BEGITU keluar dari Ruang Pengaduan Klaim Pulsa Kantor Witel
(Wilayah Usaha Telekomunikasi) Khusus Jakarta Raya, di Jalan S.
Parman, Djuri dan Djasman menyumpah-nyumpah. "Semua keterangan
kami ditolak. Kami diharuskan membayar, boleh dicicil tapi cuma
tiga bulan," kata kakak beradik itu kemudian.
Pagi itu untuk kedua kalinya mereka datang ke kantor itu guna
mengajukan keberatan atas tagihan rekening sebesar Rp 106.000
(untuk Juli) dan lebih dari Rp 200.000 (untuk Agustus), atas
telepon pribadi di rumah mereka di Pademangan, Jakarta Utara.
Biasanya mereka membayar Rp 20 sampai Rp 50 ribu per bulan.
"Tiba-tiba saja setelah telepon rusak dua minggu, tagihannya
meloncat. Padahal, telepon kami pakai secara terbatas," ujar
Djasman, 29 tahun, sang kakak.
Bukan cuma Djuri dan Djasman saja yang kesal. Belakangan ini
barisan pelanggan telepon yang mengajukan keluhan semakin
banyak. Di Kantor Telepon Medan, misalnya, sampai Mei lalu
jumlah keluhan pelanggan rata-rata sekitar 80 sebulan. Sejak
Juni, jumlah keluhan naik sampai lebih dari 100 per bulan.
"Pelanggan yang datang kemari menyatakan bahwa mereka terdorong
oleh seruan Pengacara Kaligis," kata M. Amin, kepala Subseksi
Bagian Pulsa Kantor Telepon Medan.
Di kantornya yang terletak di Jalan Majapahit, Jakarta Pusat,
Pengacara O.C. Kaliis pekan lalu menggebu-gebu. Ia tidak
menduga seruannya akan punya gema dan mendapat sambutan luas:
membuka bantuan hukum cuma-cuma buat pelanggan telepon yang
merasa dirugikan Perumtel.
Gagasan Kaligis muncul setelah kasus yang menimpanya. Maret
lalu, Kaligis kaget ketika mendapat tagihan telepon sebesar
lebih dari Rp 300 ribu. Tagihan itu, menurut Kantor Witel IV
(Jakarta Raya), adalah biaya pembicaraan melalui telepon nomor
414192 di rumah Kaligis, yang terdaftar atas nama istrinya, Ny.
Telly Kaligis.
Karena biasanya rekeningnya cuma sekitar Rp 100 ribu per bulan,
Kaligis mengajukan klaim ke Witel IV, serta menanyakan jumlah
dan perincian pulsa telepon yang dipakainya selama bulan
sebelumnya. Jawaban yang diperolehnya tidak memuaskan. "Mereka
hanya mengatakan komputer pencatat pulsa Perumtel memang
menentukan jumlah sekian. Itu 'kan tak cukup," tuturnya. Ia
menduga, ada oknum Perumtel yang mengalihkan pulsa konsumen lain
ke teleponnya, dengan imbalan. Padahal, telepon kantornya yang
dipakai sepuluh kali lebih banyak cuma ditagih rata-rata Rp 125
ribu sebulan.
Pengacara ini makin berang ketika bulan berikutnya tagihan
teleponnya mendekati angka Rp 360 ribu. Telepon di rumahnya ia
kunci. Namun, tagihan bulan berikutnya tetap sebesar itu. Ia tak
sabar lagi. Apalagi ketika teleponnya hidup-mati.
Ditulisnya surat pembaca di beberapa koran menawarkan bantuan
hukum gratis kepada masyarakat yang merasa tagihan teleponnya
terlalu tinggi. Ia berjanji akan menggugat kantor telepon ke
pengadilan untuk meminta ganti rugi atas penyelewengan itu.
Tawaran Kaligis ternyata dapat sambutan. Lebih dari 100
pelanggan mengadu kepadanya. Maka, mewakili beberapa klien itu
pada 24 Juni lalu Kaligis mengajukan gugatan perdata terhadap
Perumtel Witel IV. Para penggugat yang terdiri dari empat orang,
menurut Kaligis, diblokir teleponnya oleh Witel IV karena
menolak membayar rekening yang mereka anggap tidak wajar.
John Jaya, salah seorang penggugat, mengaku tak pernah berpikir
untuk menuntut ke pengadilan seandainya Kaligis tak membuka
bantuan gratis. Ia kesal karena jawaban Perumtel terhadap klaim
pulsa teleponnya selalu disertai kalimat "telah sesuai dengan
catatan komputer." Ia tak begitu optimistis gugatannya akan
menang di pengadilan. "Tetapi dengan cuma mengeluh ke Telkom
saja, saya tak akan mendapat apa-apa. Saya tak bersalah. Mereka
sewenang-wenang kepada saya," kata John berapi-api.
Gugatan dan tuduhan Kaligis itu rupanya menggusarkan Perumtel.
"Itu jelas fitnah dan tuduhan yang tak masuk di akal" kata
Direktur Utama Perumtel Willy Munandir dengan sengit. "Orang
Perumtel tak akan sejahat itu. Tidak mungkin orang bisa
mengambil keuntungan dengan cara memampulasi data. Apa sih
keuntungannya? Toh semua pembayaran rekening masuk ke kas
negara," sambungnya.
Pekan lalu Perumtel tak ayal mengeluarkan siaran pers. Meski tak
menyebut nama Kaligis, siaran itu menyebut tuduhan adanya pungli
itu "sangat tendensius" dan merupakan "penghinaan terhadap
aparat pemerintah dan merongrong kewibawaan pemerintah yang
tidak dapat dibiarkan."
Kaligis bisa saja dituduh "merongrong kewibawaan pemerintah",
tapi kecurigaan terhadap adanya manipulasi pulsa belakangan ini
memang makin menebal. Hampir tiap hari koran-koran memuat surat
pembaca yang menuduh adanya manipulasi pulsa telepon. Jumlah
klaim (pengaduan) pulsa telepon yang tercatat di Jakarta,
misalnya, juga melonjak. Bila pada Januari dan Februari tahun
ini masih berkisar di sekitar 500, sampai Juli sekitar 800 buah.
Kasus yang diajukan beberapa pelanggan memang ada yang unik.
Misalnya yang dialami Piet Slamet, 50 tahun, seorang
wiraswastawan yang tinggal di daerah Kayumanis, Jakarta Timur.
Juni lalu ia menerima balasan pihak Witel IV atas klaim yang
diajukannya. Di situ antara lain disebutkan bahwa pesawat
telepon Piet dipakai untuk menelepon suatu nomor di Semarang.
Merasa tak pernah menelepon ke nomor itu, Piet protes ke Seksi
Pelayanan Pengaduan Telepon di Kantor Telepon, Jalan Merdeka
Selatan.
Pejabat yang menerimanya menawarkan diri untuk menghubungi nomor
itu dengan telepon yang ada di mejanya. Si penerima telepon
mengaku bernama "Lucy", sedang nama si pemilik telepon adalah
Bapak Wing. Lucy mengaku sering menerima telepon dari Jakarta,
dari seorang anggota DPR. Dari PT Elnusa, perusahaan yang
menerbitkan buku petunjuk telepon, Piet mendapat informasi bahwa
pemakai nomor telepon di Semarang adalah sebuah perusahaan
bersama-sama dengan Wing Winoto. Piet segera mengirim surat ke
Wing Winoto untuk menanyakan benarkah pernah menerima telepon
dari dirinya, serta apakah salah satu penghuni rumah itu ada
yang bernama Lucy.
Jawaban yang diterima Piet mengagetkannya. Ny. Wing Winoto
menulis bahwa suaminya telah meninggal 16 tahun yang lalu. Nama
Lucy juga tak dikenal. Ny. Wing menduga ada orang jahil yang
memakai nomor telepon Piet, karena tak seorang pun di rumahnya
yang pernah mengenal, apalagi berbicara lewat telepon dengan
Piet. Peristiwa ini mendorong Piet mengadukan kasusnya pada O.C.
Kaligis.
Tidak semua pelanggan berani bertindak tegas menuntut Perumtel
ke pengadilan. Bahkan penegak hukum sekalipun. Contohnya Bob RE.
Nasution, kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Pada 20 Mei
1983 Bob memasang telepon di rumahnya, Tebet, Jakarta Selatan.
Sebulan kemudian muncul tagihan: Rp 196 ribu. "Padahal, di rumah
saya tidak ada yang suka main telepon," kata Bob. Ia mengajukan
klaim ke Perumtel.
Sebagai balasan, pihak Telkom mengirim perincian penggunaan
pulsa. Di situ tercantum pembicaraan telepon ke Padang,
Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya. "Meskipun saya bilang tidak
pernah menelepon ke nomor-nomor itu, rekening saya tidak
diturunkan," tutur Bob.
Akhirnya, Bob terpaksa membayar jumlah itu. Namun, kemudian
muncul tagihan untuk bulan berikutnya: Rp 204 ribu, padahal
sejak 10 Juli Bob telah pindah rumah ke Lebak Bulus, dan
rumahnya yang di Tebet dikunci. Karena ia menolak membayar,
telepon itu akhirnya diblokir Perumtel. Mengapa ia tidak
menuntut Perumtel ? "Wah, nanti telepon di rumah saya yang
sekarang juga diblokir. Di Jakarta ini 'kan susah mencari nomor
telepon," kata Bob.
Keluhan para pelanggan telepon yang mengajukan klaim umumnya
sama karena "keanehan". Antara lain: telepon telah dikunci, tapi
jumlah rekening tetap membengkak. Telepon berdering, umumnya di
malam hari, dan waktu diangkat ada yang menanyakan seseorang
yang tak dikenal tapi dengan nomor telepon yang benar. Selain
itu, ada catatan pembicaraan telepon antarkota yang tidak pernah
dilakukan.
Adanya keluhan seperti itu, menurut Dirjen Postel Soekarno
Abdulrachman, wajar. "Namanya saja manusia. Untuk mencapai hasil
100 persen, berarti tak ada pengaduan, tidak mungkin," katanya
pekan lalu. Secara nasional, jumlah pengaduan pelanggan telepon
di Indonesia "kecil", sekitar 0,27% dari 570 ribu lebih pemilik
telepon per bulan. Ini lebih kecil dibanding Australia (0,8%)
atau Jepang (0,4%), meskipun lebih besar dibanding Malaysia
(0,16%).
Kepala Hubungan Masyarakat Perumtel Musyafri Effendy, membagi
tiga keluhan tersebut. Pertama yang karena tidak mengerti dan
ikut curiga terbawa arus opini yang menimbulkan gambaran jelek
pada Perumtel. Kedua, karena kesalahan teknis 2%, dan ketiga,
kesalahan administrasi Perumtel sendiri (98%). "Sebenarnya kalau
didekati dengan kepala dingin, keluhan-keluhan itu akan segera
jelas dan mudah diselesaikan," kata Musyafri. Ternyata setelah
diberi penjelasan, menurut catatan Perumtel, lebih dari 80
persen pelanggan menarik kembali klaimnya.
Agaknya, menyadari perlunya penjelasan, sejak Agustus lalu
Kantor Witel IV Jakarta Raya mengadakan program open house "buka
kantor" guna memberi penjelasan terbuka pada masyarakat. "Open
house ini akan dilakukan sebulan sekali," kata Eem Rachmat,
kepala Witel IV.
Namun, benarkah manipulasi pulsa memang tidak ada? Tuduhan yang
paling santer selama ini adalah: dengan imbalan tertentu petugas
Perumtel mengalihkan atau membebaskan pulsa seorang pelanggan ke
pelanggan lainnya. Caranya, dengan mengaitkan kawat pelanggan
tersebut (crossing), misalnya, di titik pembagi (distribution
point) atau rumah kabel tempat bermuaranya beberapa titik
pembagi. Secara teknis hal ini mungkin, dan kedua tempat ini
memang dianggap titik rawan dalam sambungan telepon di
Indonesia. (Lihat Numpang Bicara ....).
Musyafri Effendy tidak mengesampingkan kemungkinan orang
melakukan percakapan interlokal dengan mengaitkan kawat pada
titik pembagi. "Tapi apa pantas seorang penelepon memanjat tiang
telepon hanya untuk interlokal?," tanyanya.
Tentu tak pantas. Tapi memang si penelepon tak perlu bersusah
payah memanjat tiang telepon. Seorang "oknum" petugas bisa
melakukannya. Dan titik pembagi yang umumnya berbentuk kotak
tersebut tak selamanya terpancang tinggi. Ada memang yang letak
ketinggiannya 4 meter, tapi banyak yang cuma 1,5 meter. Menurut
pengamatan TEMPO pekan lalu, di Jakarta sebagian besar kotak itu
tidak terkunci, ada yang cuma dicanteli kawat atau malahan
terbuka sama sekali.
Siapa saja, tentunya, bisa memanfaatkan jasa sang oknum
tersebut. Beberapa pelanggan telepon yang diwawancarai TEMPO
mengaku pernah menerima tawaran seperti itu dan sempat
memanfaatkannya.
Dan ternyata dalam rekening mereka kemudian, pembicaraan
tersebut -- umumnya antarkota atau antarnegara -- tak tercantum.
Wartawati TEMPO Bunga Surawijaya yang pekan lalu mengunjungi
kantor Subdmas Pemasaran Witel IV di Jalan Kramat Raya, Jakarta
Pusat, mendapat berbagai tawaran dari beberapa petugas: mulai
dari pemasangan telepon di daerah "sulit" Menteng (tarif
permintaan Rp 1,5 juta, sedang biaya resmi cuma Rp 200 ribu,
"karena mesti dibagi delapan"), sambungan paralel dengan
tetangga. ("Saya bisa usahakan izinnya"), sampai mencantol
telepon pelanggan lain untuk sementara. Seorang petugas malahan
menjanjikan akan bisa mencantolkan ke dua atau tiga nomor
telepon "agar tak gampang dicurigai".
Cara terakhir ini agaknya yang sering dilakukan. Menurut seorang
petugas Perumtel di Surabaya, yang banyak melakukan manipulasi
pulsa umumnya perusahaan atau pribadi yang sering melakukan
percakapan telepon interlokal. Untuk menekan rendah rekeningnya,
mereka bekerja sama dengan orang Perumtel agar pulsa teleponnya
dibebankan pada beberapa nomor pelanggan lain.
"Orang dalam Perumtel umumnya punya langganan perusahaan besar,"
cerita sumber TEMPO itu. Menurut dia, bukan cuma perusahaan
swasta yang melakukan manipulasi ini. Instansi pemerintah ada
juga yang melakukannya.
Menghindari pembayaran telepon interlokal bisa juga dilakukan
dengan "menumpang" pada telepon yang tidak dikunci, umumnya pada
instansi pemerintah -- termasuk di kantor Perumtel dengan
imbalan tertentu. Akibatnya, tentu saja, rekening telepon
instansi tersebut melangit.
Salah satu contoh terjadi di Medan. Kodak II Sum-Ut, R.S.
Pirngadi, dan bahkan Kantor Telepon Medan sendiri pernah kaget
karena rekening telepon yang melebihi Rp 1 juta sebulan. Melalui
penelitian, diketahui pembicaraan telepon di ketiga instansi ini
kebanyakan terjadi di malam hari. Setelah dijebak, ketahuan
bahwa petugas piket di Kodak II sering memberi kesempatan kepada
orang luar menggunakan telepon untuk perhubungan antarkota
dengan imbalan Rp 5 sampai Rp 10 ribu. "Pertengahan tahun ini,
ada 17 anggota Hansip di kantor ini yang dipecat gara-gara kasus
serupa," kata seorang petugas di Kantor Telepon Medan.
Jadi, bagaimanakah upaya terbaik konsumen untuk melindungi diri
dari kemungkinan manipulasi telepon? Penggunaan berbagai
peralatan pengaman, seperti kunci telepon, pemasangan gembok
atau kotak telepon, jelas tak berdaya bila manipulasi di lakukan
petugas di titik pembagi atau rumah kabel.
Alat pencatat pulsa? Ini pun bisa ditembus, karena yang jadi
pegangan Perumtel adalah catatan pulsa yang ada di kantor
telepon. Lebih lagi, menurut Perumtel, sampai saat ini belum ada
alat pencatat pulsa atau alat pengaman interlokal yang
dilegalisasi oleh Perumtel.
Langganan telepon di Indonesia secara yuridis memang berada di
pihak yang lebih lemah. Pasal 10 ayat 5 Ketentuan-Ketentuan
Pokok Penyelenggaraan Jasa Telepon, misalnya, memberi kekuasaan
mutlak pada Perumtel: "langganan wajib menerima tanpa syarat
hasil pencatatan alat penghitung percakapan atau perekam
percakapan Perumtel."
Toh banyak pelanggan yakin manipulasi pulsa bisa dihilangkan
bila di semua pesawat telepon dipasang alat pencatat pulsa
otomatis seperti meteran listrik atau air. Dengan adanya alat
itu, jumlah pulsa tercatat rapi dan jelas, dan bisa dibandingkan
dengan catatan di Perumtel.
Namun, jangan terlalu berharap. Bisa dipastikan alat pencatat
pulsa seperti itu tak mungkin dipasang. Alasannya, seperti
dikatakan Dirjen Postel S. Abdulrachman, karena tidak sesuai
dengan asas manfaat. "Alat itu dipandang belum bermanfaat
dioperasikan sekarang," kata seorang staf Dirjen Postel. Jumlah
pengadu yang cuma 0,27% dari keseluruhan pemilik telepon sangat
kecil, sedang biaya pemasangan alat tersebut sangat besar.
Agar catatan pulsa sama, antara telepon pelanggan dan Perumtel
harus dipasang satu kabel lain. Untuk memasangnya, diperkirakan
akan diperlukan biaya sekitar 40% dari seluruh biaya yang sudah
dikeluarkan. "Jadi, untuk menanggapi hal yang kecil itu, masak
kita harus mengorbankan pekerjaan lain yang juga membutuhkan
dana."
Bagaimana dengan alat pencatat pulsa tanpa kabel tambahan? Ini
juga ditolak, karena dianggap tak cukup kuat dijadikan bukti
jika terjadi perbedaan catatan pulsa antara pelanggan dan
Perumtel. "Apa pun kata orang Telkom akan jalan terus ... mereka
boleh mengeluh, tapi mereka juga akan sadarkan bahwa semua
tagihan yang dikeluarkan Perumtel berdasarkan pemakaian yang
mereka lakukan," kata Dirjen Abdulrachman.
Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi A. Tahir sendiri
tampaknya lebih lapang dada dan bisa menerima kemungkinan adanya
manipulasi pulsa telepon. Ia telah meminta Irjen Seno Hartono
turun ke lapangan untuk mengadakan pemeriksaan. "Mudah-mudahan
dapat segera ditemukan di mana rahasia permainannya," ujar Tahir
pada pers awal bulan ini.
Dan Letjen (pur) Seno Hartono, bekas danjen Kopassandha itu,
bertindak cepat. Makin banyaknya keluhan masyarakat terhadap
kemungkinan manipulasi telepon dianggapnya "menginjak
kepalanya". "Kalau kasus ini sampai membengkak, itu namanya
irjennya tidur," katanya lantang pekan lalu, sehari sebelum ia
pergi menunaikan ibadat haji. Sejak Juni ia telah turun ke
lapangan. Untuk menangani kasus ini, telah dibentuknya Tim
Operasi Khusus Pulsa. Tim ini akan mulai bergerak bulan depan.
Langkah pertama Seno adalah meminta agar semua titik pembagi
telepon (distribution point) dikunci. "Sistem tentara juga akan
saya terapkan," ujarnya. Tiap beberapa DP akan ditunjuk
penanggung jawabnya. Begitu juga rumah kabel. "Dengan begitu,
mudah diketahui siapa penanggung jawab sektor yang kacau.
Tinggal dijewer saja kupingnya. Kalau seorang pegawai dikabarkan
banyak menerima sogokan, gampang saja. Lihat saja rumahnya,
bagaimana penghidupannya," ujar Seno.
Jarang orang mendengar suara seperti suara Seno Hartono ini.
Jika ternyata ia berhasil nanti, dan para pelanggan telepon tak
merasa kaget-kaget lagi membaca rekening, Indonesia boleh
berbangga.
Sebab, sebuah departemen yang mengurusi suatu usaha pelayanan
umum akan bisa membuktikan bahwa biarpun pegang monopoli, sebuah
perusahaan milik negara tidah bekerja secara serampangan.
Artinya, tidah menggampangkan pendapat para pelanggar --
termasuk kalangan pemerintah. Bagi Perumtel sendiri -- yang 87%
pendapatannya datang dari telepon -- ada bahan untuk menilai
prestasi para pejabatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini