BIROKRASI, seperti halnya revolusi sering memakan anak-anaknya
sendiri. Di negeri Cma, yang telah menyusun birokrasi besar
2.000 tahun yang lalu, para birokrat menjadi teladan
kehati-hatian dan rasa takut akan tertelan. Si-ma Quan, yang
hidup dari 145 sampai 90 tahun Sebelum Masehi, punya petuah:
"Jangan berada di depan dalam merencanakan hal-ikhwal, sebab
engkau akan dianggap bertanggung jawab."
Tak heran bila sedikit berbuat, sedikit bicara, sedikit
menongol, merupakan strategi sang birokrat. Di salah satu
pavilyun merah di Kota Terlarang di Peking, tempat raja-raja
Ming dan Qing menyimpan cap kekaisaran mereka, sebuah tulisan
besar tergantung dalam huruf keemasan di latar warna biru,
Wu-wei. Konon tafsirnya ialah: "Jangan lakukan apa-apa."
Sebab, berbuat sesuatu berarti melakukan suatu kemungkinan untuk
salah. Dan kesalahan bisa fatal. Di abad ketiga, syahdan,
seorang perdana menteri Cina hendak menguji siapa di antara para
pengiringnya di istana yang setia. Seekor kijang dibawa ke
hadapannya. Ia mengatakan bahwa hewan itu seekor kuda. Para
pengiring dan pembantu yang mencoba bertahan dengan pendapat
bahwa kijang itu adalah kijang kemudian dihukum mati.
Maka, siapa yang ingin bersikap coba-coba? Barangkali karena
itulah di Republik Rakyat Cina, 2.000 tahun setelah Si-ma Quan,
ketika sosialisme melahirkan birokrasi raksasa yang baru, negeri
seakan tak bergerak.
Menurut catatan Harian Rakyat sendiri, di tahun 1957, ketika
penduduk Cina sekitar 600 juta, terdapat satu juta toko di sana,
bengkel sepeda, tukang cukur, dobi, dan tukang sepatu. Dan
ketika penduduk membanjir jadi satu milyar, atau bertambah 400
juta di tahun 1981 (suatu tambahan yang sama dengan jumlah
penduduk Amerika Serikat dan Eropa sekaligus), jumlah toko itu
malah berkurang menjadi 190.000.
Birokrasi di dalam negeri sosialis memang harus melumpuhkan
ikhtiar swasta -- yang bisa berkembang jadi kapitalis. Tapi, di
samping itu, birokrasi itu sendlri memang cenderung melumpuhkan
apa saja, juga dirinya sendiri, bila ia meruyak ke mana-mana.
Pada saat ia menjadi besar, dengan jumlah personil yang banyak,
suatu keputusan dari atas akan berjalan tambah pelan untuk
sampai ke bawah. Bukan cuma karena jalan bertambah panjang. Tapi
juga karena orang yang banyak itu berdesak-desak, dan semakin
takut untuk terinjak atau menginjak. Bersamaan dengan itu,
seperti oktopus yang lapar, bangunan raksasa yang bersusun-susun
itu juga menghendaki lebih banyak peran bagi dirinya. Peran,
dalam hal ini, berarti kekuasaan.
Tak heran bila kata pepatah Cina lama diingat kembali di negeri
itu: "Bila seorang menjadi pejabat, bahkan ayam dan anjingnya
pun ikut naik ke surga."
Fox Butterfield, wartawan The New York Times yang dikirim ke
Peking di tahun 1980 menuliskan bagaimana makna pepatah itu
dalam hidup sehari-hari birokrasi Cina. Di balik semboyan
sama-rata-sama-rasa, yang tersimpul dalam buku China, Alive in
the Bitter Sea tentang negeri sosialis itu adalah
perbedaan-perbedaan yang menyolok. Bukan dalam hal uang, tapi
dalam hal kekuasaan. Dan kekuasaan berarti pula, pada akhirnya,
fasilitas.
Orang-orang memang dianjurkan menyebut satu sama lain tongzhi
atau "kawan", dan suatu ketika tanda-tanda pangkat antara
prajurit dan perwira ditiadakan. Namun, sementara dari luar
orang kagum akan semangat egalitarian ini, di dalam orang Cina
tahu: yang di bawah tertekan, yang di atas memiliki te-quan,
alias "hak-hak istimewa."
Di Jalan Dong Hua Men 53 di sebelah timur Kota Terlarang di
Peking, ada toko khusus untuk makanan para pembesar, dengan
persediaan berlimpah. Di Jalan Chao Yang Men 83, sebuah toko
buku tersendiri tersedia pula. Untuk menonton film Amerika yang
terlarang, ada Teater Tiga Gerbang, di sudut lain yang tak
menyolok.
Barangkali dari situlah timbul paradoks: semakin besar
kekuasaan birokrasi, semakin lambat pula geraknya. Sebab,
kekuasaan yang berada di suatu kelompok mengharuskan hirarki,
dan hirarki memungkinkan previlese. Previlese untuk mendapatkan
kenikmatan-kenikmatan khusus itu menyebabkan yang di atas
berhati-hati agar tak jatuh. Kehati-hatian itulah yang kemudian
membuat orang takut mengambil risika kalah.
"Dalam permainan catur," demikian petuah seorang tua menurut
seorang pengarang buku sejarah filsafat Cina, "Tak ada jalan
yang pasti untuk menang, tapi ada jalan yang pasti untuk tidak
kalah." Bagaimanakah jalan yang pasti tak akan kalah itu?
Jawabnya, "Jangan bermain catur." Pertandingan pun lalu ditutup.
Kompetisi dibatalkan. Gerak diatur, dan semua diam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini