Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kekuasaan

Birokrasi di dalam negeri sosialis harus melumpuhkan ikhtiar swasta, juga dirinya sendiri. timbul paradoks: semakin besar kekuasaan birokrasi, semakin lambat geraknya. agar tetap berkuasa, gerak diatur.

17 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIROKRASI, seperti halnya revolusi sering memakan anak-anaknya sendiri. Di negeri Cma, yang telah menyusun birokrasi besar 2.000 tahun yang lalu, para birokrat menjadi teladan kehati-hatian dan rasa takut akan tertelan. Si-ma Quan, yang hidup dari 145 sampai 90 tahun Sebelum Masehi, punya petuah: "Jangan berada di depan dalam merencanakan hal-ikhwal, sebab engkau akan dianggap bertanggung jawab." Tak heran bila sedikit berbuat, sedikit bicara, sedikit menongol, merupakan strategi sang birokrat. Di salah satu pavilyun merah di Kota Terlarang di Peking, tempat raja-raja Ming dan Qing menyimpan cap kekaisaran mereka, sebuah tulisan besar tergantung dalam huruf keemasan di latar warna biru, Wu-wei. Konon tafsirnya ialah: "Jangan lakukan apa-apa." Sebab, berbuat sesuatu berarti melakukan suatu kemungkinan untuk salah. Dan kesalahan bisa fatal. Di abad ketiga, syahdan, seorang perdana menteri Cina hendak menguji siapa di antara para pengiringnya di istana yang setia. Seekor kijang dibawa ke hadapannya. Ia mengatakan bahwa hewan itu seekor kuda. Para pengiring dan pembantu yang mencoba bertahan dengan pendapat bahwa kijang itu adalah kijang kemudian dihukum mati. Maka, siapa yang ingin bersikap coba-coba? Barangkali karena itulah di Republik Rakyat Cina, 2.000 tahun setelah Si-ma Quan, ketika sosialisme melahirkan birokrasi raksasa yang baru, negeri seakan tak bergerak. Menurut catatan Harian Rakyat sendiri, di tahun 1957, ketika penduduk Cina sekitar 600 juta, terdapat satu juta toko di sana, bengkel sepeda, tukang cukur, dobi, dan tukang sepatu. Dan ketika penduduk membanjir jadi satu milyar, atau bertambah 400 juta di tahun 1981 (suatu tambahan yang sama dengan jumlah penduduk Amerika Serikat dan Eropa sekaligus), jumlah toko itu malah berkurang menjadi 190.000. Birokrasi di dalam negeri sosialis memang harus melumpuhkan ikhtiar swasta -- yang bisa berkembang jadi kapitalis. Tapi, di samping itu, birokrasi itu sendlri memang cenderung melumpuhkan apa saja, juga dirinya sendiri, bila ia meruyak ke mana-mana. Pada saat ia menjadi besar, dengan jumlah personil yang banyak, suatu keputusan dari atas akan berjalan tambah pelan untuk sampai ke bawah. Bukan cuma karena jalan bertambah panjang. Tapi juga karena orang yang banyak itu berdesak-desak, dan semakin takut untuk terinjak atau menginjak. Bersamaan dengan itu, seperti oktopus yang lapar, bangunan raksasa yang bersusun-susun itu juga menghendaki lebih banyak peran bagi dirinya. Peran, dalam hal ini, berarti kekuasaan. Tak heran bila kata pepatah Cina lama diingat kembali di negeri itu: "Bila seorang menjadi pejabat, bahkan ayam dan anjingnya pun ikut naik ke surga." Fox Butterfield, wartawan The New York Times yang dikirim ke Peking di tahun 1980 menuliskan bagaimana makna pepatah itu dalam hidup sehari-hari birokrasi Cina. Di balik semboyan sama-rata-sama-rasa, yang tersimpul dalam buku China, Alive in the Bitter Sea tentang negeri sosialis itu adalah perbedaan-perbedaan yang menyolok. Bukan dalam hal uang, tapi dalam hal kekuasaan. Dan kekuasaan berarti pula, pada akhirnya, fasilitas. Orang-orang memang dianjurkan menyebut satu sama lain tongzhi atau "kawan", dan suatu ketika tanda-tanda pangkat antara prajurit dan perwira ditiadakan. Namun, sementara dari luar orang kagum akan semangat egalitarian ini, di dalam orang Cina tahu: yang di bawah tertekan, yang di atas memiliki te-quan, alias "hak-hak istimewa." Di Jalan Dong Hua Men 53 di sebelah timur Kota Terlarang di Peking, ada toko khusus untuk makanan para pembesar, dengan persediaan berlimpah. Di Jalan Chao Yang Men 83, sebuah toko buku tersendiri tersedia pula. Untuk menonton film Amerika yang terlarang, ada Teater Tiga Gerbang, di sudut lain yang tak menyolok. Barangkali dari situlah timbul paradoks: semakin besar kekuasaan birokrasi, semakin lambat pula geraknya. Sebab, kekuasaan yang berada di suatu kelompok mengharuskan hirarki, dan hirarki memungkinkan previlese. Previlese untuk mendapatkan kenikmatan-kenikmatan khusus itu menyebabkan yang di atas berhati-hati agar tak jatuh. Kehati-hatian itulah yang kemudian membuat orang takut mengambil risika kalah. "Dalam permainan catur," demikian petuah seorang tua menurut seorang pengarang buku sejarah filsafat Cina, "Tak ada jalan yang pasti untuk menang, tapi ada jalan yang pasti untuk tidak kalah." Bagaimanakah jalan yang pasti tak akan kalah itu? Jawabnya, "Jangan bermain catur." Pertandingan pun lalu ditutup. Kompetisi dibatalkan. Gerak diatur, dan semua diam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus