Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kenapa Tidak Nurcholish Madjid, Emil Salim, dan Tokoh Daerah?

Di Komisi Pemilihan Umum pihak pemerintah punya 50 persen suara, meski cuma punya lima wakil. Bagaimana menghindari ketimpangan?

15 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siapakah yang boleh jadi wakil pemerintah? Mudah saja jawabnya: siapa pun bisa, asal diangkat oleh pemerintah. Tak harus pegawai negeri atau pejabat militer. Duta besar, misalnya, bisa datang dari kalangan di luar jajaran birokrasi. Juga menteri. Toh ada jabatan politis, dengan pengangkatan yang memakai pertimbangan politik juga. Pedoman ini sebaiknya juga dipakai untuk mengisi "wakil pemerintah" dalam Komisi Pemilihan Umum KPU)?yang notabene punya 50 persen suara?seperti disebut dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Pemerintah sebenarnya sudah melangkah bagus dengan menunjuk Tim Sebelas. Tim ini terdiri dari tokoh independen, bahkan bekas oposisi. Tapi orang curiga kembali ketika pekan lalu ada bocoran bahwa nama kelima wakil pemerintah dalam KPU itu adalah pejabat teras departemen. Tentu saja. Peran KPU besar. Ia mengurusi banyak masalah, dari yang sepele (mencetak kartu suara, misalnya), sampai menentukan bagaimana mekanisme pemungutan suara, bahkan termasuk mengurusi berapa besar batas dana kampanye partai. Maka dibutuhkan orang yang punya kredibilitas dan punya misi untuk reformasi politik. Yang sudah terlontar di masyarakat adalah nama Nurcholish Madjid. Ia kini memimpin Tim Sebelas. Nurcholish dikenal tenang, berpandangan jauh dan berimbang, dan komitmenya untuk demokratisasi tak diragukan. Tokoh lain juga ada. Emil Salim, misalnya, seorang cendekiawan, bekas menteri yang terkenal bersih dan punya keprihatinan besar terhadap keadaan. Atau Hakim Benjamin Mangkoedilaga. Mau orang kampus? Ada rektor UGM Ikhlasul Amal, misalnya. Dalam keadaan politik yang ramai di daerah ini tokoh seperti Prof. A. Mattulada di Ujungpandang dan Barnabas Suebu di Irianjaya juga perlu masuk. Dari ABRI (kalau ABRI memang perlu diwakili, setelah dapat kursi jatah 38) bisa dipilih purnawirawan seperti Ali Sadikin atau Hasnan Habib. Tanpa dipercaya bahwa pemilihan umum nanti paling bersih dalam sejarah Indonesia sejak 1955, kehidupan sosial-politik akan terseret dalam gejolak ketidakpuasan yang panjang. Siapa pun rugi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus