Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARANGKALI perlu juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sesekali berkantor di luar Jakarta seperti pekan lalu. Selama tiga hari ia bekerja di Wisma Perwira Pangkalan Angkatan Laut di Bandar Udara Juanda, Surabaya. Pilihan lokasi ini bukan tanpa alasan. ”Kantor” itu hanya sekitar 15 kilometer dari pusat semburan lumpur Lapindo. Dalam beberapa menit Presiden sudah melihat langsung kawasan yang tertimbun lumpur, dari udara, dari balik jendela helikopter.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Yudhoyono tidak mengunjungi korban di lokasi penampungan Pasar Porong. Harap maklum, ini mungkin demi menghemat waktu. Banyak agenda lain yang mendesak. Misalnya mencari jawaban tentang seretnya pembayaran uang muka ganti rugi—sebesar 20 persen total kerugian. Sampai waktu kunjungan Presiden itu, PT Lapindo Brantas, anak usaha Grup Bakrie, baru membayar untuk empat persen bidang tanah yang terkubur lumpur.
Yudhoyono minta ganti rugi dipercepat, tapi hanya dengan ”mengimbau” Lapindo menepati jadwal rasanya tidak cukup. Pengalaman sebelumnya menunjukkan itu. Dalam sebelas minggu, sejak akhir Maret, baru 522 surat tanah yang dinyatakan lengkap. Itu pun belum semua pemiliknya menerima ganti rugi dari Lapindo. Dengan acuan itu, sulit membayangkan verifikasi dan pembayaran uang muka bagi 13 ribu surat tanah akan selesai pada 14 September seperti instruksi Yudhoyono. Seribu surat tanah harus beres dalam seminggu rasanya terlalu berat.
Katakanlah proses administrasi lebih lancar, lalu siapa bisa menjamin Lapindo tepat waktu menyediakan Rp 100 miliar setiap minggu? Singkatnya, selama belum ada terobosan berarti, agaknya target penyelesaian uang muka akan molor lagi. Kalau benar, ini untuk kesekian kalinya janji pemerintah dan Lapindo meleset. April lalu, ketika menerima korban lumpur, Presiden Yudhoyono menjanjikan penyelesaian uang muka secepatnya. Hampir dua bulan berlalu, janji itu ternyata belum ditepati.
Agar tak disangka mudah cedera janji, pemerintah harus mengambil kebijakan drastis. Ganti rugi, pengurusan dokumen tanah, semuanya harus dilakukan pemerintah. Dana talangan perlu disiapkan dari kas negara. Sebab, korban lumpur sudah setahun terkatung-katung. Menunggu Lapindo bekerja—dengan kapasitasnya yang terbatas—hanya menambah derita korban. Rakyat harus mendapatkan kembali kehidupan normalnya. Mereka perlu kembali menghuni rumah yang layak, anak-anaknya mendapat pendidikan yang pantas, dan mereka memperoleh fasilitas kesehatan yang memadai. Semua kebutuhan ini sudah sangat mendesak, mengingat kondisi buruk di tempat penampungan korban. Depresi, gangguan jiwa, dan perceraian sudah terjadi.
Selekasnya pemerintah harus mengambil alih penanganan lumpur Lapindo. Saran ini diberikan bukan dengan maksud membebaskan Lapindo dari tanggung jawabnya. Perusahaan itu tetap harus menanggung ganti rugi seperti komitmennya selama ini. Batas dana yang harus ditanggung Lapindo ditentukan melalui pengadilan kasus semburan liar itu. Pemerintahlah yang perlu berinisiatif menyelenggarakan pengadilan tadi.
Dengan dana kas negara, kepastian jadwal pembayaran seluruh ganti rugi bisa lebih terjamin. Korban bisa segera ”mentas” dari dampak buruk lumpur Lapindo. Dengan solusi ini barangkali Presiden Yudhoyono tidak bisa menyenangkan 7,5 juta pemilihnya di Jawa Timur—jumlah suara terbanyak SBY-JK di antara semua provinsi dalam Pemilu 2004. Tapi, kalau ia maju lagi pada 2009, solusi jitu Lapindo mungkin membuat Jawa Timur tidak menjadi ”kubangan lumpur” yang membenamkan perolehan suaranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo