BAGAIMANA mengenali adanya otonomi daerah? Ada cara yang gampang untuk itu. Selama laku Menteri Dalam Negeri bagai semacam komandan peleton dari 27 gubernur se-Indonesia, itu pertanda otonomi belum ada. Otonomi berbanding terbalik dengan omongan menteri dan para pejabat Departemen Dalam Negeri di koran dan televisi: semakin banyak mereka bicara mengenai pemerintahan atau apa saja, semakin sedikit otonomi untuk daerah. Tetapi kalau para pejabat tinggi tersebut tidak dielu-elukan lagi dan dihadiahi cinderamata bila berkunjung ke daerah, berarti otonomi mulai jalan.
Itu dilihat dari kulitnya. Dari isinya, semestinya otonomi daerah adalah kemampuan dan kewenangan memerintah dan mengurus diri sendiri, yang tidak dikekang oleh terlalu banyak kendali dari pusat. Untuk menunaikan Ketetapan MPR No. XV Tahun 1998, meskipun waktunya sempit dan perhatian sedang terpecah ke berbagai krisis nasional, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Di sini diatur kembali seberapa besar kewenangan itu akan diberikan kepada daerah. Ingat, desentralisasi ini bukan mengubah bentuk negara menjadi federal, tetapi memberikan otonomi dalam negara kesatuan, sehingga hubungan daerah ke pusat masih subordinasi sifatnya. Sedangkan di negara serikat, terbalik. Hak berasal dari pinggir, yang dialirkan ke pusat. Negara-negara bagian menghibahkan wewenang tertentu kepada pemerintahan federal, sisanya tetap dipegang sendiri. Hubungan daerah dan pusat bersifat koordinasi.
Karena pemerintah pusat melimpahkan kekuasaannya?dikenal dengan istilah "devolusi"?kepada daerah-daerah, mungkin ada yang mengatakan "berikanlah apa yang perlu dimiliki daerah" sebenarnya lebih tepat dari "berikan apa yang milik daerah". Baiklah, yang mana pun jadi. Yang penting, sebanyak mungkin kuasa diserahkan, demi keadilan dan efisiensi administrasi. Kesulitannya ialah karena RUU Pemerintahan Daerah yang diajukan itu?melihat gelagatnya?tidak menjamin penyerahan wewenang substansial yang perlu itu.
Dalam RUU Pemerintahan Daerah yang rimbun dengan aturan yang membatasi itu, pemerintah pusat tetap memegang hak veto dalam memilih kepala daerah melalui seleksi preventif. Calon gubernur, misalnya, harus disetujui presiden lebih dulu sebelum dipilih oleh DPR Daerah. Mengapa tidak mendobrak dengan cara pemilihan langsung oleh rakyat setempat seperti telah dipraktekkan untuk memilih kepala desa saja? Mengapa harus meniru sistem pemerintah pusat (memilih presiden melalui MPR), kalau toh nanti cara ini pun tampaknya akan direformasi menjadi sistem pemilihan langsung?
Undang-undang ini sepantasnya memuat hal-hal yang pokok saja. Selanjutnya setiap daerah dipersilakan menyusun "konstitusi" atau anggaran rumah tangganya sendiri. Banyak pokok-pokok masalah yang masih mengganjal. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang rancangan undang-undangnya dibuat terpisah, juga belum memberikan jaminan yang tegas dan meyakinkan akan melenyapkan sifat berat sebelah yang terjadi selama ini. Karena itu, sebaiknya rakyat di daerah diberi kesempatan lebih luas untuk ikut membahas penyusunan undang-undang ini. Demi penyempurnaan, fleksibilitas terhadap batas waktu yang ditetapkan MPR bisa dibenarkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini