Politik belum jadi sebuah kata yang menarik bagi orang Indonesia. Di masa Orde Baru, kata itu malah menunjukkan sesuatu yang membingungkan dan tak perlu. Bagi keturunan Tionghoa, ia bahkan menakutkan. Dalam pol yang dilakukan majalah ini (lihat halaman 61), 53 persen responden menjawab bahwa hambatan untuk berpartisipasi dalam politik adalah karena "khawatir keamanan saya terancam".
Ini tentu saja sebuah gejala penyimpangan yang menyedihkan. Di masa yang lebih teratur dan lebih damai, politik?yang akar katanya berkaitan dengan "mengurus kehidupan bersama di sebuah wilayah"?sebenarnya hal yang jamak. Juga, politik merupakan proses untuk hal yang sama sekali tak menakutkan: ketika kita ingin air sungai jadi bersih dan lancar, ingin lampu lalu lintas tak mati melulu, telepon umum terjaga, dan pajak dihitung secara adil.
Tapi 32 tahun lamanya soal sehari-hari itu dihadirkan sebagai soal "pembangunan". Lebih buruk lagi, "pembangunan" itu hanya urusan para petugas dan pejabat daerah atau pusat. Bukan soal politik. Dengan kata lain, bukan soal partisipasi masyarakat. Di lokasi tempat air sungai akan dilancarkan, lampu lalu lintas dibereskan, dan pajak ditarik, warga negara hanya terima jadi. Apalagi kalau Anda termasuk warga negara yang karena satu dan lain hal?misalnya karena latar belakang etnis Anda atau riwayat politik Anda?mudah celaka kalau omong banyak. Bila bagus hasil pembangunan, Anda harus berterima kasih. Kalau buruk? Tak bisa apa-apa.
Sementara itu, trauma masa lalu dihidupkan terus-menerus. Orde Baru punya stok hantu. Ada "ekstrem kanan", ada "ekstrem kiri", ada bahaya "pemikiran liberal", dan lain-lain. Selain hantu-hantu itu dikumandangkan tiap kali, orang juga tahu bahwa kegiatan politik telah menyebabkan orang dibunuh atau dipenjara.
Trauma ini sangat kuat, terutama bagi keturunan Cina. Jadi anggota sebuah minoritas yang cuma 5 persen dari seluruh penduduk adalah berada dalam posisi yang rentan. Terutama ketika sejak tahun 1960-an, "Cina" sering disamakan dengan "RRC", dan sebab itu sama dengan "komunis".
Lebih rawan lagi, minoritas ini?tak seperti di Filipina?sejak zaman Hindia Belanda dipisahkan dari penduduk selebihnya. Di abad ke-18, orang Cina harus tampak berbeda dalam pakaian dan bahkan potongan rambut, dan harus hidup terpisah. Dampak keterpisahan ini tampak sampai sekarang, juga bagi keturunan Arab. Sampai hari ini banyak orang masih menganggap bahwa pembedaan rasial adalah hal yang lumrah dan alamiah, dan tak menyadari bahwa itu adalah hasil konstruksi pemerintah Hindia Belanda. Studi sejarah menunjukkan bahwa apa itu "Cina", apa itu "Arab", dan apa itu "Eropa", semua itu hasil klasifikasi yang dipaksakan dari atas di masa itu. Ini praktis tak mengakui eksistensi mereka yang?seperti banyak sekali keturunan Cina dan Arab di Indonesia?merupakan hasil kawin campuran.
Kekerasan Mei 1998
Pemisahan rasial ini di masa-masa selanjutnya dipertebal oleh beda sosial-ekonomi. Bisa diperdebatkan sejauh mana keturunan Cina menguasai ekonomi Indonesia. Untuk mengatakan "tak seberapa" memang salah. Hampir semua pengusaha besar Indonesia berasal dari etnis ini. Tapi sebenarnya lebih dulu harus dipersoalkan lagi apakah yang disebut "keturunan Cina" itu. Bisakah mereka dianggap sebagai satu kekuatan yang tunggal, tak beragam, dan tak bersengketa satu sama lain? Bagaimanapun juga, kenyataan bahwa sejak dasawarsa kedua abad ke-20 konflik antara keturunan Tionghoa dan "pribumi" berlanjut terus hingga kekerasan Mei 1998, menunjukkan betapa rentannya posisi keturunan Cina, justru karena mereka umumnya lebih kaya ketimbang penduduk yang lain.
Tapi kekerasan Mei 1998 mengejutkan lapisan yang luas, juga dunia. Ini menyadarkan mereka yang prihatin bahwa ada yang harus segera dibereskan di sini. Bagi banyak keturunan Tionghoa, peristiwa itu memang membuat patah harap. Tak terlalu sukar buat pesimistis jika menyaksikan dan mendengar cerita pemerkosaan yang begitu banyak (meskipun angkanya masih tetap bisa disoal). Sampai sekarang, masyarakat keturunan Cina digundahkan desas-desus tentang gelombang kekerasan baru. Tapi sebetulnya ada yang masih memberikan harap.
Pertama, para pemuka masyarakat yang masih berwibawa, khususnya para pemimpin organisasi Islam dan sebagian ulama, mengecam kekerasan itu. Bahkan di Jawa Timur dan di Jawa Tengah ada pesantren yang menyelamatkan para keturunan Tionghoa dari kekerasan massa. Para pengobar kebencian rasial kurang-lebih tersisih, setidaknya di dalam perdebatan terbuka.
Kedua, berbeda dengan di Yugoslavia, di Indonesia umumnya media massa?justru ketika mereka jadi merdeka?bebas dari semangat kebencian rasial. Bahkan televisi swasta, yang punya dampak luas, berusaha mengemukakan anjuran terhadap kerukunan antar etnis (iklan "si A Cong" adalah contoh yang banyak diingat).
Ketiga, belum terbukti bahwa kekerasan Mei 1998 itu buah dari usaha terencana oleh sebuah kekuatan besar. Memang teori "rekayasa" berseliweran, tapi sejauh ini tak terbukti. Yang sering dilupakan ialah bahwa rasialisme bisa juga datang dari orang ramai, yang seperti di mana saja?di AS, Afrika Selatan, Rwanda, Bosnia, juga Ambon?umumnya tak menyukai kelompok "lain". Juga ada kemungkinan bahwa kekerasan Mei terjadi karena "premanisme", yakni cara pemerasan oleh mereka yang mendapat bayaran karena "melindungi" bisnis atau milik orang yang terancam.
Keempat, meskipun pemerintahan Habibie belum konsisten menangani soal rasial ini, ada ikhtiar untuk menyelesaikan persoalan rasial ini dari masyarakat sendiri, misalnya dengan membangun partai politik yang melintasi garis rasial. Hasilnya bukannya tak ada. Ternyata partai politik di luar Golkar dapat dukungan yang lebih besar: 70 persen merasa PDI "bisa menyuarakan kepentingan politik keturunan Cina", 36 persen untuk PAN, dan 15 persen untuk PKB. Golkar: 13 persen.
Keempat hal di atas belum menjadi modal yang cukup untuk mengatasi konflik rasial di masa depan. Masih banyak hal harus dibangun, terutama di bidang penegakan hukum. Tapi setidaknya, di masa suram ini, toh kita masih punya dasar untuk berharap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini