Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Mampukah Militer Melawan Teroris?

Kekuatan militer tak andal sebagai alat kebijakan. Sebuah wejangan penting dari Peter Drucker, guru manajemen dan bekas penasihat Menteri Pertahanan AS.

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM 50 tahun terakhir, kita menyaksikan perlombaan senjata yang luar biasa. Sejak Perang Dunia (PD) II, industri senjatalah yang terpesat pertumbuhannya, bukan industri komputer ataupun telekomunikasi. Kini negara kecil seperti Peru, Libya, dan Irak punya persenjataan yang daya rusaknya lebih dahsyat dibandingkan dengan senjata negara besar mana pun ketika PD II dimulai.

Ini sungguh mengherankan kalau diingat betapa merugikannya persenjataan. Ia menyedot dana besar-besaran sehingga sangat menghambat kinerja dan pembangunan ekonomi. Salah satu penyebab utama krisis ekonomi Rusia, yang membuatnya tertinggal dari Barat dan menghancurkan posisinya sebagai negara adikuasa, adalah tersedotnya dana untuk membiayai lomba persenjataan. Itu pula penyebab kesulitan ekonomi AS dan gagalnya pembangunan ekonomi di Amerika Latin.

Ditinjau dari segi sosial pun, ketentaraan sudah tidak lagi berfungsi sebagai "sekolah bangsa" sebagaimana anggapan orang pada abad ke-19. Di mana pun kaum militer merebut kekuasaan, di situ pula mereka mengajarkan kebiasaan buruk: teror, penyiksaan, dan korupsi.

Bantuan militer—yang banyak diberikan dalam 40 tahun terakhir—pun tak andal. Di mana-mana sudah terbukti bahwa persenjataan secara militer itu impoten. Perang Korea berakhir dengan posisi nol : nol, padahal begitu hebat persenjataan dan pasukan yang dikerahkan AS. Dalam sebagian besar perang "gajah-lawan-semut", si "gajah"-lah yang kalah. Prancis kalah di Aljazair dan Vietnam, AS kalah di Vietnam, Cina juga kalah di Vietnam, sedangkan Rusia kalah di Afganistan.

Begitu pula Israel. Setelah empat kali menang perang, Israel belum juga mencapai kemenangan sejati. Di Afrika, sejumlah perang saudara yang didukung bantuan militer besar-besaran oleh berbagai negara asing tetap saja berkobar tanpa terlihat pengakhiran secara militer.

Persenjataan telah kehilangan kemampuan militernya. Senjata bisa memenangi pertempuran, tapi tak mampu lagi menentukan kemenangan perang. Di era senjata nuklir, kimia, dan biologi, senjata tak mampu lagi menjaga pertahanan negaranya. Ucapan Karl von Clausewitz, "Perang adalah kelanjutan kebijakan dengan cara lain," tak berlaku lagi.

Malah, kata Peter F. Drucker, "Perang sudah menjadi alat untuk menggagalkan kebijakan" (The New Realities: In Government and Politics, In Economy and Business, In Society, and In World View, 1989). Bagaimana ia bisa menyimpulkan begitu?

Drucker ditunjuk oleh Presiden John F. Kennedy menjadi penasihat Menteri Pertahanan di bidang perbekalan dan personalia, bersama tiga pengusaha terkemuka, tiga mantan perwira tinggi militer AS, dan tiga profesor. Sembilan tahun ia menduduki jabatan itu. Pada akhir masa kerja, semua anggota tim penasihat—tanpa kecuali—berkesimpulan bahwa persenjataan telah menjadi kontraproduktif, bahkan secara militer.

Para perwira militer yang bekerja sama dengan tim itu berkesimpulan serupa. Kendati begitu, sejak berakhirnya Perang Vietnam, perlombaan dan penumpukan senjata justru meningkat tajam.

Pengurangan senjata memang perlu. Tapi yang diperlukan jauh lebih sulit dari sekadar perlucutan senjata. Yang diperlukan adalah suatu penegasan peran dan pentingnya pertahanan dalam sistem politik dunia, terutama penegasan tentang monopoli pemerintahan atas persenjataan.

Yang dibutuhkan adalah dikembalikannya fungsi pertahanan dan persenjataan sebagai alat, bukan pemandu kebijakan. Yang harus dipikirkan kembali adalah peran dan fungsi pertahanan, persenjataan, bahkan kaum militer dalam dunia modern.

Drucker menggunakan istilah yang juga dipakai oleh Kepala Staf Teritorial TNI Letjen Agus Widjojo: yang diperlukan adalah suatu "reposisi militer dalam gelanggang politik."

Militer dan Ekonomi

Sudah berabad-abad angkatan perang dan persenjataan merupakan beban berat bagi perekonomian rakyat. Kontribusinya pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pun sangat kecil. Ksatria berbaju rantai, berperisai baja, dan berkuda putih memang pemandangan yang menakjubkan. Tapi ia hanya mengambil, tanpa mengembalikan apa-apa kepada masyarakat.

Untuk memelihara seorang ksatria, diperlukan empat ekor kuda dan paling sedikit enam orang pegawai. Untuk memelihara empat kuda dan enam tenaga kerja, dibutuhkan seluruh produksi delapan sampai sepuluh usaha pertanian. Namun, sang ksatria cuek saja, tak peduli pada keselamatan para petani yang memberinya makan dan penghidupan. Pak Tani hanya berguna sebagai sapi perah para bangsawan penyandang senjata.

Mesiu sudah digunakan di Barat sejak abad ke-14. Tapi baru 500 tahun kemudian bahan peledak digunakan untuk proses produksi, untuk pertambangan, membuat terowongan, serta untuk membangun jalan dan pelabuhan. Untuk membuat perlengkapan perang bagi seorang ksatria abad pertengahan, diperlukan keterampilan pandai besi dan pengetahuan metalurgi yang cukup tinggi.

Namun, semua keahlian itu tak punya dampak pada teknologi bajak untuk ladang pertanian—dan itu baru terjadi pada abad ke-18. Begitu pula, tak ada teknologi dunia sipil yang diambil alih oleh dunia militer. Dulu Barat hanya mengenal kapal yang digerakkan oleh tenaga dayung manusia. Antara abad ke-8 dan ke-10 di Eropa Utara, kincir angin dan roda air diubah menjadi mesin-mesin pertama di dunia.

Artinya, untuk pertama kali diciptakan alat produksi yang tidak digerakkan oleh tenaga manusia. Hampir seketika layar kincir angin dioper oleh kapal-kapal laut. Tapi kapal perang terus saja menggunakan pendayung untuk bergerak. Baru 600_700 tahun kemudian, kapal perang mengambil oper teknologi yang sudah tak terlalu baru itu.

Abad Ke-17: Revolusi

Baru pada abad ke-17 teknologi sipil dan teknologi perang berjalan paralel dan saling memperkaya. Pada mulanya adalah penemuan Belanda di akhir abad itu: kapal pertama yang mampu mengangkut barang selain awak dan bekalnya. Kapal pertama ini asal mulanya digunakan sebagai kapal perang, tapi kemudian dikembangkan menjadi kapal barang—suatu terobosan yang sama pentingnya dengan mesin uap, komputer, atau bioteknologi.

Tiba-tiba, untuk pertama kalinya perdagangan mencakup seluruh dunia. Dan Eropa memulai proses penetrasi ekonomi dunia, yang kemudian berubah menjadi dominasi sejagat. Interaksi teknologi sipil dan teknologi kemiliteran saling mendukung begitu rupa, sehingga pada 1941 prasarana produksi perekonomian sipil dapat diubah menjadi industri perang dalam waktu empat bulan.

Pada saat AS masuk PD II, pabrik di Linden, New Jersey—yang semula merakit mobil Buick, Pontiac, dan Oldsmobile—diubah menjadi pabrik pesawat tempur terbesar. Lima bulan setelah PD II berakhir, pabrik yang sama kembali merakit mobil-mobil tadi.

Sekarang tidak begitu lagi. Belanja untuk pertahanan dan teknologi pertahanan merupakan penyedot terbesar dalam ekonomi sipil. Salah satu penyebab cepatnya kemajuan ekonomi Jepang, hampir langsung setelah kalah perang, adalah terbebasnya negara itu dari kewajiban mengeluarkan dana pertahanan atau penelitian untuk bela diri.

Jepang aman di bawah payung pertahanan AS. Anggaran pertahanan AS akan terus menjadi "kerugian" terbesar dalam perekonomiannya. Salah satu penyebab pokok hancurnya Uni Soviet pun adalah besarnya ongkos pertahanannya, yang menggerogoti produk domestik brutonya.

Pertumbuhan kebutuhan pertahanan merupakan ancaman yang lebih besar bagi ekonomi negara-negara berkembang, terutama di Amerika Latin. Anggaran pertahanan di Peru, Cile, Argentina, atau Brasil mungkin telah menelan separuh dana yang dapat dipakai untuk investasi produktif. Salah satu penyebab utama tumbangnya Shah Iran adalah digunakannya sebagian besar devisa untuk membangun angkatan perang terbesar di sekitar Timur Tengah.

Sekolah Bangsa?

Revolusi Prancis memproklamasikan angkatan bersenjata sebagai "sekolah bangsa". Proklamasi ini kemudian menjadi semboyan di mana-mana, kecuali di Inggris dan AS. Mungkin dinas militer berguna untuk mengajarkan kebiasaan-kebiasaan yang baik bagi anak petani yang dianggap buta huruf, bodoh, malas, atau berbadan dekil. Masyarakat masa kini tak memerlukan itu lagi.

Satu-dua tahun kegiatan pemuda kita dalam LSM akan jauh lebih berguna bagi mereka dan masyarakat ketimbang dua tahun dalam dinas militer. Sebaliknya, pihak militer telah membuktikan diri sebagai sekolah yang salah bagi masyarakat sipil.

Di setiap negara Amerika Latin, pemerintahan militer merosot menjadi tirani. Muncul penyiksaan dan korupsi, dalam ukuran yang tak pernah dialami sebelumnya. Dalam satu-dua tahun, pemerintahan semacam itu jadi impoten. Begitu juga yang dialami kekuasaan militer Generalissimo Franco di Spanyol.

Bantuan Militer

Bantuan militer sebagai alat politik berumur lebih tua dari sejarah yang terekam. Hasilnya selalu meragukan. Bantuan militer selalu gagal mencapai tujuannya, bukan karena para jenderal lebih curang dari orang sipil, tapi karena bergantung pada kekuatan luar adalah hal yang bertentangan dengan kemiliteran.

Tugas militer adalah memerdekakan negerinya, dan mempertahankan kemerdekaan itu. Makin banyak bantuan militer dari luar, kian besar kebencian pada bantuan itu. Makin kuat militer yang menerima bantuan, kian menyimpang tujuannya dari maksud pemberi bantuan.

Persekutuan dalam menghadapi musuh bersama berhasil selama ada musuh bersama itu. "Bantuan militer sebagai strategi politik tak pernah berhasil," tulis Churchill berulang-ulang dalam biografi Pangeran Marlborough, moyangnya yang cemerlang. Dalam hampir setiap kasus pemberian bantuan militer, musuhlah yang lahir: di Yunani (para kolonel), di Iran (masa Shah), di Filipina (era Marcos), dan di Panama (Noriega).

Militer Tak Becus

Dalam empat dasawarsa terakhir, aksi-aksi militer gagal menghadapi setiap perlawanan—dalam bentuk menumpas gerilyawan kecil-kecilan, kaum teroris, atau bahkan pelaku sabotase. Lihatlah Inggris. Ia mengerahkan semua armada kapal perang yang termasuk terbesar di dunia dan suatu kekuatan militer yang terlatih untuk melawan pasukan Argentina yang boleh dikata "absen" di Pulau Malvinas (1982). Sukses logistiknya luar biasa, tapi dari segi militer itu hampir merupakan malapetaka.

Hampir setahun kemudian, AS menyerbu negeri mungil Grenada, dengan 8.000 personel. Mereka berhasil menduduki pulau itu, terutama karena penduduk menyambut tentara Amerika sebagai penyelamat. Operasi tersebut boleh dikata gagal dari segi militer.

Betapapun hebatnya suatu negara adikuasa, agaknya ia hanya mampu mempersiapkan, merencanakan, dan melatih untuk satu jenis operasi militer. Jenis teknologi modern dalam operasi militer sungguh amat beragam. Setiap jenis membutuhkan strategi, taktik, logistik, latihan, dan bahkan konsep perang yang berbeda.

Konsep strategi tidak tunggal. Yang ada hanya opsi, dan mundur bila satu opsi gagal. Suatu kekuatan militer hanya dapat direncanakan, dilatih, dipimpin, dan diperlengkapi untuk satu jenis perang, melawan satu jenis musuh. Satu armada kapal perang yang khusus diperuntukkan mencegat kapal selam Rusia yang masuk Laut Utara tidak cocok untuk mengawal kapal penumpang militer di Laut Atlantik Selatan. Kapal perusak yang dibuat dan diperlengkapi untuk perang di laut terbuka sama sekali tak cocok untuk mengawal kapal-kapal tanker di Teluk Persia yang sempit dan dangkal.

Para pujangga perang—dari Cina Kuno sampai Caesar, hingga Iskandar Agung dan Von Clausewitz—mengajarkan bahwa taktik perang selalu harus fleksibel. Strategilah yang harus kukuh dan didasarkan atas tujuan yang jelas serta asumsi-asumsi yang tegas. Strategi tak dapat luwes dan mudah diubah, sama seperti latihan, struktur komando, atau persenjataan. Senjata tak mampu lagi berfungsi sebagai alat kebijakan.

Definisi Teroris

Pemerintah di mana-mana kehilangan monopoli atas persenjataan dan penggunaannya—inilah perkembangan paling mencemaskan. Sejak munculnya negara modern pada abad ke-16, monopoli negara atas perang dan alat perang sudah merupakan aksioma. Pertahanan didefinisikan sebagai "…kewajiban negara untuk menyediakan sarana guna pertahanan warganya terhadap serangan, dan hak eksklusif negara untuk menanganinya."

Begitulah doktrin resminya. Tapi apakah pertahanan seperti ini masih punya arti?

Monopoli negara atas "pertahanan" sudah terlanggar. Kaum teroris sudah membentuk tentaranya sendiri, pasukan "swasta". Cara tradisional militer impoten terhadap ancaman seperti itu. Terorisme di satu negara pun tak akan bisa ditumpas oleh pemerintah negara itu saja.

Perkembangan ini mewajibkan kita meninjau kembali secara mendalam fungsi pertahanan dan persenjataan yang mendukungnya. Pertahanan, menurut Drucker, sudah mustahil. Yang mungkin adalah pembalasan. Dalam keadaan semacam itu, apa yang harus dilakukan suatu angkatan perang agar dapat kembali efektif menjalankan fungsinya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus