Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBATANG spidol dan secarik kertas diambil Sunarto dari ”ruang” yang dibentuk dari kain yang dibeberkan di Pasar Baru, Porong, Sidoarjo. Dengan semangat, lelaki 50 tahun ini bersiap menulis sejumlah pertanyaan untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selasa pekan lalu, Sunarto mendengar kabar, SBY akan menemui korban lumpur panas PT Lapindo Brantas di Pasar Baru.
Sehari sebelumnya, Presiden memang melakukan kunjungan mendadak ke Sidoarjo. Rencananya, SBY akan berkantor selama tiga hari di daerah semburan lumpur itu untuk membahas percepatan penyelesaian ganti rugi korban Lapindo. ”Keinginan ke Sidoarjo muncul setelah Presiden menerima 20 orang perwakilan korban lumpur itu,” ujar sumber Tempo di Istana.
Dipimpin budayawan Emha Ainun Nadjib, Ahad pekan lalu, 20 orang pengungsi korban Lapindo menemui SBY di kediamannya di Puri Cikeas, Bogor. Di depan Presiden mereka menumpahkan unek-unek soal ganti rugi yang tidak kunjung cair dan derita yang mereka alami. Salah satu kesulitan yang mereka adukan, soal menguburkan jenazah bila sanak famili mereka meninggal di pengungsian. ”Presiden terharu dan menitikkan air mata mendengar cerita kami,” kata Choirul Huda, salah seorang korban lumpur yang bertemu Presiden.
Tak hanya terharu, menurut sumber itu, Presiden juga marah kepada Lapindo. Saat itu juga SBY memerintahkan stafnya menyiapkan kunjungan ke Sidoarjo. ”Benar-benar mendadak, sehingga tidak ada tim pendahulu,” kata sang sumber.
Menjejakkan kaki di Sidoarjo pada 15.45, SBY langsung menuju Wisma Perwira TNI Angkatan Laut. Di tempat yang hanya berjarak 300 meter dari Bandara Juanda, Presiden dan rombongan menteri menginap dan ”membuka” kantor di wisma Angkatan Laut itu.
Presiden, menurut sumber Tempo itu, memilih menginap di wisma tersebut karena alasan praktis. ”Bukan lantaran takut menghadapi korban yang sewaktu-waktu datang berdemo,” katanya. Sejumlah pasukan keamanan dan sniper ditugasi mengawal ”kantor” SBY itu. Tempo yang menyambangi wisma ini sempat diperingatkan perihal adanya sniper itu.
SEKITAR empat puluh kilometer dari Wisma Perwira, 766 kepala keluarga korban lumpur Lapindo yang mengungsi di Pasar Baru, Porong, telah mendengar berita kedatangan Presiden. Sebagian dari mereka siap bertemu, tapi sebagian lainnya cuek. Nah, pada Selasa itu, Sunarto, yang juga menjadi koordinator pengungsi, berharap dirinya bisa berdialog dengan Presiden.
Hari itu ada yang istimewa di tempat pengungsian. Polres Sidoarjo menggelar lomba karaoke dangdut untuk memperingati Hari Bhayangkara sekaligus menghibur pengungsi. Tiga panggung besar dan sejumlah penyanyi telah disiapkan untuk ”menggoyang” pengungsi. ”Kami sudah lama merencanakan hiburan ini, sedangkan kedatangan Pak SBY kan barusan terjadwal,” ujar Kepala Satuan Lalu Lintas Polres Sidoarjo Ajun Komisaris Polisi Andi Yudianto.
Sebelum menonton lomba karaoke itu, Sunarto dan sepuluh rekannya berkumpul di posko pengungsian. Spidol dan kertas sudah digenggamnya. ”Apa ya enaknya yang ditanyakan ke Presiden?” ujarnya meminta pendapat.
Pertanyaan Sunarto itu membuat sejumlah temannya yang semula asyik membicarakan lomba karaoke dangdut terdiam. ”Ah, percuma nanya, ndak ada gunanya,” kata Sunarto tiba-tiba. Pengungsi asal Desa Renokenongo itu lalu terdiam dan mengisap rokok kreteknya dalam-dalam. ”Iya, percuma nanya, lebih enak lihat karaoke,” jawab Pitanto, rekan Sunarto. Mendengar jawaban Pitanto, spidol dan kertas yang sedianya untuk mencatat pertanyaan untuk Presiden langsung digeletakkan. ”Mending lihat karaoke saja,” kata Sunarto. ”Lagian saya juga diminta menjadi pembawa acara.”
Tiba-tiba terdengar suara menderu. Dua helikopter, salah satunya ditumpangi Presiden, terbang di atas kawasan yang terendam. ”SBY datang! SBY datang!” kata pengungsi berteriak-teriak. Heli itu berputar-putar dua kali sebelum tancap gas lurus kembali ke Juanda.
Sunarto, yang sebelumnya berdiri dan menengadahkan kepalanya ke arah heli, duduk kembali. ”Ini bukti SBY tidak punya solusi. Dia tidak berani berhadapan dengan warga,” katanya. Kertas dan spidol yang semula tergeletak diambilnya kembali. Ia lalu mencorat-coret: ”Kami tidak butuh difoto dari udara, tapi bertemu langsung”, ”Kami butuh percepatan ganti rugi, bukan tetes air mata”. Sunarto mengajak teman-temannya melakukan hal yang sama: menuliskan kekesalan mereka di atas apa saja. Sejumlah pengungsi lantas berteriak-teriak jengkel.
Sunarto lantas berjoget di panggung karaoke. Bersama pengungsi lainnya, ia meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti irama lagu yang dilantunkan seorang penyanyi bercelana ketat.
Kejengkelan ternyata tak hanya ada di Pasar Baru. Korban Lapindo dari Desa Pejarakan, Kedung Cangkring, Besuki, dan Mindi juga merasakan hal yang sama. Marah karena SBY urung datang, mereka memblokade jalan dengan truk pengangkut pasir dan batu.
Presiden, kata sumber Tempo, memang tidak berencana bertemu korban. ”Tidak ada gunanya. Tujuan utama adalah memimpin rapat agar Lapindo segera membayar ganti rugi,” ujarnya. SBY tahu para pengungsi mengharap kedatangannya ke Porong. Tapi ia memilih tidak bertemu karena sudah pernah berkunjung. ”Ada yang mengharap saya ke Porong, tapi ada juga yang berkata ngapain ke Porong lagi,” kata SBY kepada wartawan.
Selama berkantor di Sidoarjo, kegiatan utama Presiden memang hanya rapat. Pada Senin seusai makan malam, Presiden meeting dengan pemerintah daerah dan Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Pada Selasa pagi, bertemu petinggi Lapindo Brantas. Rapat terus berlanjut hingga malam hari. Selingannya, ya mengunjungi Porong dengan helikopter itu. ”Tidak ada istirahat,” kata sumber Tempo.
Selama berkantor di Porong, kabarnya, Presiden selalu tidur di atas pukul 12 malam. Kamar tidurnya berukuran sekitar 3 x 4 meter dengan fasilitas seadanya. Kamar tidur para menteri yang lain juga tak lebih besar dari kamar tidur SBY.
Kesibukan rapat pula yang membuat Presiden dan rombongan tidak sempat menikmati hiburan yang sudah disiapkan. Protokol Istana telah mengontrak dua biduanita untuk menghibur Presiden dan rombongan, dengan honor Rp 5 juta. Apa boleh buat, selama dua malam itu, Melati dan Nia, demikian nama dua penyanyi itu, hanya bengong untuk menunggu instruksi menyanyi yang tak pernah diberikan hingga Presiden meninggalkan Sidoarjo pada Rabu pagi pekan lalu.
Sunariah, Rohman Taufiq (Porong), Sunudyantoro (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo