Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIKAP serius tapi santai diperlukan dalam menanggapi pertemuan Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Medan, Sumatera Utara, dua pekan lalu. Serius dalam pengertian kita boleh berharap, boleh pula cemas, terhadap implikasi peristiwa tersebut. Santai dalam pemahaman bahwa politik pada akhirnya adalah permainan. ”Koalisi” Banteng dan Beringin—kalau pertemuan Medan bisa kita sebut begitu—adalah fenomena sesaat yang kelanjutannya hanya bisa dijawab dengan mengutip selarik lagu Sophia Latjuba, ”Kita lihat saja nanti….”
Mereka yang menaruh harapan pada pertemuan Medan akan berkata, ”koalisi” ini, jika bisa dibuat permanen, akan memperjelas ideologi partai. PDIP dan Golkar menjadi duet partai nasionalis dan sisanya, partai Islam atau yang berbau Islam, akan menggumpal dalam koalisi yang lain.
Duet PDIP-Golkar juga akan melahirkan pemerintah yang kuat. Presiden yang disokong oleh kedua partai itu tak akan mudah diganggu DPR. Dalam Pemilu 2004, keduanya mendapatkan 237 kursi legislatif (43,5 persen). Ditambah sedikit dukungan dari partai lain yang ”seideologi”, mereka bisa mendapatkan suara mayoritas.
Dengan modal itu, mereka dapat memperkecil jumlah partai karena aliansi PDIP-Golkar menuntut ditingkatkannya electoral threshold—suara minimal yang diperoleh sebuah partai dalam pemilu agar partai itu bisa ikut pemilu berikutnya. Partai juga tak bisa sembarangan mengusung calon presiden. PDIP, misalnya, berkeras hanya partai atau koalisi partai yang menguasai setidaknya 20 persen kursi DPR yang bisa menyorongkan calon presiden—lima persen lebih tinggi dari yang ditetapkan undang-undang. Yang cemas bukan tak ada. Polarisasi partai nasionalis dan partai agama ditakutkan akan memunculkan konflik ideologis—sesuatu yang berbahaya jika tak dikelola dengan baik.
Pertanyaannya: mungkinkah koalisi permanen PDIP-Golkar itu terjadi? Rasanya sulit. Betul bahwa PDIP dan Golkar sama-sama partai yang dekat dengan cita-cita kaum nasionalis. PDIP lahir dari PDI yang merupakan gabungan dari sejumlah partai politik nasionalis di awal rezim Soeharto. Golkar adalah mesin politik Orde Baru yang dipakai untuk mengebiri partai nasionalis (PDI) dan partai agama (PPP). Dalam hal tidak berafiliasi pada Islam, keduanya memang beririsan.
Tapi, dalam sejarahnya, mereka tak juga setia pada cita-cita ”ideologis” itu. Menyadari bahwa pemilih Islam bisa dirangkul, Maret lalu PDIP mendirikan sayap Islam bernama Baitul Muslimin Indonesia. PDIP pulalah yang menjadi penyokong disusunnya rancangan peraturan daerah berbasis Injil di Manokwari, Papua, belum lama ini. Golkar idem ditto. Di sejumlah kabupaten dan kota, partai ini justru menjadi penyokong disahkannya peraturan bernuansa syariat Islam.
Sejarah juga menunjukkan bahwa kedua partai itu kerap kawin-cerai karena kepentingan jangka pendek. Pada 1999, misalnya, Golkar bergabung dengan kelompok Poros Tengah untuk mendukung Abdurrahman Wahid sebagai presiden, sementara PDIP mengusung Megawati Soekarnoputri. Dua tahun kemudian, keduanya bersatu untuk menjatuhkan Gus Dur, yang ditengarai terlibat penyelewengan dana Badan Urusan Logistik.
Menjelang Pemilu 2004, Beringin dan Banteng kembali pisah. Golkar menyokong pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid, PDIP mendukung Megawati-Hasyim Muzadi. Ketika Wiranto kalah, Golkar dan PDIP rujuk dengan membentuk Koalisi Kebangsaan. Aliansi itu pun tak berumur panjang. Saat Wakil Presiden Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Umum Golkar, Partai Beringin meninggalkan Koalisi Kebangsaan dan menjadi partai pemerintah.
Kini di Medan keduanya ”rujuk” lagi. Dari pernyataan politikus kedua partai, segera tercium bahwa pemicunya lebih banyak kepentingan jangka pendek. Selain soal electoral threshold tadi, banyak yang meyakini pertemuan Medan sebagai ”sinyal kekecewaan” yang dikirim Golkar kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menjelang perombakan kabinet belum lama ini, Golkar menyorongkan 10 nama calon menteri. Nyatanya, Yudhoyono hanya menyerap satu orang.
Golkar merasa tak lagi dipedulikan oleh Yudhoyono. Apalagi terdengar kabar Presiden kini akrab dengan Akbar Tandjung—bekas Ketua Umum Golkar dan seteru Jusuf Kalla dalam Musyawarah Nasional Golkar di Bali, Desember 2004. Akbar saat ini adalah Ketua Dewan Penasihat Barisan Indonesia—organisasi massa yang dibentuk oleh kalangan dekat Yudhoyono. Motivasi lain ”rujuk Medan”, seperti diakui petinggi PDIP dan Golkar, adalah keinginan kedua partai untuk bergandeng tangan memenangi pemilihan kepala daerah di sejumlah wilayah.
Dengan kata lain, pertemuan Medan lebih banyak diwarnai alasan pragmatis ketimbang cita-cita luhur membangun koalisi permanen. Dalam politik, kawin-cerai itu biasa. Selebihnya, mari serius tapi santai….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo