Di bawah nama Toyota, yang tampil kecil dalam iklan itu, terbaca slogan "Investing in the Individual". Slogan itu agaknya tak skadar slogan. Awal tahun ini, Toyota menyumbang US$ 2 juta kepada Pusat Pemberantasan Buta Huruf Keluarga AS. Buta huruf di AS? Jangan heran. Selain buta huruf, AS saat ini juga menghadapi masalah pelik: remaja putus sekolah. Toyota juga merupakan salah satu penyandang dana utama sebuah program pertukaran siswa internasional sejak beberapa tahun ini. Akhir tahun lalu, di Jepang, dibentuk "One Percent Club" oleh Keidanren. Anggotanya adalah perusahaan-perusahaan yang menyisihkan 1% dari laba sebelum pajak untuk menyantun kegiatan sosial. Sekalipun masih baru, organisasi itu kini telah beranggota 200 perusahaan. Kedermawanan memang merupakan hal baru bagi bangsa Jepang. Maklum, sejak restorasi Meiji, baru sekarang inilah bangsa Jepang menikmati kelimpahruahan. Seorang pengusaha Jepang, kepada The Asian Wall Street Journal, berkata begini: "Dulu, keberhasilan sebuah perusahaan Jepang diukur berdasarkan penguasaannya terhadap pasar. Tetapi, sekarang, hal itu telah berubah. Reputasi perusahaan Jepang kini diukur dengan kedermawanannya terhadap masyarakat." Sebuah perusahaan tak akan mungkin dermawan sebelum urusan rumah tangganya beres. Tetapi, laba tak lagi menjadi satusatunya motivasi bagi eksistensi perusahaan Jepang. Bila dulu perusahaan menganggap bahwa membayar pajak adalah cara mereka memenuhi tanggung jawab sosial, pandangan itu telah berubah sekarang. Dalam 1989, total sumbangan perusahaan-perusahaan Jepang untuk kegiatan sosial mencapai Rp 6 trilyun. Sebuah angka yang membuat mulut kita ternganga. Selain uang, perusahaan-perusahaan Jepang juga menyumbangkan waktu untuk kegiatan sosial. Makin banyak perusahaan yang memberi izin cuti atas tanggungan perusahaan kepada karyawannya yang ingin melakukan kegiatan bakti sosial. Selama cuti bakti sosial yang mirip sabbatical leave itu, karyawan tetap memperoleh gaji sebesar 60-100%. The Asian Wall Street Jounal juga melaporkan tentang seorang Yuzo Isobe, karyawan Fuji-Xerox, yang mengambil cuti sepuluh bulan untuk bekerja di panti jompo dan anak-anak penyandang cacat. Takashimaya, sebuah perusahaan department store, bahkan memberi izin cuti bakti sosial sampai tiga tahun kepada kuyawannya. "Bukan saja hal itu penting bagi morale karyawan," kata juru bicara Takashimaya, "tetapi juga menguatkan citra persahaan." Agaknya, tanggung jawab sosial telah menjadi pilar keempat dalam strategi perusahaan Jepang, setelah tanggung jawab kepada konsumen, pemegang saham, dan karyawan. Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus