Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tentang Teater dan Tobat

Bisakah Soeharto bertobat dalam sebuah upacara publik? Meskipun acara "Ikrar Husnul Khatimah" batal, baik juga dibayangkan.

15 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah percobaan urung. Seniman Emha Ainun Nadjib akhir pekan lalu tak jadi melaksanakan idenya yang orisinal, dan karena orisinal maka aneh dan karena aneh maka sedikit membingungkan: mengajak orang banyak bersama-sama bekas presiden Soeharto bertobat ramai ramai di Masjid Baiturrahim di Kompleks MPR/DPR Senayan, Jakarta. Acara itu sudah disiarkan ke mana-mana dengan nama "Ikrar Husnul Khatimah". Sebenarnya menarik juga untuk mengikuti acara yang belum pernah ada dalam sejarah Indonesia sejak zaman Wali Sanga itu—ya, bahkan sejak zaman perunggu. Bayangkan: ribuan orang datang, duduk di ruang dalam masjid, berdesak-desak, tapi teratur. Menghadap mihrab. Di saf depan berdiri sang Kepala Negara Yang Sudah Lengser. Close-up: tubuhnya tampak tambun, wajahnya tua tapi tampan, memakai baju Cina putih, sarung palekat putih, peci putih. Di sebelahnya sang Empu cendekia, mengenakan kupluk beledu hitam dengan relief bunga, berbaju Cina biru, sarung Donggala warna gelap, wajahnya tampan, arif, dengan kumis yang manis. Setelah hening sejenak, terdengar suara Soeharto yang bariton itu mendayu-dayu: "Ya, Allah, hamba bertobat.…" Dan Emha Ainun Nadjib akan mengikuti, bersama ribuan suara lain, ibarat kur dalam teater Yunani kuno, "Ampunilah, Tuhan, ampunilah…." Sebuah adegan yang akan spektakuler, mungkin menggetarkan. Teater? Upacara religius? Sebuah aksi politik? Terus terang saja: tak begitu jelas bedanya. Di Indonesia (sebuah negeri yang oleh ahli antropologi Clifford Geertz akan dijuluki sebagai "negara teater") pertunjukan, upacara khidmat, dan manifestasi politik, sering kali baur. Biarlah. Orang Indonesia memang senang berbareng, untuk yang khidmat maupun tak khidmat, untuk yang positif (misalnya siskamling) ataupun negatif (misalnya menjarah). Maklum: penduduknya banyak, tempatnya sempit. Tapi di lain pihak benar juga pernyataan: bukankah momen tobat bersifat pribadi, antara "Engkau" dan "aku"? Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan, Zarkasih Nur, memberikan jawaban yang patut direnungkan, sebagaimana dikutip Kompas. "Tobat adalah kegiatan yang sakral, menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, yang tidak layak untuk diseremonialkan, apalagi menjadi komoditi politik." Mungkin memang tak selamanya kita harus bergerombol. Tidak semuanya bisa diteaterkan, betapapun akan menariknya. Terutama tentang dosa dan kesalahan seseorang. Lagi pula tobat berbeda dengan peradilan. Yang pertama menyangkut dosa kepada Tuhan, dan untuk itu kita menghadap sendiri-sendiri. Yang kedua kepada masyarakat, kepada Republik. Bila dicampur, bisa berabe. Peradilan publik tak bisa mengklaim kebenaran mutlak, dan menyangkut kepentingan orang ramai. Sebab itu ia harus terbuka, bisa ditonton. Peradilan Tuhan? Hanya Dia yang tahu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus