Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) kelihatan punya peran penting yang menonjol dalam roda pemerintahan. Bayang-bayang kiprahnya, di dalam dan di luar kabinet, seolah-olah menutupi kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Walau masih terlalu pagi, orang mulai bicara mengenai kemungkinan JK mempersiapkan diri untuk kursi nomor satu tahun 2009 nanti. Pengaruh JK juga dibicarakan dalam rangka reshuffle kabinet sekarang.
Agaknya ada dua konsepsi yang keliru mengenai hubungan presiden dan wakil presiden. Kekuasaan pemerintahan dipegang oleh presiden. Dalam menjalankan kewajibannya, presiden dibantu oleh wakil presiden, kata konstitusi. Jika ada pembagian tugas yang diberikan kepada wakil presiden—mengurus bidang ekonomi, misalnya—itu bukanlah pemisahan atau pembagian kekuasaan presiden. Itu adalah pelimpahan sebagian kewajiban presiden kepada wakilnya, sedangkan kekuasaan tetap utuh dipegang presiden sendiri.
Demikian juga halnya dengan soal presiden dan wakil presiden yang bersama-sama dipilih langsung melalui pemilihan umum. Hal itu tidak menjadikan presiden dan wakil presiden berbagi kekuasaan, seakan-akan masing-masing memegang separuh saham dari kekuasaan pemerintahan. Juga tak ada pembagian saham karena wakil presiden menyumbang banyak pengaruh atau dana dalam kampanye pemilihan. Yang satu dipilih sebagai presiden, pemegang kekuasaan, yang lain sebagai wakil presiden, pembantu presiden dalam melaksanakan kewajibannya.
JK memang gesit geraknya dan tekun mengejar penyelesaian sampai titik akhir. Keputusannya diambil cepat, dan khas dengan refleks pedagang yang menggunakan naluri perhitungan untung-rugi serta besar-kecilnya risiko. Sering mencari jalan pintas, dan efek sampingan bisa dipikirkan belakangan. Setiap lubang dimanfaatkan, semua alat dikerahkan, dan nyaris segala cara ditempuh. Langkahnya terkesan satu kali ayun saja, reaktif dan kaya improvisasi, tak selalu jelas letaknya dalam perspektif rencana jangka panjang.
Dibandingkan dengan Presiden SBY, JK tampak sangat aktif dan lebih lincah. Kekaguman akan reaksinya yang tangkas bisa mengundang tepuk tangan, walau tak selalu menimbulkan respek. Tidak percuma pengalaman yang dimilikinya sebagai pedagang mobil dulu. Akalnya panjang, pandai berkelit dan diutarakan dengan jalan pikiran sederhana, kadang-kadang terlalu menyederhanakan. Tak pelak, JK lebih memberi kesan cerdik daripada berpengetahuan dalam dan serius.
Gaya JK berlainan dengan SBY. Dalam menjalankan pemerintahan, kadang kala dibutuhkan kebijakan penanggulangan secara istimewa. Agar persoalan bisa segera diselesaikan dengan efektif, tindakan tidak boleh tanggung-tanggung, kalau perlu dengan biaya dan pengorbanan lebih besar. Suatu necessary overkill terpaksa dilakukan. Dalam hal seperti inilah tampak JK berbeda dengan SBY. Jika JK menekankan pada perlunya overkill atau menggenjot, maka mungkin SBY akan lebih mempertimbangkan unsur necessary, apakah tindakan itu benar perlu atau tidak. Akibatnya yang satu cepat, lainnya lambat.
Gaya kepemimpinan yang berbeda antara presiden dan wakilnya itu bisa membuat repot para menteri dalam kabinet. Tidak mungkin bagi seorang menteri secara terbuka memilih mana yang lebih cocok untuk diikuti, ke mana lebih berat akan berkiblat. Adanya dua kepala ini memaksa para menteri mengembangkan kepatuhan ganda, membelah diri untuk melayani keduanya agar tak menimbulkan kecurigaan lebih setia pada salah satunya saja. Keadaan ini menyulitkan tata kerja di kabinet, dengan asumsi bahwa terdapat hubungan persaingan antara presiden dan wakilnya sendiri.
Benar atau tidak, tapi kesan adanya persaingan antara presiden dan wakilnya harus disudahi. JK yang gesit dan sangat aktif itu mestinya bukan diperlakukan sebagai risiko atau kendala. SBY sebaiknya berusaha memanfaatkannya sebagai aset, menjadi komplemen dan penguat kepemimpinan presiden. Yang harus dijaga ialah agar peran penting JK tidak membuka kesempatan berkembangnya ”kompleks politiko-bisnis” dalam pemerintahan, yaitu jalinan kekuasaan yang dirajut dari kepentingan politik penguasa dan kepentingan ekonomi pengusaha.
Kesempatan untuk mengembalikan hubungan presiden dan wakilnya yang lebih proporsional bisa dimulai dalam cara menyusun kembali kabinet, jikalau reshuffle jadi dilakukan. Wakil Presiden boleh mengajukan calon dan dimintai pendapatnya. Tapi bukan tawar-menawar atau membuat keputusan bersama-sama. Penentuan dan tanggung jawab sepenuhnya ada pada Presiden. Sejak saat itu secara konkret tertata kembali, siapa nomor satu dan siapa nomor dua dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan. Begitulah untuk seterusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo