Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggal 21 Juni 1970, Bangsa Indonesia berduka mendalam. Hari itu, kita kehilangan salah seorang Pendiri Bangsa, Proklamator negeri, Presiden pertama Republik ini. Hari Minggu pagi itu sekitar pukul 07.00 WIB, Bung Karno berpulang ke Rahmatullah, setelah sakit beberapa lama, dua minggu sesudah ulang tahun beliau yang ke-69.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati telah lebih setengah abad berlalu, hari yang menyedihkan itu masih melekat dalam ingatan saya. Ketika itu saya berusia 17 tahun, duduk di kelas 2 SMA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, menjelang sore, saya melintas dari jembatan Semanggi ke arah Monumen Dirgantara, Pancoran, jadi di jalur jalan seberang Wisma Yaso, Jalan Jenderal Gatot Subroto, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan.
Rumah itu kediaman Ratnasari Dewi Sukarno, isteri Bung Karno. Di sanalah kemudian presiden pertama kita itu “diasingkan” sebagai dampak Peristiwa 1965. Sekarang rumah tersebut menjadi Museum Satria Mandala.
Juga masih saya ingat, pelayat baik pejabat negara, petinggi negeri, orang penting, tokoh, sampai “wong cilik” memadati rumah duka, melimpah di depan, hingga di luar pagar dan sekitarnya. Lalu lintas merayap, jalan dipenuhi kendaraan dan disesaki manusia.
Sebetulnya, ada juga keinginan saya untuk bergabung dengan massa di seberang Wisma Yaso. Namun karena tengah mendampingi nenek pulang dari suatu keperluan di Kebayoran Baru, saya urungkan niat ikut berkerumun di sana.
Malam muda-mudi
Saya pun belum lupa bahwa esok harinya, 22 Juni adalah Hari Ulang Tahun kota DKI Jakarta. Sejak 1968, di era Gubernur Ali Sadikin, tanggal 21Juni malam diadakan acara "Malam Muda- Mudi", yang dimeriahkan aneka hiburan.
Berbagai panggung pertunjukan berderet di jalan Thamrin, mulai dari setelah Jembatan Dukuh Atas, lalu di sekitar Hotel Indonesia, berlanjut di muka Department Store Sarinah, hingga seputar air mancur di dekat Gedung Bank Indonesia, menjelang Jalan Merdeka Barat. Pentas hiburan juga ada di depan balai kota dan jalan silang Monumen Nasional.
Diawali tahun 1968, perayaan hari ulang tahun kota Jakarta diramaikan pula dengan berlangsungnya Djakarta Fair (kemudian sempat disebut Pekan Raya Jakarta) di sisi selatan Lapangan Monumen Nasional. Di hari duka itu, agenda perayaan hari ulang tahun Jakarta 1970 tetap berlangsung. Namun, suasananya terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Final Piala Dunia
Ingatan saya pada 21 Juni 1970 juga ditandai sebuah acara yang pasti ditunggu-tunggu penggemar sepakbola sejagat: final Piala Dunia Sepakbola 1970 di Meksiko. Untuk pertama kalinya final Piala Dunia, memperebutkan Jules Rimet Cup, lambang juara dunia, akan disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi kita satu-satunya ketika itu, TVRI.
Dua tim terkuat akan bertanding di stadion utama Estadio Azteca, Mexico City yang megah berkapasitas lebih dari 100 ribu penonton. Pertandingan berlangsung 21 Juni, siang hari waktu Mexico City, artinya sekitar tengah malam sampai menjelang pagi 22 Juni 1970 waktu Indonesia bagian Barat.
Final ketika itu, diharapkan menjadi pertandingan yang hebat, Brasil versus Italia. Brasil menjadi favorit juara karena memiliki sederet bintang kelas dunia di era itu: Si “Mutiara Hitam” Pele, Rivelino, Gerson, Tostao, Jairzinho. Tapi Italia tidak kalah pamor, ada Sandro Mazzola, Luigi Riva, Gianni Rivera, Giacinto Facchetti, dan Roberto Boninsegna.
Walaupun masih diselimuti duka mendalam karena wafatnya Bapak Bangsa hari itu, sebagian masyarakat tetap pergi melihat keramaian di sepanjang jalan Thamrin dan Monumen Nasional. Lepas magrib, saya dan dua saudara sepupu, juga berangkat ke sana.
Setelah berkeliling menonton berbagai pertunjukan musik di sepanjang Jalan MH Thamrin, menjelang tengah malam, saya teringat bahwa final Piala Dunia akan segera dimulai.
Nonton Bareng
Akhirnya kami bertiga sepakat masuk ke arena Djakarta Fair, dengan pertimbangan pastilah ada stan peserta Djakarta Fair yang memasang televisi untuk nonton bareng.
Kami kemudian duduk di sebuah stan bank nasional (tapi saya lupa nama bank tersebut). Di sebuah meja yang agak tinggi sudah terpasang sebuah pesawat televisi, seingat saya ukuran layarnya kira-kira 21 inci (bandingkan dengan rata-rata ukuran layar televisi di rumah-rumah sekarang ini), dan tentu saja: hitam putih gambarnya.
Tidak pernah saya lupakan jalannya pertandingan yang kemudian disebut-sebut sebagai salah satu final terbaik Piala Dunia. Brasil unggul lebih dulu melalui sundulan Pele. Sebelum jeda setengah main, pemain depan Italia, Roberto Boninsegna menyamakan kedudukan. Di babak kedua Brasil tak tertahankan. Pele dan kawan-kawan menang telak 4-1, dengan tambahan gol Gerson, Jairzinho, dan Carlos Alberto. Piala Jules Rimet menjadi milik Brasil, karena tiga kali juara dunia. Pagi buta kami meninggalkan arena Djakarta Fair.
Senin, 22 Juni 1970, jenazah Bung Karno diterbangkan dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma menuju Malang, lalu melalui jalan darat ke Blitar untuk dimakamkan di samping Ibundanya.
Minggu 21 Juni 1970, sampai Senin 22 Juni, selalu saya ingat sebagai hari yang panjang, melelahkan. Ada kesenangan melihat keramaian ulang tahun kota Jakarta dan menonton final Piala Dunia, namun juga dibalut kesedihan wafatnya Bung Karno, salah seorang Bapak Bangsa. Kenangan dua hari itu masih terekam kuat dalam memori saya hingga hari ini, 52 tahun kemudian.