Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Korupsi di telepon liku-liku pulsa palsu

Manipulasi pulsa telepon ramai dibicarakan. para pelanggan mengeluh. diduga ada keterlibatan oknum perumtel. tim operasi khusus pulsa dibentuk. (nas)

17 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGITU keluar dari Ruang Pengaduan Klaim Pulsa Kantor Witel (Wilayah Usaha Telekomunikasi) Khusus Jakarta Raya, di Jalan S. Parman, Djuri dan Djasman menyumpah-nyumpah. "Semua keterangan kami ditolak. Kami diharuskan membayar, boleh dicicil tapi cuma tiga bulan," kata kakak beradik itu kemudian. Pagi itu untuk kedua kalinya mereka datang ke kantor itu guna mengajukan keberatan atas tagihan rekening sebesar Rp 106.000 (untuk Juli) dan lebih dari Rp 200.000 (untuk Agustus), atas telepon pribadi di rumah mereka di Pademangan, Jakarta Utara. Biasanya mereka membayar Rp 20 sampai Rp 50 ribu per bulan. "Tiba-tiba saja setelah telepon rusak dua minggu, tagihannya meloncat. Padahal, telepon kami pakai secara terbatas," ujar Djasman, 29 tahun, sang kakak. Bukan cuma Djuri dan Djasman saja yang kesal. Belakangan ini barisan pelanggan telepon yang mengajukan keluhan semakin banyak. Di Kantor Telepon Medan, misalnya, sampai Mei lalu jumlah keluhan pelanggan rata-rata sekitar 80 sebulan. Sejak Juni, jumlah keluhan naik sampai lebih dari 100 per bulan. "Pelanggan yang datang kemari menyatakan bahwa mereka terdorong oleh seruan Pengacara Kaligis," kata M. Amin, kepala Subseksi Bagian Pulsa Kantor Telepon Medan. Di kantornya yang terletak di Jalan Majapahit, Jakarta Pusat, Pengacara O.C. Kaliis pekan lalu menggebu-gebu. Ia tidak menduga seruannya akan punya gema dan mendapat sambutan luas: membuka bantuan hukum cuma-cuma buat pelanggan telepon yang merasa dirugikan Perumtel. Gagasan Kaligis muncul setelah kasus yang menimpanya. Maret lalu, Kaligis kaget ketika mendapat tagihan telepon sebesar lebih dari Rp 300 ribu. Tagihan itu, menurut Kantor Witel IV (Jakarta Raya), adalah biaya pembicaraan melalui telepon nomor 414192 di rumah Kaligis, yang terdaftar atas nama istrinya, Ny. Telly Kaligis. Karena biasanya rekeningnya cuma sekitar Rp 100 ribu per bulan, Kaligis mengajukan klaim ke Witel IV, serta menanyakan jumlah dan perincian pulsa telepon yang dipakainya selama bulan sebelumnya. Jawaban yang diperolehnya tidak memuaskan. "Mereka hanya mengatakan komputer pencatat pulsa Perumtel memang menentukan jumlah sekian. Itu 'kan tak cukup," tuturnya. Ia menduga, ada oknum Perumtel yang mengalihkan pulsa konsumen lain ke teleponnya, dengan imbalan. Padahal, telepon kantornya yang dipakai sepuluh kali lebih banyak cuma ditagih rata-rata Rp 125 ribu sebulan. Pengacara ini makin berang ketika bulan berikutnya tagihan teleponnya mendekati angka Rp 360 ribu. Telepon di rumahnya ia kunci. Namun, tagihan bulan berikutnya tetap sebesar itu. Ia tak sabar lagi. Apalagi ketika teleponnya hidup-mati. Ditulisnya surat pembaca di beberapa koran menawarkan bantuan hukum gratis kepada masyarakat yang merasa tagihan teleponnya terlalu tinggi. Ia berjanji akan menggugat kantor telepon ke pengadilan untuk meminta ganti rugi atas penyelewengan itu. Tawaran Kaligis ternyata dapat sambutan. Lebih dari 100 pelanggan mengadu kepadanya. Maka, mewakili beberapa klien itu pada 24 Juni lalu Kaligis mengajukan gugatan perdata terhadap Perumtel Witel IV. Para penggugat yang terdiri dari empat orang, menurut Kaligis, diblokir teleponnya oleh Witel IV karena menolak membayar rekening yang mereka anggap tidak wajar. John Jaya, salah seorang penggugat, mengaku tak pernah berpikir untuk menuntut ke pengadilan seandainya Kaligis tak membuka bantuan gratis. Ia kesal karena jawaban Perumtel terhadap klaim pulsa teleponnya selalu disertai kalimat "telah sesuai dengan catatan komputer." Ia tak begitu optimistis gugatannya akan menang di pengadilan. "Tetapi dengan cuma mengeluh ke Telkom saja, saya tak akan mendapat apa-apa. Saya tak bersalah. Mereka sewenang-wenang kepada saya," kata John berapi-api. Gugatan dan tuduhan Kaligis itu rupanya menggusarkan Perumtel. "Itu jelas fitnah dan tuduhan yang tak masuk di akal" kata Direktur Utama Perumtel Willy Munandir dengan sengit. "Orang Perumtel tak akan sejahat itu. Tidak mungkin orang bisa mengambil keuntungan dengan cara memampulasi data. Apa sih keuntungannya? Toh semua pembayaran rekening masuk ke kas negara," sambungnya. Pekan lalu Perumtel tak ayal mengeluarkan siaran pers. Meski tak menyebut nama Kaligis, siaran itu menyebut tuduhan adanya pungli itu "sangat tendensius" dan merupakan "penghinaan terhadap aparat pemerintah dan merongrong kewibawaan pemerintah yang tidak dapat dibiarkan." Kaligis bisa saja dituduh "merongrong kewibawaan pemerintah", tapi kecurigaan terhadap adanya manipulasi pulsa belakangan ini memang makin menebal. Hampir tiap hari koran-koran memuat surat pembaca yang menuduh adanya manipulasi pulsa telepon. Jumlah klaim (pengaduan) pulsa telepon yang tercatat di Jakarta, misalnya, juga melonjak. Bila pada Januari dan Februari tahun ini masih berkisar di sekitar 500, sampai Juli sekitar 800 buah. Kasus yang diajukan beberapa pelanggan memang ada yang unik. Misalnya yang dialami Piet Slamet, 50 tahun, seorang wiraswastawan yang tinggal di daerah Kayumanis, Jakarta Timur. Juni lalu ia menerima balasan pihak Witel IV atas klaim yang diajukannya. Di situ antara lain disebutkan bahwa pesawat telepon Piet dipakai untuk menelepon suatu nomor di Semarang. Merasa tak pernah menelepon ke nomor itu, Piet protes ke Seksi Pelayanan Pengaduan Telepon di Kantor Telepon, Jalan Merdeka Selatan. Pejabat yang menerimanya menawarkan diri untuk menghubungi nomor itu dengan telepon yang ada di mejanya. Si penerima telepon mengaku bernama "Lucy", sedang nama si pemilik telepon adalah Bapak Wing. Lucy mengaku sering menerima telepon dari Jakarta, dari seorang anggota DPR. Dari PT Elnusa, perusahaan yang menerbitkan buku petunjuk telepon, Piet mendapat informasi bahwa pemakai nomor telepon di Semarang adalah sebuah perusahaan bersama-sama dengan Wing Winoto. Piet segera mengirim surat ke Wing Winoto untuk menanyakan benarkah pernah menerima telepon dari dirinya, serta apakah salah satu penghuni rumah itu ada yang bernama Lucy. Jawaban yang diterima Piet mengagetkannya. Ny. Wing Winoto menulis bahwa suaminya telah meninggal 16 tahun yang lalu. Nama Lucy juga tak dikenal. Ny. Wing menduga ada orang jahil yang memakai nomor telepon Piet, karena tak seorang pun di rumahnya yang pernah mengenal, apalagi berbicara lewat telepon dengan Piet. Peristiwa ini mendorong Piet mengadukan kasusnya pada O.C. Kaligis. Tidak semua pelanggan berani bertindak tegas menuntut Perumtel ke pengadilan. Bahkan penegak hukum sekalipun. Contohnya Bob RE. Nasution, kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Pada 20 Mei 1983 Bob memasang telepon di rumahnya, Tebet, Jakarta Selatan. Sebulan kemudian muncul tagihan: Rp 196 ribu. "Padahal, di rumah saya tidak ada yang suka main telepon," kata Bob. Ia mengajukan klaim ke Perumtel. Sebagai balasan, pihak Telkom mengirim perincian penggunaan pulsa. Di situ tercantum pembicaraan telepon ke Padang, Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya. "Meskipun saya bilang tidak pernah menelepon ke nomor-nomor itu, rekening saya tidak diturunkan," tutur Bob. Akhirnya, Bob terpaksa membayar jumlah itu. Namun, kemudian muncul tagihan untuk bulan berikutnya: Rp 204 ribu, padahal sejak 10 Juli Bob telah pindah rumah ke Lebak Bulus, dan rumahnya yang di Tebet dikunci. Karena ia menolak membayar, telepon itu akhirnya diblokir Perumtel. Mengapa ia tidak menuntut Perumtel ? "Wah, nanti telepon di rumah saya yang sekarang juga diblokir. Di Jakarta ini 'kan susah mencari nomor telepon," kata Bob. Keluhan para pelanggan telepon yang mengajukan klaim umumnya sama karena "keanehan". Antara lain: telepon telah dikunci, tapi jumlah rekening tetap membengkak. Telepon berdering, umumnya di malam hari, dan waktu diangkat ada yang menanyakan seseorang yang tak dikenal tapi dengan nomor telepon yang benar. Selain itu, ada catatan pembicaraan telepon antarkota yang tidak pernah dilakukan. Adanya keluhan seperti itu, menurut Dirjen Postel Soekarno Abdulrachman, wajar. "Namanya saja manusia. Untuk mencapai hasil 100 persen, berarti tak ada pengaduan, tidak mungkin," katanya pekan lalu. Secara nasional, jumlah pengaduan pelanggan telepon di Indonesia "kecil", sekitar 0,27% dari 570 ribu lebih pemilik telepon per bulan. Ini lebih kecil dibanding Australia (0,8%) atau Jepang (0,4%), meskipun lebih besar dibanding Malaysia (0,16%). Kepala Hubungan Masyarakat Perumtel Musyafri Effendy, membagi tiga keluhan tersebut. Pertama yang karena tidak mengerti dan ikut curiga terbawa arus opini yang menimbulkan gambaran jelek pada Perumtel. Kedua, karena kesalahan teknis 2%, dan ketiga, kesalahan administrasi Perumtel sendiri (98%). "Sebenarnya kalau didekati dengan kepala dingin, keluhan-keluhan itu akan segera jelas dan mudah diselesaikan," kata Musyafri. Ternyata setelah diberi penjelasan, menurut catatan Perumtel, lebih dari 80 persen pelanggan menarik kembali klaimnya. Agaknya, menyadari perlunya penjelasan, sejak Agustus lalu Kantor Witel IV Jakarta Raya mengadakan program open house "buka kantor" guna memberi penjelasan terbuka pada masyarakat. "Open house ini akan dilakukan sebulan sekali," kata Eem Rachmat, kepala Witel IV. Namun, benarkah manipulasi pulsa memang tidak ada? Tuduhan yang paling santer selama ini adalah: dengan imbalan tertentu petugas Perumtel mengalihkan atau membebaskan pulsa seorang pelanggan ke pelanggan lainnya. Caranya, dengan mengaitkan kawat pelanggan tersebut (crossing), misalnya, di titik pembagi (distribution point) atau rumah kabel tempat bermuaranya beberapa titik pembagi. Secara teknis hal ini mungkin, dan kedua tempat ini memang dianggap titik rawan dalam sambungan telepon di Indonesia. (Lihat Numpang Bicara ....). Musyafri Effendy tidak mengesampingkan kemungkinan orang melakukan percakapan interlokal dengan mengaitkan kawat pada titik pembagi. "Tapi apa pantas seorang penelepon memanjat tiang telepon hanya untuk interlokal?," tanyanya. Tentu tak pantas. Tapi memang si penelepon tak perlu bersusah payah memanjat tiang telepon. Seorang "oknum" petugas bisa melakukannya. Dan titik pembagi yang umumnya berbentuk kotak tersebut tak selamanya terpancang tinggi. Ada memang yang letak ketinggiannya 4 meter, tapi banyak yang cuma 1,5 meter. Menurut pengamatan TEMPO pekan lalu, di Jakarta sebagian besar kotak itu tidak terkunci, ada yang cuma dicanteli kawat atau malahan terbuka sama sekali. Siapa saja, tentunya, bisa memanfaatkan jasa sang oknum tersebut. Beberapa pelanggan telepon yang diwawancarai TEMPO mengaku pernah menerima tawaran seperti itu dan sempat memanfaatkannya. Dan ternyata dalam rekening mereka kemudian, pembicaraan tersebut -- umumnya antarkota atau antarnegara -- tak tercantum. Wartawati TEMPO Bunga Surawijaya yang pekan lalu mengunjungi kantor Subdmas Pemasaran Witel IV di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, mendapat berbagai tawaran dari beberapa petugas: mulai dari pemasangan telepon di daerah "sulit" Menteng (tarif permintaan Rp 1,5 juta, sedang biaya resmi cuma Rp 200 ribu, "karena mesti dibagi delapan"), sambungan paralel dengan tetangga. ("Saya bisa usahakan izinnya"), sampai mencantol telepon pelanggan lain untuk sementara. Seorang petugas malahan menjanjikan akan bisa mencantolkan ke dua atau tiga nomor telepon "agar tak gampang dicurigai". Cara terakhir ini agaknya yang sering dilakukan. Menurut seorang petugas Perumtel di Surabaya, yang banyak melakukan manipulasi pulsa umumnya perusahaan atau pribadi yang sering melakukan percakapan telepon interlokal. Untuk menekan rendah rekeningnya, mereka bekerja sama dengan orang Perumtel agar pulsa teleponnya dibebankan pada beberapa nomor pelanggan lain. "Orang dalam Perumtel umumnya punya langganan perusahaan besar," cerita sumber TEMPO itu. Menurut dia, bukan cuma perusahaan swasta yang melakukan manipulasi ini. Instansi pemerintah ada juga yang melakukannya. Menghindari pembayaran telepon interlokal bisa juga dilakukan dengan "menumpang" pada telepon yang tidak dikunci, umumnya pada instansi pemerintah -- termasuk di kantor Perumtel dengan imbalan tertentu. Akibatnya, tentu saja, rekening telepon instansi tersebut melangit. Salah satu contoh terjadi di Medan. Kodak II Sum-Ut, R.S. Pirngadi, dan bahkan Kantor Telepon Medan sendiri pernah kaget karena rekening telepon yang melebihi Rp 1 juta sebulan. Melalui penelitian, diketahui pembicaraan telepon di ketiga instansi ini kebanyakan terjadi di malam hari. Setelah dijebak, ketahuan bahwa petugas piket di Kodak II sering memberi kesempatan kepada orang luar menggunakan telepon untuk perhubungan antarkota dengan imbalan Rp 5 sampai Rp 10 ribu. "Pertengahan tahun ini, ada 17 anggota Hansip di kantor ini yang dipecat gara-gara kasus serupa," kata seorang petugas di Kantor Telepon Medan. Jadi, bagaimanakah upaya terbaik konsumen untuk melindungi diri dari kemungkinan manipulasi telepon? Penggunaan berbagai peralatan pengaman, seperti kunci telepon, pemasangan gembok atau kotak telepon, jelas tak berdaya bila manipulasi di lakukan petugas di titik pembagi atau rumah kabel. Alat pencatat pulsa? Ini pun bisa ditembus, karena yang jadi pegangan Perumtel adalah catatan pulsa yang ada di kantor telepon. Lebih lagi, menurut Perumtel, sampai saat ini belum ada alat pencatat pulsa atau alat pengaman interlokal yang dilegalisasi oleh Perumtel. Langganan telepon di Indonesia secara yuridis memang berada di pihak yang lebih lemah. Pasal 10 ayat 5 Ketentuan-Ketentuan Pokok Penyelenggaraan Jasa Telepon, misalnya, memberi kekuasaan mutlak pada Perumtel: "langganan wajib menerima tanpa syarat hasil pencatatan alat penghitung percakapan atau perekam percakapan Perumtel." Toh banyak pelanggan yakin manipulasi pulsa bisa dihilangkan bila di semua pesawat telepon dipasang alat pencatat pulsa otomatis seperti meteran listrik atau air. Dengan adanya alat itu, jumlah pulsa tercatat rapi dan jelas, dan bisa dibandingkan dengan catatan di Perumtel. Namun, jangan terlalu berharap. Bisa dipastikan alat pencatat pulsa seperti itu tak mungkin dipasang. Alasannya, seperti dikatakan Dirjen Postel S. Abdulrachman, karena tidak sesuai dengan asas manfaat. "Alat itu dipandang belum bermanfaat dioperasikan sekarang," kata seorang staf Dirjen Postel. Jumlah pengadu yang cuma 0,27% dari keseluruhan pemilik telepon sangat kecil, sedang biaya pemasangan alat tersebut sangat besar. Agar catatan pulsa sama, antara telepon pelanggan dan Perumtel harus dipasang satu kabel lain. Untuk memasangnya, diperkirakan akan diperlukan biaya sekitar 40% dari seluruh biaya yang sudah dikeluarkan. "Jadi, untuk menanggapi hal yang kecil itu, masak kita harus mengorbankan pekerjaan lain yang juga membutuhkan dana." Bagaimana dengan alat pencatat pulsa tanpa kabel tambahan? Ini juga ditolak, karena dianggap tak cukup kuat dijadikan bukti jika terjadi perbedaan catatan pulsa antara pelanggan dan Perumtel. "Apa pun kata orang Telkom akan jalan terus ... mereka boleh mengeluh, tapi mereka juga akan sadarkan bahwa semua tagihan yang dikeluarkan Perumtel berdasarkan pemakaian yang mereka lakukan," kata Dirjen Abdulrachman. Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi A. Tahir sendiri tampaknya lebih lapang dada dan bisa menerima kemungkinan adanya manipulasi pulsa telepon. Ia telah meminta Irjen Seno Hartono turun ke lapangan untuk mengadakan pemeriksaan. "Mudah-mudahan dapat segera ditemukan di mana rahasia permainannya," ujar Tahir pada pers awal bulan ini. Dan Letjen (pur) Seno Hartono, bekas danjen Kopassandha itu, bertindak cepat. Makin banyaknya keluhan masyarakat terhadap kemungkinan manipulasi telepon dianggapnya "menginjak kepalanya". "Kalau kasus ini sampai membengkak, itu namanya irjennya tidur," katanya lantang pekan lalu, sehari sebelum ia pergi menunaikan ibadat haji. Sejak Juni ia telah turun ke lapangan. Untuk menangani kasus ini, telah dibentuknya Tim Operasi Khusus Pulsa. Tim ini akan mulai bergerak bulan depan. Langkah pertama Seno adalah meminta agar semua titik pembagi telepon (distribution point) dikunci. "Sistem tentara juga akan saya terapkan," ujarnya. Tiap beberapa DP akan ditunjuk penanggung jawabnya. Begitu juga rumah kabel. "Dengan begitu, mudah diketahui siapa penanggung jawab sektor yang kacau. Tinggal dijewer saja kupingnya. Kalau seorang pegawai dikabarkan banyak menerima sogokan, gampang saja. Lihat saja rumahnya, bagaimana penghidupannya," ujar Seno. Jarang orang mendengar suara seperti suara Seno Hartono ini. Jika ternyata ia berhasil nanti, dan para pelanggan telepon tak merasa kaget-kaget lagi membaca rekening, Indonesia boleh berbangga. Sebab, sebuah departemen yang mengurusi suatu usaha pelayanan umum akan bisa membuktikan bahwa biarpun pegang monopoli, sebuah perusahaan milik negara tidah bekerja secara serampangan. Artinya, tidah menggampangkan pendapat para pelanggar -- termasuk kalangan pemerintah. Bagi Perumtel sendiri -- yang 87% pendapatannya datang dari telepon -- ada bahan untuk menilai prestasi para pejabatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus