SAY it with flower. Dan para petani kembang di banyak negara Eropa Barat menjadi mapan. Orang-orang membeli seikat kembang buat wakuncar, wakunnek, wakunco, wakunboss, atau ketika mcngundang dinner kolega bisnis, sebagai bonus sesudah tepuk tangan bagi sebuah pertunjukan, atau apa pun. Say it with flower. Jangan kembang plastik: meskipun awet, palsu. Persembahkan kembang asli yang layu sesudah tiga hari. Cinta, simpati, bahagia, kembang berbunga-bunga. Dan berpuluh beratus ladang bersolek, berpesta warna, biru, merah, kuning, jingga. Seolah Tuhan sendiri mengguratkan lukisan grafis di kanvas raksasa. Kita, di tanah air, biasa menaburkan kembang di nisan kubur. Tapi bolehlah - supaya being more civilized, begitu orang Eropa mengajari bangsa-bangsa pasca primitif - kita juga membawa untaian kembang ketika berangkat pacaran atau sowan ke rumah atasan. Bahkan tak sedikit orang yang tak bahagia nasibnya ikut menjajakan kembang kebahagiaan. Kalau Anda kebetulan ditraktir kawan di kafe atau restoran, akan datang kepada Anda pengecer kembang. Kalau Anda ada bakat sentimental, Anda akan terharu. Anda akan membeli, untuk berbagi ketidak bahagiaan, agar sang pengecer bisa memperoleh laba lebih banyak daripada sekadar harga sebungkus Marlboro dalam jualan sehari penuh. Kemudian Anda pulang ke rumah dengan sejumput rasa bahagia karena telah menjadi seorang dermawan. Atau bisa jadi Anda iseng-iseng pengin jadi pemberontak politik seperti mereka: diusir dari negeri sendiri, memperjuangkan suaka politik di negeri juragan, dengan nasib ekonomis yang montagdonnerstag (senen-kemis), mendapat kartu - seperti kethak antre beras dan minyak di zaman Orla - seharga 10 DM. Silakan beli apa saja, asal bukan alkohol dan rokok. Kalau harga belanjaan 11 DM, mesti tambah 1 DM. Kalau belanjaan 9 DM, yang 1 DM hilang. Kasir cemberut meladeni Anda, dan para pembeli lain akan menggerundelkan suatu klise: "Ini orang dari negara bangsa pemalas menggerogoti pajak kita." Toh nasib Anda masih lebih nyaman dibanding para penner, misalnya pelarian dari Jerman Timur, yang minggat dari negara kiri untuk hanya menjadi kere. Menyongsong setiap orang di jalan, dengan alasan seribu macam mohon dikasih 20 atau 30 sen, syukur 1.000 DM. Makan sisa orang, melungker di stasiun bawah tanah berlindung dari udara minus. Atau duduk bersila di emper toko, dengan "papan pengumuman" bahwa ia gelandangan, dalam kertas yang ditulisi dengan bahasa Jerman, Inggris, Prancis. Sering ada anggapan bahwa negara-negara selatan khatulistiwa, yang ratusan juta penduduknya miskin ataupun dimiskinkan, tak lain semacam penner emperan yang dikasih bantuan duit begitu banyak oleh negeri kaya. Dan tentulah para pembeli di supermarket misuh-misuh kepada pengecer kembang ber-kethak 10 DM karena mereka dibikin tak pernah bimbang terhadap kata "bantuan" itu. "Sudah dikasih derma segitu banyak kok masih 'ngemis juga di sini." Tak mungkin Anda melanggar kesopanan politik dengan mengemukakan bahwa bantuan dan bantuan ada bedanya. Dengan lugu orang-orang itu mengharapkan, hendaknya bangsa Asia, umpamanya, kini mampu lebih progresif dan produktif. "Orang Asia, kccuali Jepang tentu saja, harus segera merobek tatanan sosial budaya tertentu yang bikin mereka beku dan tertinggal oleh bangsa-bangsa Eropa," kata sebuah konperensi yang berjudul "Abad 21, Abad Asia?", tanpa seorang pun sempat mengingatkan bahwa 3-4 abad kolonialisme sama sekali tidak percuma. Bolehlah kita tinggalkan slogan tentang psikologi neokolonialis, tapi wartawan sebuah koran Zurich itu menulis: "Kita orang Eropa ini sekadar ingin membebaskan diri dari rasa bersalah historis. Gara-gara Hitler, kini Yahudi begitu kita manjakan. Jutaan dolar kita keluarkan untuk membantu negara-negara Dunia Ketiga, agar hati merasa aman, seperti ribuan penduduk yang mcngirimkan uang 50 DM sehabis nonton tv tentang kelaparan Sudan, kemudian tidur tenang karena merasa telah membayar utang. Tapi kita tidak sungguh-sungguh berorientasi kepada penyelesaian masalah yang menyeluruh, misalnya dengan mempertaruhkan suatu perjuangan mengubah tata internasional. Kita berhenti pada memberi uang, mendiskusikan kemiskinan seribu kali per tahun, atau cukup mengundang satu dua tokoh negeri berkembang untuk asyik ngobrol tentang kemelaratan, dan dengan partisipasi itu kita sudah merasa aman .... " Tentu saja, bagian-bagian yang seperti itu dicoret oleh kepala editor dari tulisan sang wartawan. Jangan dikira hanya kita doang yang punya pers bebas dan bertanggung jawab, di Eropa juga berlaku kebudayaan gitu ya gitu tapi jangan gitu. Demokrasi itu sendiri sekuntum bunga, berlapis-lapis, berwarna-warni, berselubung-selubung. Dan sang penner, beratus juta penner tak menjadi kenyang dengan memakan untaian kembang. Silakan buktikan, sekarang, bahkan nanti sesudah tahun 2000. Monggo, don't say it with flower!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini