KEJUTAN lagi dalam industri elektronik nasional. Urusan naiknya biaya, akibat pajak pertambahan nilai (10%) dan pajak barang mewah (10%), baru mereka rampungkan. Kini turun SK Menteri Keuangan yang menetapkan kenaikan bea impor bahan baku dari 5% menjadi 30%. Surat keputusan, yang diumumkan sekitar pertengahan bulan lalu, itu terasa sebagai halangan baru bagi pesawat-pesawat, seperti radio dan televisi lokal, untuk bersaing dengan merk impor. Padahal, SK 18 Juni 1985 itu dikeluarkan konon untuk "menunjang pengembangan industri elektronik". Kalangan pengusaha elektronik nasional jadi heran. Kenaikan bea impor barang baku, seperti aluminium, lembaran baja, silikon, dan copper tube, tak merupakan fasilitas yang nikmat. PT National Gobel, misalnya, sudah harus memperhitungkan tambahan biaya produksi. Dari seluruh komponen yang diimpornya, 80% adalah bahan baku yang terkena kenaikan bea masuk tersebut. Wakil presiden direktur PT tersebut, Yamien A. Tahir, merasa heran karena besarnya bea masuk itu disamakan seperti yang berlaku untuk komponen elektronik setengah jadi, seperti speaker. "Bagaimana kami bisa membuat komponen lokal lebih murah bila bahan bakunya saja sudah tinggi?" keluh B. Ichsani dari Gabungan (Pengusaha) Elektronik. Ichsani memperkirakan ketetapan baru tersebut akan menyebabkan harga jual produk-produk elektronik nasional melejit lagi sekitar 10%. Hal tersebut diperhitungkan tentu akan semakin menciutkan kecintaan masyarakat pada elektronik nasional. Pasaran elektronik sekarang ini justru kebanyakan masih disukai yang buatan luar negeri, terutama karena harganya yang relatif lebih murah. Masih lumayan - entah karena kampanye kecintaan akan produk nasional -konsumen kelas menengah atas sudah mulai menyukai elektronik produk nasional. Hal itu tampak dari larisnya produk-produk jenis televisi warna ukuran di atas 20 inci, lemari es, sistem pendingin, dan radio. Mungkin juga karena konsumennya dari kalangan berduit itulah maka bea impor dinaikkan. Kalangan masyarakat berpenghasilan pas-pasan masih lebih memperhatikan kebutuhan primer. Terbukti, kenaikan gaji pegawai negeri sejak April serta panen padi belum berhasil menggelorakan pasaran elektronik. Stok menumpuk di toko-toko. Soalnya, menurut Ichsani, menumpuknya barang di penyalur menyebabkan semakin ciutnya modal kerja industriwan. Mereka terpaksa menjual dengan kredit. Perjanjiannya maksimal dua bulan, kenyataan bisa diperpanjang. "Kalau sudah begitu, bisa dipastikan minimal 15% kami harus korbankan," tutur Ichsani. Misalnya, PT Alfa Intone International, perakit televisi merkmerk ITT, Thomson, dan Nordmende, kabarnya baru kena tipu Rp 300 juta. Masih untung para bankir masih ada yang mau memberikan kredit dengan bunga sekitar 2,25% per bulan. Cukup tinggi, memang - pengusaha di Jepang, konon, bisa mendapatkan kredit dengan bunga 5% per tahun. Dalam keadaan serba terjepit itu, jelas produk-produk nasional tetap akan jual mahal. "Tak mungkin lagi kami menurunkan harga," ujar Yamien. Berbarengan dengan turunnya ketentuan mengenai bea masuk bahan baku elektronik itu, ternyata bea masuk bahan baku untuk industri mobil justru diturunkan. Mengherankan. "Apakah televisi dan radio itu lebih mewah dari mobil?" tanya Ichsani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini